Wadah Bermusik EarHouse
Earhouse adalah sebuah
coffee shop atau kedai kopi yang berlokasi di kompleks Pasar Kita, Pamulang, Tangerang Selatan. Sebagaimana layaknya kedai kopi, di sana pengunjung bisa menikmati secangkir kopi enak ditemani berbagai jenis kudapan atau bahkan menu makan besar, seperti nasi goreng indie atau nasi ayam sambal ijo sahabatku.
Sembari menyesap kopi dan makanan untuk asupan raga, pengunjung juga bisa menikmati sajian musik untuk asupan jiwa. Jika datang pada Kamis malam, misalnya, pengunjung bisa menyaksikan penampilan bandband baru di sesi Thursday Night Live.
Kamis (25/1) malam, tampil duo Varshaka. Duo yang terdiri dari Nabila dan Rifki ini menampilkan musikalisasi puisi. Puisi-puisi yang mereka lagukan sebagian diambil dari puisi-puisi sastrawan Tanah Air, sebagian puisi karya mereka sendiri.
Menarik menyaksikan penampilan Varshaka. Meski termasuk kategori band baru, Varshaka tampak memiliki potensi menjanjikan. Lagu-lagu mereka tak sekadar enak di telinga, tetapi juga menyuguhkan lirik-lirik puitis sarat makna.
”Kami senang main di sini. Kalau biasanya kami menonton Mbak Endah main, sekarang kami ditonton Mbak Endah,” kata Rifki. Suasana malam itu terasa akrab, tanpa sekat.
Endah yang dimaksud adalah musisi/penyanyi duo Endah N Rhesa, pemilik Earhouse. Seperti malam-malam Kamis sebelumnya, jika sedang tak ada jadwal manggung, Endah selalu berada di Earhouse. Bagi Endah, ini adalah kesempatannya untuk bergaul, mengenal, dan berproses lebih jauh dengan band-band baru yang tampil di Earhouse.
Setelah melihat band-band baru itu main, biasanya Endah akan meluangkan waktu untuk mengobrol panjang lebar dengan mereka. Menanggapi karya yang mereka suguhkan malam itu.
”Ini bisa jadi update musik-musik terbaru, melihat anakanak zaman sekarang seperti apa. Kadang-kadang malah lebih seru denger yang raw-raw kayak gini, masih pure, hijau. Biasanya semangatnya menggebu, punya energi banyak sekali, menerima banyak input, referensinya juga banyak,” tutur Endah. Malam itu Rhesa absen karena sedang sibuk di studio.
Pada hari lain, seperti Rabu, sesinya beda lagi. Ada open stage yang terbuka untuk siapa saja yang berminat. Salah satu penampil yang sejak tiga bulan ini rajin menyambangi panggung Open Mic Earhouse adalah Othman Ramadan.
Penggemar Oasis ini tampil dengan gitar akustik memainkan lagu-lagu Oasis. Kadang, Othman juga menjadi MC yang membuka sesi openstage.
”Tempat ini menjadi wadah untuk mengekspresikan diri melalui musik. Seperti saya, biarpun masih membawakan lagu-lagu cover, enggak menutup kemungkinan nanti bisa jadi musisi,” ujar Othman.
Ibarat rumah
Varshaka dan Othman hanya sebagian kecil dari anak-anak muda yang berinteraksi dengan Earhouse. Tempat yang diinisiasi oleh Endah dan Rhesa sejak tahun 2013 itu memang didirikan sebagai tempat yang dikelola berbasis komunitas.
Alasan keduanya mendirikan Earhouse cukup sentimentil. Mereka ingin berkontribusi pada sekitar mereka. Idenya muncul setelah mereka mengikuti seminar Steve Rennie, mantan manajer Incubus yang kini menjadi konsultan manajemen band di Festival Midem yang berlangsung di Cannes, Perancis, tahun 2013.
Selain mendapat ilmu tentang manajemen band indie, Endah dan Rhesa rupanya tergugah dengan ucapan Rennie. ”Kalau kamu mau preserve musik kamu, awali dari local scene,” kata Endah menirukan Rennie.
Kegelisahan itu mengalahkan keinginan mereka yang kala itu tengah mekar-mekarnya di panggung musik Tanah Air dan berniat untuk go international. ”Saat itu yang saya tahu manggung, pulang, manggung, pulang. Saya engak kenal tetangga, anak-anak Pamulang ini seperti apa. Saya punya temen atau enggak, ya, di Pamulang,” kata Endah.
Berangkat dari situ, keduanya mendirikan Earhouse yang dirancang sebagai tempat gig dengan kegiatan-kegiatan yang menawarkan banyak konten. Mereka mengibaratkan Earhouse sebagai rumah yang terbuka bagi siapa saja yang datang. ”Jadi, ibaratnya kalau di rumah kami bisa bikin ini bikin itu tanpa ada rasa segan,” kata Endah.
Sebagai rumah Endah dan Rhesa, Earhouse lekat dengan ornamen-ornamen khas Endah Rhesa. Selain didesain bergaya industrial dengan sentuhan bata ekspose, ada Endah’s Reading Corner dan Rhesa’s Game Zone yang merefleksikan sosok keduanya. Begitu juga dengan menumenu yang tersaji di sana.
