Tempe Buruan Kaum Urban
Panitia lalu membagikan tempe kit kepada seluruh peserta. Jumlahnya mencapai 30 orang. Setiap orang membayar biaya keikutsertaan sebesar Rp 350.000. Tiap peserta mendapat kedelai yang telah dikukus. Pembungkusnya bisa dipilih. Ada daun pisang, daun waru, daun jati, atau daun coklat. Prinsipnya, daun apa pun bisa dipakai sepanjang tidak beracun.
Setiap peserta juga mendapat tampah dan kipas dari anyaman bambu serta ragi. Sebagai bonus, ada kedelai mentah yang bisa dibawa pulang agar peserta bisa mempraktikkan ilmu membuat tempe di rumah.
Kedelai yang masih panas dikipas-kipas agar mendingin dan berkurang kadar airnya. Setelah itu diberi ragi dengan cara meratakannya menggunakan telapak tangan, istilahnya diusar mirip cara menguleni adonan kue, baru setelah itu tempe dan ragi dibungkus menjadi satu.
”Wah, gimana ini membungkusnya?” lontar Archie (23). Si milenial ini tampak kesulitan membungkus kedelai dan raginya dengan daun jati. Ia lalu memperhatikan cara seorang ibu yang dengan rapi membungkus calon tempenya.
Pagi itu, Archie datang bersama dua temannya, Tiff dan Renata. Archie adalah pemilik bisnis rintisan Archie’s Private Dining. Ia ingin suatu saat menyajikan tempe dalam menunya. ”Aku pengin coba bikin kari India dari bahan tempe kedelai,” kata Archie.
Ia juga ingin mencoba membuat tempe dari edamame yang kemudian akan dibakar lantas disajikan dengan kaldu dashi. Temannya, Tiff yang seorang cook di sebuah restoran di Singapura, juga ingin suatu saat menyajikan masakan berbahan tempe.
Sementara Febi (39) yang pagi itu datang bersama ibunya ingin terampil membuat tempe sendiri agar bisa memastikan bahan dan prosesnya sesuai standar kesehatan yang ia inginkan. Misalnya, kedelai yang dipakai bukan kedelai GMO (genetically modified organism).
Investasi kesehatan
Sekitar 1 kilometer dari Nusa Gastronomy, pelatihan tempe juga tengah berlangsung di Pantry Magic, sebuah toko peralatan masak dan membuat kue yang cukup populer di Kemang. Pelatihan digelar oleh Microo yang dikomandani Nissa Hanan dengan biaya Rp 400.000.
Mirip dengan pelatihan di Nusa Gastronomy, di Pantry Magic peserta juga mendapat penjelasan tentang jejak tempe yang tercatat di Serat Centhini. Ada juga video tentang para pembuat tempe di Gunung Kidul dan Kulon Progo yang setia melakoni pekerjaan membuat tempe sejak puluhan tahun lalu.
Peserta lalu juga mendapat jatah tempe kit berupa kedelai yang sudah dikukus dan siap dicampur ragi. Peralatan berupa tampah dan saringan anyaman untuk meniriskan kedelai, kedelai mentah, dan ragi bisa dibawa pulang agar peserta bisa segera praktik di rumah setelah pelatihan.
Peserta di Pantry Magic tak sebanyak di Nusa Gastronomy. Pelatihan memang sengaja dibuat terbatas untuk 10 peserta saja. Semuanya terlihat tekun menyimak penjelasan Nissa.
Proses paling sulit adalah ketika mengusar kedelai dan ragi. Peserta yang rata-rata amatir, harus mengusar kedua jenis bahan itu dengan penuh tenaga agar tekstur kedelai yang semula kering melengket dengan ragi. ”Kalau sudah biasa, paling hanya perlu waktu 10 menit. Tapi kalau belum biasa, ya bisa lebih, 20 menitlah,” ujar Nissa menyemangati peserta.
Dia berkeliling memeriksa hasil usar setiap peserta. Setiap kali ada yang berhasil menghasilkan tekstur yang dirasa pas, yang lain langsung berkomentar. ”Wah hebat, kuat banget tangannya. Ini aja udah pegel. Aku kayaknya bakal jadi yang terakhir deh,” kata Laras, mahasiswi, salah seorang peserta. Selain Laras, peserta lainnya adalah ibu-ibu rumah tangga dan pengelola restoran.
Setelah proses usar, adonan kedelai dan ragi lantas dibungkus menggunakan daun pisang dan diikat dengan tali ilalang yang khas. Sebelum mencicipi olahan tempe berupa sambal tumpang, besengek, dan tempe bacem serta berbagai jenis tempe dengan ragam bahan baku selain kedelai kuning, Nissa berpesan agar tempe yang sudah dibungkus disimpan di ruangan bersuhu kamar dan ditutup kain agar panas. Senin pagi, tempe siap dipanen.
Kedelai lokal
Nissa (21) yang asal Yogyakarta, bukan baru kali ini saja membuat pelatihan tempe. Selain di Yogyakarta, dia juga aktif membuat pelatihan di Jakarta hingga Bali. Pesertanya rata-rata para foodie alias peminat makanan berusia rata 30-an.
