JAKARTA, KOMPAS — Perkumpulan desainer, Indonesian Fashion Chamber, meminta pemerintah mendukung busana Muslim menuju panggung internasional. Hal itu untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat busana Muslim dunia. Apalagi, Indonesia merupakan yang pertama memperkenalkan model-model busana Muslim.
”Sulit banget ngomong sama pemerintah. Dikira kita hanya mau jalan-jalan,” Ketua Indonesian Fashion Chamber (IFC) Jakarta, Hannie Hananto, Sabtu (25/11), pada acara Indonesia Creative Week (ICW) 2017, di Lippo Mall Kemang, Jakarta Selatan.
Menurut Hannie, pemerintah harus mendorong desainer lokal untuk tampil di ajang besar luar negeri. Contohnya seperti Dubai Modest Fashion Week. Lewat tampil, Indonesia bisa menjadi pusat busana Muslim dunia.
”Tidak bisa dimungkiri, Indonesia yang mulai mengenalkan gaya-gaya dalam busana Muslim,” kata Hannie.
Hannie mencontohkan, salah satu model yang dikenalkan dari Indonesia adalah modest syar’i. Model syar’i dicirikan sekilas dengan busana yang ekstra longgar dan tidak memberi siluet bentuk tubuh sama sekali. Model ini pula yang menjadi ciri khas busana Hannie.
”Syar’i warna-warni itu kita yang kenalin. Kadang sedih kalau diklaim negara tetangga. Kita yang bikin, mereka yang ngelanjutin dan dikenal,” ucap Hannie.
Namun, pusat perhatian saat ini mulai diambil oleh Malaysia. Hal itu terlihat dari dominasi di media sosial Instagram. ”Mereka sangat dominan,” kata Hannie.
Padahal, dikatakan Hannie, Malaysia baru marak masuk ke dalam dunia itu sekitar dua tahun. Akan tetapi, Malaysia didukung penuh oleh pemerintah untuk tampil ke ajang-ajang dunia, sementara Pemerintah Indonesia belum mengarah ke sana.
Untuk itu, perlu bantuan pemerintah secara terus-menerus. Tidak bisa hanya dalam setahun. Baru setelah dari ajang luar, dinilai Hannie, Indonesia bisa mengembangkan ajang lokal busana Muslim yang besar.
Salah satu yang sudah ada adalah Muslim Fashion Festival Indonesia (Muffest). Ajang ini sudah mampu menjadi yang terbesar dalam skala nasional. ”Tetapi, idealnya kita keluar dulu untuk menarik dan memperlihatkan standar busana Muslim Indonesia,” tutur Hannie.
Kekhasan
Busana Muslim di Indonesia saat ini juga sudah bermacam-macam. Busana Muslim milik Hannie menggunakan konsep yang menyenangkan dan modern. Busana ini bisa dipakai juga oleh non-Muslim. Percampuran motif menjadi andalannya.
Ide itu didapatnya karena kegelisahan melihat muslimah Indonesia yang mengenakan busana terlalu berlebihan. ”Misalnya, kembangnya banyak banget,” kata Hannie.
Untuk itu, sejak 2011, ia mulai memperkenalkan konsep yang simpel, tetapi tetap elegan. Gaya itu pun mulai diterima dua tahun belakangan.
Sementara anggota IFC lainnya, Eugene, memiliki konsep yang cukup unik. Pemilik merek Eugeneffectes ini kerap menabrakkan gaya jalanan ala Harajuku pada busana Muslimnya.
”Gaya saya lebih ke street style. Saya memang suka menabrakkan model. Ada yang lengannya satu panjang dan satunya pendek,” ucap Eugene.
Eugene pun mengatakan, karyanya bisa diterima oleh negara-negara lain. Seperti non-Muslim dari Australia yang membeli busananya.
ICW 2017
Pada ICW 2017, Minggu (26/11), Eugene akan mengombinasikan busana Muslim dengan gaya Harajuku. Uniknya, motif yang digunakan adalah baju perang tentara Rusia dan dipadukan dengan kemeja putih di dalamnya.
”Saya dapat ide baju perang itu saat menonton suatu film. Jadi, saya buat saja jadi motif,” ucap Eugene.
ICW 2017 menghadirkan 18 desainer level nasional dengan berbagai karakter. Mulai dari Muslim, konvensional, dan etnik. Mereka diberi kesempatan mempertontonkan karyanya di depan pengunjung Lippo Mall Kemang. Sembilan desainer sudah tampil Sabtu ini, sedangkan sembilan lagi pada esok hari.
Desainer yang sudah tampil adalah Hannie Hananto, Fitri Aulia, Lisa Fitria, Monika Jufry, Bopa Accesories, Poppy Karim, Novita Yunus, Lenny Agustin, dan Wignyo Rahadi.
Salah satu yang mencuri perhatian adalah Wignyo Rahadi. Busananya tampil dengan kain asli Indonesia. Kain itu merupakan tenun ikat khas Desa Pringgasela, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Kain yang bermotif garis-garis itu mempercantik peraga yang mengenakannya.
Wignyo berharap, lewat ICW 2017, tenun khas itu bisa dikenal secara luas, baik oleh desainer, produsen, maupun konsumen. ”Itu sangat bagus untuk melestarikan kearifan lokal. Selama ini hanya dibuat untuk sarung. Jadi, sempoa bisa menjadi ragam busana yang unik,” ucapnya. (DD06)