Rumah Keseimbangan
Rumah limasan itu berukuran 9 meter x 13 meter. Selain untuk tidur, rumah itu juga jadi ruang menulis, bahkan di salah satu sudut di sisi kanannya, disebut Yani, sebagai ruang inspirasi.
”Di situ sering saya duduk tanpa sandaran dan bisa menghadap ke empat penjuru mata angin untuk menemukan inspirasi-inspirasi,” kata Yani.
Ruang inspirasi ada di sisi kanan pintu utama. Di sisi kiri pintu menjadi teras dengan kursi dan meja untuk menyambut tamu. Kedua ruang antara ruang inspirasi dan teras dibatasi tiga buah karya gerabah berjudul ”Endless”, berbentuk seperti tabung besar dengan dinding bahan keramik yang berlubang di sana-sini untuk estetika karya seni.
”Karya patung keramik ini saya buat di Plered, Purwakarta, Jawa Barat, tahun 1999. Dipamerkan pada tahun 2002 di Galeri Lontar, Utan Kayu, Jakarta,” kata Yani.
Karya ”Endless” bertutur tentang ketiadaan batas. Di tengah tembikar itu diberi nyala lampu dari listrik. Ketika dinyalakan, tembikar berbentuk tabung dengan dinding-dinding berlubang itu seperti memberikan nyala api. Yani memasukkan elemen api di dalam karya tembikar itu. Baginya, api adalah daya. Api adalah energi untuk semesta ini.
Bagian lain yang tersisa di antara ruang inspirasi dan teras diisi untuk memarkir sepeda onthel dan vespa-vespa antik. ”Ini sering dijadikan properti untuk pembuatan film-film,” ujar Yani tentang sepeda-sepeda onthel dan vespa-vespa antiknya.
Rumah limasan tempat tinggal Yani di studio seni patungnya itu diberi nama Rumah Mbah. Mbah mengacu pada nenek sebagai asal pemilik rumah ini di Sragen. Yani memboyong rumah itu dengan dipereteli, lalu dipasang kembali di Jombang hingga selesai tahun 2000. Sejak itulah Yani memiliki rumah di tanah warisan orangtuanya yang dijadikan studionya di Jombang.
Patung publik
Karya-karya patung Yani ada di antaranya menjadi karya patung publik. Patung-patung itu berukuran besar. Ada yang kemudian dikoleksi kolektor, ada pula yang tetap menjadi karya miliknya dan disimpan di studionya.
Salah satu karya besar yang masih disimpan di studionya, karya berjudul ”Barisan Ufuk”. Pada awalnya, karya patung ini sebanyak 11 patung berbentuk oval atau bulatan lonjong yang tidak beraturan. Ukurannya besar-besar. Satu di antaranya berbentuk seperti telur yang sekarang difungsikan sebagai kamar mandi tamu.
”Karya patung ’Barisan Ufuk’ saya buat dari lempeng-lempeng besi bekas drum. Itu yang menjadi kamar mandi tamu adalah patung dengan ukuran terbesar ketiga,” ucap Yani.
Ketika memasuki ruang kamar mandi itu, di dalamnya terasa lega. Lengkap dengan kloset dan sebuah wastafel dengan pancurannya. Di dalam kamar mandi itu seperti berada di dalam sebuah cangkang telur raksasa. Dinding bagian atasnya tetaplah tampak terbuat dari potongan lempeng besi drum yang disambung-sambung dengan las. Dinding di bagian bawah dilapisi batu putih yang direkatkan dengan semen. Kamar mandi dari karya patung ”Barisan Ufuk”.
”’Barisan Ufuk’ ini menceritakan ketika di ufuk timur mulai bersinar matahari, maka tampaklah barisan 11 batu itu di ufuk,” kata Yani.
Karya patung ”Barisan Ufuk” dimaknainya sebagai batu-batuan. Karya ini mengingatkan masa kecilnya yang suka sekali bermain di bebatuan kali ketika mengikuti tugas ayahnya di perkebunan-perkebunan yang ada di wilayah Sumatera Utara.
Ketika membuat karya itu, Yani serasa menemukan dunia masa kecilnya. Ketika menyambung potongan lempeng atau mengecat batu-batu ”Barisan Ufuk” itu, Yani menemukan dunia bermain masa kecil dengan meloncat dari satu batu ke batu lainnya.
Beberapa karya ”Barisan Ufuk” lainnya juga difungsikan. Salah satu di antaranya dipasang di atas pohon. Dia seperti menyatu dengan batang pohon itu. Lainnya ada yang disumbangkan, ada pula yang kembali dijadikan bahan karya seni patung berbeda.