Di masa-masa awal, kegiatan yang digelar adalah jam session setiap Senin, Rabu, dan Kamis. Sebelum ada Song Writing Club yang digelar setiap Senin, ada kelas gitar dan bas gratis bernama Monday Practise. Pada Rabu, digelar sesi jam session dengan house band Endah N Rhesa.
”Waktu itu kami main dulu berdua 30 menit. Setelah itu panggil siapa saja yang mau main, pakai dipaksa-paksa. Kalau sekarang udah pada rebutan,” kata Endah. Sesi itu dibuat sehangat mungkin, se-supportive mungkin tanpa ada sorakan bernada mengejek dan semacamnya. Sementara pada Kamis, Endah N Rhesa main penuh selama satu jam.
Hampir tiga tahun berada di Kompleks Ruko Pamulang Permai, Februari tahun lalu, Earhouse pindah ke Kompleks Pasar Kita. Kegiatan Monday Practise lantas berubah menjadi Song Writing Club dengan pertimbangan setiap orang bisa membuat lagu.
”Ini lebih untuk triggering ide, kasih PR setiap minggu, terus saya latih sedikit-sedikit performance-nya. Jadi, sedikit-sedikit mereka latihan gitar, nyanyi, meskipun lebih banyak ke menulis lagu. Supaya ada motivasi, saya mereka suruh main di depan,” kata Endah.
Di sesi Song Writing Club itu, Endah kerap dibantu sesama musisi. Di antaranya pasangan Bonita dan Adoy dari Bonita & The Hus Band yang lalu rutin bersama Endah mengisi Song Writing Club, juga Jason Ranti dan Via.
Dari kegiatan-kegiatan itu, Endah bisa menyaksikan perkembangan anak-anak yang datang ke Earhouse. ”Ada yang tadinya bikin lagunya gimana, sekarang sudah ada yang bikin album dan tampil di mana-mana. Ada yang sudah bisa hidup dari musik,” kata Endah. Salah satunya adalah mantan house band Earhouse, Classmate Journal, yang kini diproduseri Endah N Resha.
Untuk setiap band yang ingin tampil di Thursday Live Night, mereka harus bisa bermain live dengan bagus. ”Jadi, riil. Musisi ketika di panggung sudah tidak di kamar lagi. Kalau mereka kasih audio yang rekaman, saya selalu minta yang live. Kemampuan main live ini perlu kalau memutuskan jadi musisi,” kata Endah.
Selain musisi-musisi asal Pamulang, banyak musisi luar kota yang juga tampil di Earhouse seperti dari Samarinda, Bali, Pontianak, dan Medan.
Untuk setiap aktivitas musik yang digelar di Earhouse, Endah dan Rhesa tak pernah menarik biaya. Semuanya gratis karena Endah dan Rhesa memang ingin membuat tempat yang bersahabat.
”Makanya juga ada air putih Rp 2.000, free refill. Saya paham betapa hausnya anak-anak yang belum produktif, tetapi mereka butuh musik bagus dan workshop, talkshow, atau apa pun itu. Bahkan, kalau seekstrem-ekstremnya mereka mau makan kenyang dulu di rumah, lalu ke sini minum air putih pun enggak papa,” kata Endah.
Baginya, Earhouse adalah idealisme, sama halnya seperti album. ”Saya sama Rhesa sudah komit untuk mengurusi Earhouse sekuat-kuatnya,” kata Endah.
Saat ini Earhouse juga menyediakan Earspace untuk memfasilitasi kreativitas anak-anak muda itu secara lebih advantage. Sebuah ruangan yang bisa digunakan untuk membuat foto, videoklip, vlog atau bahkan workshop. Sewanya murah, Rp 80.000 per jam. Ada juga Earstore yang menyediakan merchandise band dan menampung karya-karya artis lokal.
Secara rutin, mereka juga menggelar tiga kegiatan besar mulai dari Community Day yang mempertemukan berbagai komunitas, Workshop Day yang mendatangkan narasumber penting, hingga Earhouse Music Festival. Beberapa nama yang pernah terlibat dalam kegiatan tersebut adalah Marginal, Robi Navicula, Ari Reda, dan pasangan bapak anak Benny dan Barry Likumahuwa.
Hingga menjelang lima tahun usia Earhouse, Endah cukup berbangga karena telah banyak bakat baru lahir dari Earhouse. Namun, baginya, tidak semuanya karena peran Earhouse. Earhouse, menurut Endah, hanya tempat. ”Yang menentukan mereka maju atau enggak, ya, mereka” papar Endah.
Dari awal, Endah juga tidak pernah menjanjikan apa pun. Setiap orang bebas datang dan pergi kapan saja. ”Saya di sini karena saya ingin di sini. Ada atau enggak ada mereka, saya tetap di sini. Saya malah suruh mereka nongkrong dan belajar di tempat lain, belajar dengan lebih dari satu orang,” ujar Endah.