Mengejar ”Branding”
Senyum lebar tak urung tetap mengembang dan menghiasi wajah para juara untuk kategori pria dan wanita dalam lomba maraton bergengsi tahunan Maybank Bali Marathon 2017. Sebenarnya mereka lelah dan letih, keringat mengucur dan napas tersengal. Pekan lalu, Maybank Bali Marathon digelar dan melintasi dua wilayah, yakni Kabupaten Klungkung dan Gianyar.
Adalah Henry Kiprotich dan Elizabeth Chepkanan Rumokol, asal Kenya, Afrika, yang keluar sebagai juara pertama nomor maraton (42,195 kilometer) putra dan putri. Mereka berhak atas hadiah uang masing-masing Rp 189 juta. Kiprotich dan Rumokol terpesona dan menikmati pemandangan alam serta kekayaan budaya yang disajikan di sepanjang jalur lari. Namun, dia mengeluh tentang jalur yang padat oleh peserta lari.
Maybank Bali Marathon kali ini diikuti sekitar 9.000 orang atau naik 20 persen dari tahun lalu. Saat awal digelar, pesertanya tak lebih dari 2.000 orang. MBM begitu populer di kalangan pelari sampai disebut sebagai ”Lebaran”-nya para pelari. Sebab, mereka berkumpul dan saling bersilaturahim antarindividu dan antarkomunitas.
Sejak setidaknya satu dekade terakhir, olahraga lari terbilang makin populer. Ada banyak ajang lomba lari jarak jauh, baik 10K maupun maraton, digelar di Tanah Air. Kebanyakan penyelenggara dan sponsor datang dari kalangan swasta, terutama perbankan. Ajang MBM sendiri digelar Maybank sejak enam tahun terakhir dan kali ini ada sedikitnya 44 negara asal peserta yang ikut.
Kerumunan orang-orang berduit adalah pasar. Perusahaan, terutama perbankan, melihat itu sebagai kaca jernih untuk branding. Maybank, Bank Mandiri, Bank BCA, dan Bank Jateng berbondong-bondong menggelar maraton dengan beragam nama.
Maraton bukan tak mungkin juga menjadi target utama para penyelenggara dan pihak sponsor. Hal itu dibenarkan Presiden Direktur PT Bank Maybank Indonesia Tbk (Maybank Indonesia) Taswin Zakaria sebagai penyelenggara utama.
Taswin mengungkapkan, ada banyak cabang olahraga populer dan menjadi andalan Indonesia untuk mendulang medali di setiap pertandingan atau perlombaan internasional. Sebut saja bulu tangkis. Namun, cabang olahraga populer seperti itu biasanya banyak yang mensponsori.
”Sementara saat awal kami memulai (MBM) olahraga maraton belum terlalu mewabah. Ajang lombanya di tingkat nasional saja paling hanya delapan lomba per tahun. Baru mulai tahun keempat dan kelima MBM digelar, total acara maraton tahunan skala nasional mulai melonjak sampai 60-an kali. Artinya, setiap minggu pasti ada maraton. Kami ikut senang bisa memopulerkan maraton,” tutur Taswin.
Ia menambahkan, Maybank untung dari sisi branding dan image, selain peningkatan kesadaran hidup sehat. ”Namun, jika ditanya berapa besar nilai rupiah keuntungannya, ya, ada, tetapi sepertinya tidak terlalu besar dan memang bukan semata itu tujuannya,” kata Taswin menambahkan.
Hal senada disampaikan race advisor Borobudur Marathon, Agus Hermawan. Maraton yang telah berlangsung empat kali tersebut kali ini kembali diselenggarakan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Bank Jateng, dengan menggandeng Kompas sebagai pelaksana.
Menurut dia, penyelenggara lebih banyak mendapat benefit daripada profit. Ketika sukses, nama baik penyelenggara meningkat. ”Apalagi, pelari di Indonesia itu terbilang bawel dan sangat demanding sehingga, kalau penyelenggaraannya buruk, mereka akan langsung complain dan ramai di media sosial. Jadi, nama baik perusahaan penyelenggara dan sponsor sangat dipertaruhkan. Jika sukses, branding-nya juga akan baik sekali. Olahraga lari sekarang juga, kan, memang lagi tren dan hit,” papar Agus.
Profit susah didapat lantaran biaya operasional jauh lebih besar dari biaya pendaftaran. Kekurangannya biasanya ditutupi dengan sokongan dari pihak sponsor. Biaya untuk seorang pelari pada lomba maraton bergengsi setidaknya Rp 800.000, padahal biaya pendaftaran hanya sekitar Rp 500.000 sampai Rp 700.000. Maka, daripada mengejar profit, mending mencari benefit berupa branding.
