Oleh-oleh Ida Lawrence
Lewat keranjang buah, jasad serangga, dan dinding bangunan di suatu kota, seniman Ida Lawrence berupaya mempersoalkan makna oleh- oleh atau buah tangan. Apakah oleh-oleh selalu harus berupa makanan khas atau suvenir unik dari suatu daerah? Tidak bisakah oleh-oleh diwujudkan dalam sesuatu yang sama sekali lain, misalnya ornamen bambu yang ada di sebuah pantai?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang tampaknya hendak diajukan Ida melalui pameran tunggalnya yang bertajuk ”Jangan Lupa Bawa Oleh-oleh Ya (Dan Apa yang Kita Ambil dari Suatu Tempat)”. Pameran yang digelar di Redbase Foundation, Bantul, DI Yogyakarta, itu berlangsung pada 6 Januari sampai 8 Februari 2018.
Ida Lawrence merupakan seniman berdarah Indonesia-Australia yang telah menggelar pameran dan mengikuti residensi di sejumlah negara, misalnya Jepang, Malaysia, Australia, dan Indonesia. Selain mendalami seni rupa, Ida juga pernah belajar tari di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Pameran ”Jangan Lupa Bawa Oleh-oleh Ya” merupakan hasil residensi Ida di Redbase Foundation dan tampaknya berawal dari kegelisahan sang seniman mengenai oleh-oleh. Seperti kebanyakan dari kita, Ida kadang mengalami kebingungan saat harus memilih oleh-oleh untuk diberikan kepada keluarganya. Namun, situasi yang dialami Ida barangkali lebih pelik karena ia hidup di antara dua kultur yang sangat berbeda.
Ida mengisahkan, ketika berkunjung ke keluarga ayahnya yang tinggal di sekitar Kota Solo, Jawa Tengah, ia kerap diberi aneka camilan sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang. Namun, di sisi lain, Ida mengaku kerap kebingungan harus membawa barang apa sebagai oleh-oleh untuk keluarganya tersebut. Bahkan, karena takut salah memilih oleh- oleh, Ida kadang justru memilih tak membawa apa-apa sebagai buah tangan.
”Saya sendiri merasa kurang percaya diri dalam memilih oleh-oleh untuk saya bawa ke rumah nenek, pakde, bude, dan sepupu-sepupu saya—apa yang mungkin saya berikan yang mampu menarasikan betapa saya menyayangi dan menghormati mereka? Kadang saya tidak membawa apa-apa karena rasa takut akan kegagalan (dalam memilih oleh-oleh) yang terlalu berlebihan,” ujar Ida dalam tulisan terkait pamerannya.
Personal
Dalam kultur kita di Indonesia, budaya membawa oleh-oleh memang mengakar kuat dan dalam. Membawa oleh-oleh dari tempat yang kita kunjungi dianggap sebagai bentuk kecintaan dan kasih sayang kepada keluarga dan teman. Barang-barang tertentu yang bisa dianggap sebagai oleh-oleh pun sudah terkonstruksi sedemikian rupa sehingga kebanyakan dari kita tak bisa mengelak dari konstruksi semacam itu.
Dalam karya bertajuk ”Kenang-kenangan”, misalnya, Ida memajang sejumlah obyek, antara lain kemoceng, alat pemukul serangga, dan beberapa jasad serangga yang sudah mati. Sementara itu, dalam karya bertajuk ”Oleh-oleh Khas Pantai Krakal”, Ida menampilkan ornamen bambu yang mirip dengan ornamen bambu yang ia temui di salah satu pantai terkenal di Kabupaten Gunung Kidul, DIY, itu.
Pada seri karyanya yang diberi tajuk ”Oleh-oleh Khas”, Ida menghadirkan serangkaian foto dinding berbagai bangunan di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kondisi setiap dinding itu berbeda-beda, ada yang catnya telah terkelupas dan kusam karena kotoran, ada yang penuh grafiti dan coret-coretan, dan ada pula yang sudah retak-retak. Selain itu, Ida juga membuat sejumlah lukisan di atas medium kayu lapis yang merekonstruksi bagian-bagian tertentu dari foto-foto yang ditampilkannya.
Melalui karya-karya tersebut, tampak jelas tendensi Ida untuk mempertanyakan pendapat umum yang kadung terbentuk mengenai oleh-oleh. Dengan menampilkan dinding-dinding suatu kota dan melabelinya sebagai ”oleh-oleh khas”, Ida seolah ingin menyatakan bahwa pemaknaan oleh-oleh bisa menjadi sangat personal dan tidak harus mengikuti pendapat umum yang sudah ada sebelumnya.
Lewat pameran ini, Ida juga terlihat ingin mengeksplorasi oleh-oleh bukan hanya sebagai buah tangan atau barang pemberian, melainkan juga sebagai kenangan akan sebuah tempat. Namun, ia tampaknya juga ingin menegaskan bahwa kenangan akan sebuah tempat merupakan sesuatu yang bisa jadi sangat personal.
Barangkali karena itu pula, saat berada di Yogyakarta, Ida tak memilih menjadikan foto bangunan-bangunan unik di kota tersebut, misalnya Tugu Yogyakarta, alun-alun, atau keraton, sebagai ”oleh-oleh khas”. Ia justru memilih mengabadikan dinding-dinding yang anonim dan tak mudah dikenali orang lain lalu menjadikannya sebagai sebuah kenangan yang barangkali hanya akan bermakna buat dirinya sendiri.
Sebagai sebuah proyek seni rupa, pameran ”Jangan Lupa Bawa Oleh-oleh Ya” bisa dibilang sangat bercita rasa kontemporer karena Ida Lawrence kelihatan tak lagi mementingkan batasan- batasan lama mengenai karya rupa. Salah satu indikasinya, Ida dengan santai mencomot barang sehari-hari (yang dalam konvensi lama akan dianggap bukan ”karya seni”) lalu ”mengakuisisinya” menjadi bagian dari pameran ini.
Namun, yang juga perlu dikatakan, tendensi mencomot barang sehari-hari itu bukanlah sesuatu yang baru di dunia seni rupa kontemporer. Bahkan, tanpa sebuah visi yang baru, menghadirkan barang sehari-hari ke dalam pameran seni rupa justru bisa terlihat sebagai sekadar repetisi.
Barangkali karena itu pula, kita tak akan lagi terkejut saat melihat keranjang buah, kemoceng, dan alat pemukul serangga pada pameran ”Jangan Lupa Bawa Oleh-oleh Ya”. Kehadiran barang-barang tersebut di pameran ini bisa jadi akan dilihat sebagai kelaziman yang kelewat biasa. (Haris Firdaus)