”Kalau pas ke Jakarta, ketemu orang-orang yang udah 30-an, rata-rata udahaware sama kesehatan, mencintai produk lokal dan mencintai makanan tradisional. Yang jelas, sih, mereka udah pasti suka tempe, terus juga senang belajar hal baru. Happy lihat yang kayak gini,” kata Nissa.
Nissa yang mulai aktif mengajar membuat tempe sejak dua tahun lalu tertarik mengajar membuat tempe agar setiap orang berpikir membuat tempe itu gampang, bisa dilakukan di rumah. Dengan begitu, makin banyak orang bisa membuat tempe sendiri dengan bahan baku kedelai lokal yang lebih sehat untuk dikonsumsi. Isu GMO pada kedelai impor menjadi perhatian Nissa.
”Apa yang kita makan, ya, investasi kita ke depan. Efeknya enggak akan terasa waktu dekat. Mungkin baru 15 tahun kemudian, mudanya makan apa, tuanya baru terasa,” ujar Nissa.
Selain memberi pelatihan pembuatan tempe, Nissa juga melayani pembelian kedelai lokal yang diambil langsung dari petani di Gunung Kidul. Dalam setiap pelatihan, peserta mendapat tempe kit agar bisa menerapkan ilmunya di rumah.
Agustinus Priyanto (63) yang akrab disapa Agus Tempe juga kerap diminta mengajarkan pembuatan tempe, mulai dari warga perumahan hingga komunitas autoimun. Pada 17 Februari nanti, Agus akan mengajar membuat tempe organik di Mal Taman Anggrek, Jakarta.
”Saya ingin berbagi sehat dengan sesama. Ini berawal dari keprihatinan saya terhadap kedelai impor yang merajai peredaran kedelai di Tanah Air. Mayoritas dari kedelai ini saya duga GMO. Cirinya ada garis hitam jelas di bulatan kedelai. Bentuk dan besarnya juga hampir seragam. Kalau kedelai lokal, garis hitamnya samar,” kata Agus.
Sehari-hari, Agus juga membuat tempe yang diantarkannya sendiri kepada pelanggan. Ia bukan perajin tempe biasa. Ia artisan yang juga membuat tempe dari bahan kacang hijau, koro pedang, dan kedelai hitam.
Agus mengajar membuat tempe dengan bantuan palape, cairan mengandung bakteri baik yang dipakai untuk merendam kedelai. Dengan bantuan palape, proses membuat tempe yang secara konvensional membutuhkan setidaknya dua kali rendam dan dua kali masak kedelai, cukup dilakukan dengan sekali rendam dan sekali masak saja. Hemat air dan bahan bakar. Membuat tempe pun terasa lebih mudah dan menyenangkan.
Agus selalu menggunakan kedelai lokal, seperti varietas grobogan, anjasmara, dan wilis dengan biji kedelai besar-besar dan berwarna kuning kecoklatan. Agus juga mengampanyekan makan tempe mentah.
Jika kualitas tempe baik, meskipun belum diolah, rasa tempe tetap nikmat karena kedelainya telah melalui proses perebusan atau pengukusan hingga empuk. ”Manfaat makan tempe mentah bisa bikin awet muda, mencegah migrain, menyehatkan jantung, mengatasi insomnia, dan menstabilkan hormon tiroid,” kata Agus.
Martabat tempe
Seperti halnya Nissa, dalam setiap pelatihan yang ia sebut menempe, Wida juga sengaja membekali peserta dengan keperluan lengkap untuk menempe agar peserta tak punya alasan untuk tidak praktik menempe. ”Setidaknya, mereka tahu cara menempe. Ini, kan, warisan pangan khas Indonesia yang harus dilestarikan,” kata Wida.
Wida bersama Indonesian Tempe Movement yang ia dirikan bersama ayahnya, FG Winarno, dan anaknya, Driando Ahnan Winarno, sudah mengajar menempe ke mana-mana. Mulai dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang hingga Belanda, mulai dari Cinangneng hingga Papua.
Di Lapas Cipinang, Lapas Wanita, hingga Balai Rehabilitasi Narkoba, pelatihan menempe diberikan sebagai bekal keterampilan kelak ketika peserta keluar. Di Papua, pelatihan bertujuan memberi wawasan alternatif sumber pangan.
”Selain mengajar membuat tempe dari kedelai, kami juga mengajarkan membuat tempe dari sagu dan biji nangka yang banyak ditemukan di sana,” kata Wida.
Di luar negeri, seperti Australia, Eropa, dan Amerika, pelatihan menempe diberikan kepada anak-anak SD, mahasiswa, hingga masyarakat umum. Kebanyakan peserta penasaran dengan aspek ilmu pengetahuan dan sejarah tempe di balik manfaatnya yang selangit.
”Di desa-desa, saya mengajarkan cara membuat tempe yang bersih dengan proses zero waste, sedangkan di kota-kota tujuannya mengangkat harkat tempe agar orang menyebut tempe dengan penuh kebanggaan,” kata Wida. Siapa bilang tempe kampungan dan murahan?