Sementara itu, Mira Wibowo, Senior Executive Vice President Pengembangan Bisnis dan Pemasaran Transaksi Perbankan BCA, mengatakan, branding hanya dampak dari strategi komunikasi mereka ke nasabah dan masyarakat karena maraton diikuti banyak orang. Dalam acara ini, BCA menggunakan media bercakupan luas, seperti media massa, media luar ruang, dan komunitas.
”Tujuan kami lebih ke bagaimana mendukung nasabah agar bisa hidup lebih baik dan sehat, termasuk bisnis mereka. Hidup sehat lewat olahraga berdampak positif ke banyak aspek, terutama jiwa dan raga,” tuturnya.
Direktur Utama Bank Jateng Supriyatno, Sabtu (2/9), di Pati, Jawa Tengah, mengatakan, pencitraan perusahaan atau branding melalui kegiatan yang digemari masyarakat sangat strategis. Salah satunya seperti kegiatan melalui Bank Jateng Borobudur Marathon 2017. Tidak hanya promosi ke masyarakat, tetapi juga memperkuat kohesivitas dan kesetiaan nasabah Bank Jateng.
Pujian dan kritik
Sejumlah pelari yang ditemui seusai berlari memuji penyelenggaraan MBM 2017. Selain pilihan jalur yang menarik dan kaya dengan pemandangan alam mengagumkan kawasan perbukitan dan pantai di dua kabupaten, Gianyar dan Klungkung, Bali, pihak penyelenggara juga bekerja sama dengan warga dan pemerintah daerah setempat untuk menyajikan hiburan sepanjang jalur lari.
Pujian datang dari Verawati (36) dan artis yang juga Putri Indonesia 2002, Melanie Putria (35), keduanya peserta MBM 2017. Beberapa saat setelah start para pelari disuguhi pemandangan cantik matahari terbit, serta area persawahan, pemandangan pantai dan pegunungan di sepanjang jalur lari. Selain itu, mereka juga disuguhi atraksi tarian dan kostum tradisional Bali serta sambutan anak-anak sekolah di setiap desa yang dilalui.
”Pokoknya, suasana dan pemandangannya beda banget. Enggak pernah aku lihat waktu ikut lomba maraton di tempat lain. Dibandingkan MBM 2017 ini, yang lain enggak ada apa-apanya. Keren banget, sepanjang jalan aku dan teman-teman banyak selfie (swafoto). Jalurnya paling asyik di Gianyar. Bisa lihat sunrise, sawah, sama budaya Bali,” ujar Verawati.
Sementara Nurdinah (48), yang sudah tiga kali ikut ajang MBM, juga memuji teknis penyelenggaraan kali ini. Menurut dia, penyelenggaraan lomba yang baik harus bisa memastikan tersedianya pos-pos air (water station) dan pasokan minuman yang memadai serta mencukupi, terutama untuk para pelari full marathon.
”Namun, yang tak kalah penting adalah dukungan dari masyarakat setempat. Setidaknya agar jalur lari bisa benar-benar steril. Sayangnya, di beberapa lomba maraton, terutama di Indonesia yang pernah saya ikuti, hal-hal seperti itu masih menjadi kendala. Contoh saat ikut Jakarta Marathon atau Pocari Sweat Bandung Marathon, masih ada jalur yang tidak steril,” ungkapnya.
Keluhan Nurdinah itu menguatkan pemikiran bahwa tidak semua penyelenggara bisa bekerja secara profesional. Tahun lalu, para pemenang marathon Palu Nomoni 2016 melaporkan penyelenggara ke polisi lantaran hadiahnya tak kunjung cair. ”Tahun ini, mereka mau mengadakan maraton lagi. Tidak tahu laku atau tidak,” kata seorang pelari.
Akuntan yang rajin ikut maraton, Reni Puspitasari (36), menjelaskan, dia kerap menemukan hal yang menunjukkan sisi ketidakprofesionalan panitia. Di MBM kemarin, peserta harus jalan kaki sekitar 1,8 km dari tempat parkir ke start. Begitu sampai finis, jalan lagi sekitar 800 meter untuk mengambil medali. ”Bayangkan, kami sudah lemes berlari masih disuruh jalan lagi.”
Terkadang panitia juga tidak mempertimbangkan kebutuhan pelari dan terkesan hanya memenuhi kebutuhan sponsor. Itu dikeluhkan beberapa pelari saat Jakarta Marathon yang disponsori minuman isotonik, panitia lupa menyediakan air mineral dan lebih banyak minuman sponsor. Jadinya, banyak peserta mengeluh tenggorokannya lengket.
Namanya juga sponsor, mereka akan mengejar branding sampai ke ujung garis finis.
(DWA/MHF/DIT)