Katakan dengan Denim
Jadilah karya seperti yang dikreasikan oleh Acakacak lewat kolaborasi tiga alumni LPTB, yakni Bella Scholastica, Olivia Sembiring, dan Bunga Ludmilla. Bahan denim mereka wash lalu diwarnai ulang, ada pula yang dipotong dengan laser atau dihias dengan gambar atau tulisan. Bahan denim yang telah diolah kemudian dibuat menjadi celana, luaran, jaket, hingga tank top.
Acakacak kali ini memberi judul koleksi mereka, ”Equilibrium”, yang sama-sama berarti keseimbangan. Menurut Bella, mereka tidak ingin sekadar menghasilkan baju melainkan juga ingin menyampaikan pesan lewat baju tersebut. ”Kami anak muda yang sering mengonsumsi media sosial sering melihat perbedaan sering dijadikan sumber masalah, seperti agama, mayoritas versus minoritas, jender, warna kulit, dan lain-lain. Padahal, di atas itu semua kita tuh sama, sama-sama manusia. Kenapa dijadikan masalah?” kata Bella.
Hampir sama, satu dari lima lulusan terbaik, Bianca Evangelia, juga mengambil isu keseimbangan jender sebagai sumber inspirasinya. Ia memberi judul karyanya, ”Identity”. Bianca kerap terusik dengan bagaimana masyarakat memandang isu keseimbangan jender ini. Misalnya, soal gaji, tanggung jawab pekerjaan, dandanan, hingga hal remeh-temeh, seperti warna. ”Laki dan perempuan diciptakan Tuhan bukan untuk didiskriminasi, tetapi untuk saling melengkapi,” kata Bianca.
Pesan didengar
Bianca membuat baju-bajunya cenderung berpotongan lurus, tidak terlalu ketat dan juga tidak terlalu longgar. Baju-baju ini diarahkan bisa dipakai, baik untuk perempuan maupun pria. ”Orang sering memberi batasan, cowok enggak boleh pakai baju ketat, cewek enggak bagus pakai baju longgar,” kata Bianca.
Ia memilih bahan denim yang paling kaku kemudian dipotong dengan bantuan laser dan dijahit unfinished dengan jahitan ditempatkan di bagian luar sehingga masih menyisakan benang pada bagian ujung-ujung busana.
Untuk karya ujian, Bianca memberi ilustrasi gambar pada karyanya, yakni wajah manusia yang identitas jendernya bergantung pada penafsiran yang melihat. Ia juga memberi ilustrasi gambar tulang belakang tengkorak pada sebuah baju. Gambar ini menyimbolkan, pada akhirnya semua orang, baik itu perempuan maupun laki-laki adalah sama karena sama-sama manusia. ”Saya berharap pesan saya bisa didengar dengan baik oleh orang lain,” kata Bianca.
Lulusan baru lainnya, Andri Sutami, menerjemahkan keseimbangan dalam keterkaitannya dengan budaya Jawa. Koleksinya diberi judul ”Laras” yang mengacu pada keseimbangan dalam filosofi budaya Jawa. ”Dalam budaya Jawa dikenal makrokosmos dan mikrokosmos yang menyangkut cara pandang kita terhadap lingkungan sekitar,” katanya.
Unsur-unsur Jawa tampak dalam pemilihan motif kawung atau gunungan yang dibuat dengan teknik potong laser pada material kulit kambing. Jenis kulit ini dipilih karena lebih ringan dan lembut sehingga dirasa lebih nyaman ketika digunakan. Motif kawung juga disusun dari bahan scuba. Andri juga menggunakan material lurik jogja yang diwarnai secara alami.
Bahan denim oleh Andri disusun menjadi patchwork atau tambal yang kemudian diolah menjadi semacam luaran dengan gaya kimono. Bagian bawahnya adalah celana panjang yang diolah dari bahan yang diwarnai dengan teknik shibori.
Material denim, menurut Susan, ada baiknya memang diolah terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai bahan busana. Dengan diolah, akan membuatnya terlihat tidak biasa. ”Mesti diolah kalau enggak jadi biasa saja. Kemarin kami sengaja mendatangkan ahli khusus untuk memberi pengetahuan tentang pengolahan denim kepada anak-anak. Akhirnya oleh anak-anak, denimnya ada yang di-wash sampai pucat, lalu diwarnai lagi, ada yang di-laser, ada yang dicat, digambar, dibordir, macam-macam,” kata Susan.
Penentuan material busana dalam peragaan ini, menurut dia, diharapkan mampu memberi tantangan tersendiri dan juga menambah pengetahuan kepada para desainer baru. Mereka yang sedang mencari karakter dan jati diri karyanya ini butuh berbagai tantangan untuk mengasah diri.
Bagi Wita Sasika Gayatri, lulusan baru lainnya, sifat idealis desainer baru terkadang menjadi hambatan untuk berkarya, seperti yang dialaminya. Dalam arti, terkadang dirinya menemukan ketidaksesuaian dalam proses berkarya yang menguji komitmen dan konsistensi seseorang.
”Tantangan bagi saya juga, bagaimana membuat koleksi yang terjaga satu kesatuannya serta bagaimana membuat karya yang sesuai idealisme, tetapi juga tetap menjual,” kata Wita.