Bondan Winarno Berpulang. Inilah Tulisan Terakhirnya di Milis Grup Jalan Sutera
JAKARTA, KOMPAS — Bondan Winarno yang memopulerkan sebutan “Maknyusss” telah berpulang, Rabu (29/11) pukul 09.05 di RS Jantung Harapan Kita Jakarta. Jenazah Bondan disemayamkan di rumah milik salah satu anaknya di Jalan Bangsawan Raya Nomor 2, Imperial Golf Estate, Bukit Sentul (Sentul City), Bogor.
Penutupan peti jenazah Bondan Winarno dilakukan Kamis (30/11) pukul 12.00. Setelah itu, dari rumah duka, jenazah Bondan akan dikremasi di Rumah Sakit Sentra Medika Cibinong.
Bondan Haryo Winarno lahir di Surabaya, 29 April 1950, dan pernah kuliah di Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (Undip), Semarang tapi tidak selesai.
Bondan Winarno cukup lama berkecimpung dalam dunia media massa. Bondan antara lain pernah menjabat General Manager Sinar Harapan PT Sinar Kasih (1979 - 1983), Redaktur Pelaksana Mutiara PT Sinar Kasih (1979-1983), Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Swasembada (1985-1988), Konsultan External Affairs Bank Dunia, Jakarta (1998-1999), Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan (2001-2003), dan terakhir penulis kolom di berbagai media serta presenter TV (sejak 2003).
Bondan Winarno adalah Ketua Pelaksana Phinisi Nusantara Jakarta-Vancouver (1986), Ketua Pelaksana Konferensi Nasional Kesejahteraan Anak (1987), Pendiri Komite Kemanusiaan Indonesia (1998), pendiri Komite Masyarakat Transparasi Indonesia (1998), dan Ketua Pelaksana Indonesia Forum (1998).
Pada 24 Oktober 2017, Bondan Winarno sempat makan siang bersama dua penulis buku, yaitu Marsekal Purn Chappy Hakim dan Imelda Bachtiar di Plaza Senayan Jakarta. "Waktu itu Pak Bondan cerita ia sedang menulis pengalamannya operasi jantung. \'Biar orang-orang berani dioperasi, Mel\'," tulis Imelda dalam grup Penulis Buku. Imelda sedang menulis buku “Dari Capung sampai Hercules: 70 Tutur tentang Chappy Hakim”. Salah satu yang menulis tentang sosok Chappy Hakim adalah Bondan Winarno.
Daniel Dhakidae, penulis buku dan mantan Kepala Litbang Harian Kompas mengungkapkan, dia mengenal Bondan Winarno sejak tamat UGM dan menjadi Redpel Prisma, sekitar tahun 1980-an. Waktu itu Bondan Redpel majalah Mutiara, bagian konglomerasi Sinar Harapan. "Bondan penulis esai yang andal dan penulis novel," kata Daniel.
"Pernah saya tanya suatu kali: apa itu yang selalu bergantung di pinggangmu?" cerita Daniel Dhakidae.
"Itu alat pengukur langkah saya. Setiap gerak langkah saya akan dicatat. Dan saya harus bergerak setiap hari sekitar 5.000 langkah. Saya berasal dari keluarga yang mati muda. Setiap saat saya dihantui perasaan mati muda itu," jelas Bondan kepada Daniel Dhakidae.
"Baru jauh kemudian hari, setelah saya kembali dari Cornell University, baru saya tahu bakatnya yang lain di bidang kuliner. Self-consciousness di bidang kesehatan yang menyebabkan dia tidak mati muda. Adieu my friend.. to eternity," tulis Daniel Dhakidae dalam grup penulis buku.
Berikut ini tulisan terakhir Bondan Winarno di milis grup Jalan Sutera. Tulisan ini sudah diedit.
Keluarga JS-ku
Mohon maaf bila selama beberapa hari ini saya menyembunyikan sebuah rahasia besar dari Anda semua.
Saya ceritakan latar belakangnya.
Tahun 2005, dalam penerbangan Singapura-Jakarta, saya merasakan ujung-ujung jari tangan kanan saya ba\'al alias kesemutan. Begitu mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, saya telepon minta advis Dr. Sindhiarta Mulya. Saya disarankan segera menuju rumah sakit yang dekat dengan rumah saya untuk menjalani pemeriksaan MRI. Karena waktu itu saya masih tinggal di Bintaro, saya langsung ke RS Premier Bintaro. Eh, ternyata Dr. Sindhi sudah menunggu saya di sana.
Setelah MRI, saya disarankan observasi di RSP Bintaro selama tiga hari. Kesimpulan: cardiologist strongly suspected penyumbatan arteri jantung dan saya harus menjalani kateterisasi sesegera mungkin. In contrary, neurologist di RS yang sama mengatakan bahwa yang saya alami sama sekali bukanlah penyakit jantung.
Setelah itu, saya mencari second opinion di RSPI. Kesimpulan sama: cardiologist bilang harus kateterisasi segera. Neurologist RSPI juga bilang: bukan masalah jantung.
Dalam kebimbangan, saya tidak menjalani kateterisasi. Saya hanya minum Plavix (pil pengencer darah) untuk menghindari penyumbatan arteri.
Setahun setelah minum Plavix terus-menerus, saya nyaris pingsan di rumah Yohan Handoyo setelah minum wine dan makan steak masakan Adi Taroe. Untung rumah Yohan di Bogor itu dekat dgn RS Azra. Dokter jaga yang berpengalaman menemukan diagnosa: tekanan darah terlalu rendah karena darah terlalu encer.
Sejak saat itu saya ke HSC di Kuala Lumpur untuk annual check up. Di sana dikonfirmasi dengan MSCT bahwa saya memang tidak mengidap penyakit jantung.
