Ketika Dinding Bercerita
Graphic recording (rekaman melalui grafis) merupakan cara yang unik untuk bercerita dan menyampaikan pesan. Tidak seperti komik yang memiliki kotak-kotak berurutan, graphic recording digambar acak hingga memenuhi kertas, papan, bahkan menjadi mural (gambar di tembok). Meskipun acak, setiap gambar memiliki kaitan sehingga menjadi kesatuan kisah.
Tema utama memiliki ukuran tulisan lebih besar dari yang lain sehingga dapat menjadi panduan. Para pembaca bebas bertualang dalam cerita sesuai imaji masing-masing, tanpa harus melulu dituntun dengan arah panah. Melalui gambar-gambar yang komunikatif, pembaca bisa menerjemahkan pesan yang disampaikan dengan cara yang menyenangkan.
Dengan konsep graphic recording ini, Impro Visual Storyteller, perusahaan desain dari Jakarta, menyajikan cara menyampaikan pesan dengan bentuk yang unik dan mudah dicerna. ”Gambar menjadi alat komunikasi yang sederhana dan lebih menarik dibandingkan kata-kata saja,” ujar Rendra Almetsier, Chief Executive Officer (CEO) Impro Visual Storyteller beberapa pekan lalu di Jakarta.
Menurut Rendra, penyampaian pesan melalui graphic recording bukanlah hal yang baru. Konsep ini terinspirasi dari relief-relief yang ada di candi. Setiap ukiran berkaitan membentuk kisah yang diceritakan kepada para pengunjung.
”Manusia zaman dulu tetap menggunakan gambar untuk bercerita meskipun sudah memiliki aksara. Gambar itu mudah dipahami,” ujarnya.
Memupus bosan
Bondan Bondowoso, ilustrator dan desainer grafis, mengungkapkan, graphic recording bisa membuat ruangan menjadi tidak membosankan. Dengan komposisi yang pas, grafis di dinding bisa menjadi agen penyampai pesan yang menarik. Pengunjung ataupun penghuni ruang bisa menikmati cerita dalam setiap gambar sekaligus mencerna pesan yang disampaikan.
Menurut Bondan, ilustrasi dengan graphic recording adalah cara yang menarik untuk mengabadikan suatu momen, misalnya, kisah kilas balik seseorang ataupun sejarah dan pencapaian perusahaan. Ia berpendapat, mengabadikan lewat foto tidak begitu lengkap karena momen yang didapat hanya pada pengambilan foto saja. ”Ilustrasi bisa merekam yang terlihat maupun yang tidak. Semuanya bisa dituangkan dengan kesepakatan antara klien dan kami,” katanya.
Hal senada juga diungkapkan oleh rekan sesama ilustrator dan desainer Bondan di Impro, Adam Suhanda. Ia mengungkapkan, kesamaan ide antara ilustrator dan klien adalah hal yang penting karena merekalah sumber dari cerita yang akan diwujudkan. ”Ilustrator adalah jembatan untuk memvisualisasikan ide dari klien sehingga menjadi sebuah karya,” ujarnya.
Kesamaan persepsi antara ilustrator dan klien menjadi sebuah keniscayaan untuk membuat graphic recording, terutama dengan bentuk mural. Para ilustrator dan desainer harus paham dengan apa yang diinginkan klien. Begitupun klien, harus bisa menyelaraskan ide dengan ilustrator sehingga nanti tidak ada perubahan desain saat eksekusi di dinding.
Hadhoro Muttaqin, produser Impro, mengatakan, diskusi dengan menggunakan storyboard (papan cerita) sangat diperlukan sebelum membuat mural dengan konsep graphic recording. Tim produser dan ilustrator harus mengadakan beberapa kali pertemuan untuk memastikan persetujuan dari klien. ”Kepuasan mural itu seperti tato. Dia melekat, dan akan terlihat buruk jika tidak sesuai dengan keinginan klien,” katanya.
Hadhoro mengatakan, perlu keberanian dan kematangan ide untuk membuat mural dengan konsep ini. Ia memberikan alternatif dengan menggunakan pelapis dinding atau wallpaper sehingga dapat dilepas dengan mudah.
Hadhoro menjelaskan, Impro baru mulai menerima pesanan mural graphic recording semenjak awal 2016 atas ide klien. Sebelumnya, karya dengan konsep ini sudah digunakan oleh Impro dari 2011 dengan format video maupun poster.
Rendra menambahkan, dibentuk pada 2005, Impro pada awalnya hanyalah perusahaan desain komunikasi pada umumnya. Konsep graphic recording ini kemudian hadir sebagai alternatif dalam komunikasi kreatif karena tidak membutuhkan biaya yang banyak, tetapi bisa menyampaikan pesan dengan cara yang efektif.
”Pesan tersebut tidak hanya menarik bagi pembaca, tetapi juga mampu mengajak mereka untuk bergerak sesuai dengan pesan yang disampaikan,” ujarnya. Dengan graphic story, dinding tidak lagi bisu. Mereka berkisah, memberi makna lewat paduan gambar dan kata-kata. (DD12)