Setidaknya, salah satu batu ”Barisan Ufuk” telah mendapatkan fungsi terpentingnya, yaitu menjadi kamar mandi tamu. Kamar mandi itu ada di antara lorong jalan dua rumah limasan. Rumah limasan sebagai rumah tinggal Yani dan rumah limasan untuk ruang makan dan dapur.
Rumah limasan di dapur dan ruang makan itu dibiarkan terbuka tanpa dinding. Meja makan yang ada di situ juga berukuran besar. Kursinya juga memanjang tanpa sandaran. Di sinilah menampakkan suasana makan bersama yang guyub. Di studionya, Yani mempekerjakan banyak orang, terutama untuk membantunya mewujudkan patung-patung publik berukuran besar.
Yani menunjukkan karya patung publik yang masih dikerjakannya sekarang adalah patung berjudul ”Cinta Kasih”. Patung itu berukuran tinggi 270 sentimeter dengan panjang sampai 7 meter dan ketebalan 40 sentimeter.
Awal Maret 2018 ini patung ”Cinta Kasih” itu segera dipasang di area Rumah Sakit Pondok Indah di Bintaro, Tangerang Selatan. ”Karya ini tentang adanya hati kecil di dalam hati besar,” ujar Yani.
Yani membuat bentuk jantung hati yang menjadi simbol cinta kasih dengan ukuran besar dan di dalamnya ada lagi bentuk simbolik itu. Patung ”Cinta Kasih” itu ada di ruang studio sisi timur.
Selain karya patung itu, juga terdapat patung-patung baru untuk dipamerkan di Magelang, Jawa Tengah, pada 24 Februari 2018. Di antaranya karya patung ”Pesona Taru Raya” bernuansa pepohonan.
Berbagai patung model dalam bentuk yang kecil ada di ruang itu, termasuk patung-patung model atau yang sengaja dibentuk kecil berupa patung rohani Bunda Maria dan Yesus. Meskipun Yani sendiri meyakini agama yang berbeda.
Master sebuah patung Bunda Maria yang berukuran besar juga masih disimpan di ruang lainnya. Patung Bunda Maria itu sedang duduk dengan dua telapak tangan yang menghadap ke muka. Di tengah dadanya dibentuk sebagai tabernakel atau sebuah kotak khusus untuk kepentingan liturgi atau peribadatannya. Patung ini dipasang di salah satu gereja di Cilangkap, Jakarta Timur.
Master patung Bunda Maria itu ada di antara dua model patung lain, yaitu patung Gus Dur atau Abdurahman Wahid pada saat masih kecil dan model miniatur patung berjudul ”Menggapai Cakrawala”, dengan patung ukuran besarnya sekarang dipasang di kompleks bisnis Pakuwon City, Surabaya.
Terjatuh
Yani menuturkan kisah panjang pembuatan patung ”Menggapai Cakrawala” itu, yang akhirnya menyadarkan diri soal keseimbangan hidup setelah terjatuh selama proses pembuatannya. Yani membentuk 18 figur perempuan yang sedang berlari. Secara keseluruhan panjang patung mencapai 30 meter dengan ketinggian sampai 8 meter.
”Saya mengerjakan patung ini setiap hari rata-rata dari pukul 08.00 sampai pukul 03.00. Ketika itu memasuki hari ke-12, saya terjatuh dari ketinggian sekitar 3 meter,” ujar Yani.
Sesaat sebelum terjatuh, Yani merasa melihat lantai yang begitu dekat di bawahnya. Seakan ketika ia terjatuh pun tidak masalah. Ia mengalami cedera kepala dan kaki hingga dua hari tidak bisa berbuat apa-apa. Pada hari berikutnya, Yani tetap melanjutkan pekerjaannya itu. Pada tahun 2007, patung ”Menggapai Cakrawala” itu selesai dan dipasang di Pakuwon City pada awal 2008.
Yani memang pekerja keras. Ia menjadi pematung tanpa sengaja karena pada masa kecilnya ia ingin menjadi seorang tentara. Namun, kedua orangtuanya tidak berkenan hingga akhirnya Yani memutuskan untuk menuntut ilmu di lembaga pendidikan seni yang sekarang menjadi Institut Kesenian Jakarta, periode 1974 sampai 1981.
Ia menjadi satu-satunya murid yang mengambil Jurusan Seni Patung. Yani menyukainya karena bisa menyalurkan hasratnya yang suka bekerja keras. Setidaknya, seni patung dengan kerja yang berat itu seperti tentara. ”Ada kedisiplinan soal waktu dan kekuatan fisik,” ucap Yani.
Ketika terjatuh pada saat pembuatan patung ”Menggapai Cakrawala” itulah Yani menemukan pentingnya keseimbangan antara kerja dan istirahat, termasuk memaknai rumah yang ditinggalinya di studio itu sebagai rumah keseimbangan.