Mengenal Ulang Kuliner Poso
Cara membungkus nasi dengan daun iramakajoko itu diadopsi dari cara masyarakat setempat yang masih melakukan cara tersebut manakala membawakan bekal bagi para pekerja di ladang atau kebun. Membuat nasi berjejak dengan aroma sedap, memanggil-manggil selera untuk segera bersantap.
Sup ikan oncoarogo, bahan dasarnya adalah ikan mujair yang dimasak bersama daun oncoarogo atau disebut kedondong hutan yang sudah sejak lama dikenal sebagai salah satu bahan baku makanan khas Poso dan dikenal memiliki kandungan gizi tinggi. Selain biasa dimasak dengan ikan mujair atau bisa juga diganti dengan ikan gabus, daun oncoarogo biasa dimasak dengan labu atau dalam bahasa lokal dikenal dengan nama sambiki.
Sup ikan oncoarogo ini cita rasanya gurih segar dengan sentilan rasa pedas dari cabai yang digunakan sebagai salah satu bumbu. Bumbu-bumbunya sederhana berupa serai, bawang merah, daun bawang, garam, dan kecombrang untuk menghilangkan bau amis atau anyir ikan.
”Daun oncoarogo dipotong-potong saja pakai tangan, dimasukkan belakangan agar tidak lembek karena terlalu matang. Sup ikan oncoarogo, biasanya disajikan di pesta-pesta perkawinan, ulang tahun, hingga acara syukuran desa yang disebut padungka,” ujar Mama Seldi.
Ikan yang digunakan, kata Mama Seldi, tidak harus mujair atau gabus. Bisa juga diganti dengan ikan laut. Bila tidak suka ikan, bisa juga diganti dengan ayam.
Sebagai pilihan kedua, ada sayur pisang atau bekaloka yang bahan bakunya menggunakan pisang sepatu yang masih mentah atau mengkal, dimasak dengan santan kental. Teksturnya yang liat dan padat dengan cita rasa yang tidak mendominasi, pas berpadu dengan santan kental yang gurih.
Bumbu yang minimalis, tanpa penggunaan penyedap rasa, tak membuat sayur pisang kehilangan pesona. Justru cita rasa asli sayur pisang membuat acara bersantap makin terasa nikmat. Lidah yang terbiasa terjajah penyedap, ada saatnya harus menikmati cita rasa murni berbagai jenis bahan makanan agar tak terus-menerus teperdaya cita rasa buatan yang palsu.
Sebagai lauk, ada ituwu ikan mujair oncoarogo yang makin menambah nikmat acara bersantap. Ituwu ini dimasak di dalam bambu inuyu di atas bara, sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat Poso. Menghasilkan tekstur ikan yang lembut, dengan aroma bambu yang lagi-lagi menerbitkan selera makan.
Tradisi bergeser
Menurut Lian, ide membuka restoran yang menyajikan menu-menu lokal Poso muncul karena dia menemukan banyak sekali makanan lokal yang enak dengan bahan baku luar biasa, tetapi tidak dikenal luas. Dalam waktu bersamaan, tradisi masyarakat Tentena yang sebelumnya lebih senang makan di rumah, mulai bergeser dengan tradisi makan di luar rumah, khususnya di akhir pekan.
”Banyak tempat makan di sini, tetapi tidak ada tempat yang mengangkat kultur di sini. Yang bertebaran malah makanan seperti fried chicken (ayam goreng) dan burger. Ini, kan, kontras sekali antara kekayaan sumber daya alam yang ada dengan yang ingin disediakan untuk masyarakat,” kata Lian.
Di sisi lain, Tentena juga mulai kerap kedatangan wisatawan mancanegara yang umumnya vegetarian sehingga membutuhkan makanan yang selain kaya sayuran juga ramah lingkungan, seperti tidak menggunakan penyedap dan minyak kelapa sawit. Secara bersamaan, Institut Mosintuwu yang mengelola sekolah perempuan, membina ibu-ibu di berbagai desa yang telah berhasil memproduksi minyak kelapa murni VCO (virgin coconut oil) , kopi, dan bahan-bahan lainnya.
”Ini semua gabung dan akhirnya kami memutuskan membuka ruang alternatif untuk makan, untuk mengenalkan ulang menu-menu tradisional Tentena. Kalau terlalu lama tidak ada narasi tentang makanan selain fried chicken dan burger, pelan-pelan narasi makanan kita akan habis. Jadi, harus ada yang mau terus jadi jangkrik di malam hari atau kodok saat hujan agar jadi pengingat untuk kita,” ujar Lian.
Dia mencontohkan ituwu yang saat ini sudah sangat jarang dipraktikkan karena beralih dengan cara kukus. Padahal, bambu yang digunakan tidak sekadar menghasilkan makanan yang jauh lebih sedap, tetapi juga memberi manfaat kesehatan.
Masyakarat Tentena lebih senang mengolah daun oncoarogo dan ikan dengan resep kuah kuning, woku atau dibakar. ”Daun-daunan, seperti oncoarogo juga sudah ditinggalkan. Padahal, daun ini, menurut orang-orang tua juga bermanfaat sebagai obat ginjal dan membantu proses metabolisme tubuh menjadi lebih bagus,” kata Lian.
Sejauh ini, sebanyak 40 persen bahan baku diperoleh dari lingkungan sekitar restoran. Selebihnya, Lian juga tengah mencoba mengembangkan kebun di sekitar restoran agar bisa memasok kebutuhan bahan baku. Menu-menu yang disajikan, diperoleh berdasar riset bersama budayawan setempat, termasuk sayur gedi dan sayur lilin, yang menyerupai batang rotan, dan hanya tumbuh di tempat tertentu di Poso.