April 2015, sewaktu Annual Medex di HSC Kuala Lumpur, ditemukan dilatasi (penggembungan) pada aorta saya pada tahap awal. Dalam bahasa medis, penyakit ini disebut: aorta aneurysm. Menurut Dr. Soo, setiap tahun perlu diawasi apakah membesar dan perlu tindakan operasi. Katanya: saya seperti membawa bom waktu yang setiap saat bisa pecah dan mematikan saya. Dr. Soo juga mengaku bahwa dia bukan ahlinya di bidang aneurysm. Bila perlu pembedahan, dia harus mengundang dokter bedah dari Jepang. Biaya diperkirakan Rp 600-700 juta.
April 2016, saya sudah appointment dengan Dr. Soo di HSC Kuala Lumpur. Tapi pas hari itu justru dia dilarikan ke RS untuk operasi. Tim dokter yang menangani saya tidak memuaskan saya dalam memberi info tentang aneurysm saya.
April 2017, saya appointment lagi untuk berkonsultasi dengan Dr. Soo. Eh, ternyata dia mendadak sakit. Saya langsung jalan-jalan ke tempat adik saya di Penang. Di sana saya mengalami semacam pencerahan. "Kenapa saya pasrahkan masalah kesehatan saya kepada orang yang bukan ahlinya?" Dr. Soo adalah salah satu ahli kateter di Asia, tapi bukan ahli aneurysm. Saya segera berkomunikasi dengan Dr. Sindhi yang langsung saja membanjiri saya dengan berbagai info bagus dan penting. Saya putuskan untuk mengikuti saran Dr. Sindhi.
Bulan Juli 2017, saya jalan-jalan seharian dengan Dr. Sindhi di sekitar Tangerang, diakhiri dengan makan siang kuliner Betawi di Mpok Kuni. Eh, ternyata Dr. Sindhi mengantar saya ke RS Siloam Karawaci dan sudah membuat appointment untuk bertemu Dr. Iwan Dakota, ahli vaskuler, adik Kapolri Tito Karnavian. Saya bahkan disambut oleh Dirut RS Siloam Karawaci, sahabat Dr. Sindhi.
Dalam pemeriksaan oleh Dr. Iwan, setelah memeriksa hasil medical record terakhir saya di HSC Kuala Lumpur, hanya dengan stetoskop, Dr. Iwan menemukan masalah lain: katup aorta saya bocor. Saya diminta untuk segera ke PJN Harapan Kita keesokan harinya untuk pemeriksaan echo. Dalam pemeriksaan echo di RS Harapan Kita, 65 persen confirmed bahwa katup aorta saya bocor. Saya kemudian menjalani TEE (endoscopy) untuk mendapatkan 90 persen konfirmasi. Demikianlah, dalam waktu singkat tim dokter Harapan Kita menemukan kelainan lain yang perlu segera ditangani.
Dr. Iwan me-refer saya kepada tim bedahnya, Dr. Dicky Alighiery Hartono, ahli bedah vaskular lulusan Korsel. Ini adalah pembedahan paling berat, rumit, dan sulit, berlangsung 5-6 jam. "Mumpung Pak Bondan sedang fit, kita lakukan segera, ya?" katanya.
Tanggal 27 September 2017 pagi, saya menjalani dua operasi sekaligus: penggantian katup aorta dan penggantian aorta yang mengalami dilatasi. Operasi berlangsung selama lima jam dan dinyatakan berhasil. Saya siuman di ICU sore hari dan dirawat selama 24 jam di ICU. Dari ICU saya dipindah ke Intermediary Ward.
Normalnya, bila operasi berhasil, 24 jam sesudah di Intermediary Ward, maka pasien akan dipindahkan ke kamar perawatan biasa. Dalam operasi besar seperti yang saya alami, ada dua hantu komplikasi. Pertama, perdarahan, dan kedua, aritmia (denyut jantung tidak beraturan). Saya terbebas dari perdarahan. Tapi, Sabtu dinihari saya kejang-kejang dalam tidur saya. Ternyata saya mengalami komplikasi aritmia. Saya dipasangi TPM (Temporary PaceMaker) sambil dimonitor penyebabnya (biasanya karena peradangan).
Untuk aritmia ini, saya ditangani Dr. Dicky Hanafy, lulusan Jerman. Karena setelah 72 jam tidak tampak progress dari TPM, Selasa siang Dr. Dicky memutuskan untuk memasang TPM lain di pangkal paha. Terus terang, saya ketakutan
Miracle happens. Selasa malam, ketika perawat sedang mempersiapkan saya untuk didorong ke kamar operasi, tiba-tiba denyut nadi saya berirama kembali. Operasi dibatalkan. Saya lega setengah mati.
Demikianlah, kejadian demi kejadian telah saya alami. Untuk sementara saya belum dapat dijenguk di Intermediary Ward. Tapi, bila keadaan membaik, Jumat ini saya akan dipindah ke kamar perawatan. Tempatnya terlalu kecil untuk Anda menjenguk.
Karena itu, sambil GR akan banyak yang menjenguk saya, saya sudah mengatur tempat di lobby Wisma Fits, di dalam kompleks RSIB dan PJN Harapan Kita untuk satu sesi bezoek sutra Minggu, 8 Oktober pukul 13.00-15.00 untuk 10 orang.
Mohon mendaftar ke Lidia Tanod dan Harry Nazarudin untuk mengatur kunjungan. Di luar waktu tersebut, mohon maaf, tidak dapat saya terima. Mohon doa Anda semua agar pemulihan saya tuntas dan lancar.
Salam,
Bondan Winarno