"Kami Sadar Pembuat Dosa"
Apa kabar dangdut? Dia masih akan selalu hidup di tengah rakyat. Geliatnya lentur bersama zaman, mudah bersenyawa dengan segala hal yang tengah digemari rakyat. Entah itu reggae, hip hop, musik elektronik, ataupun K-pop. Yang pasti, apa pun kemasannya, dangdut senantiasa berusaha jujur tanpa perlu berkhotbah. Jadi, nikmati sajalah....
Lebih dari 1.000 orang tumpah ruah dalam sebuah hajatan pernikahan di Blok Nagrak, Desa Sedong Kidul, Kecamatan Sedong, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (4/7). Hajatan yang berjarak 38 kilometer dari Kota Cirebon itu lebih mirip pasar malam di siang hari.
Pertunjukan pun dimulai di bawah lembabnya udara pantura. Musik jedag-jedug menggema berpadu seruling. Dua gitar elektrik di kedua pojok panggung menambah semarak suasana. Kendang pun mengentak mengiringi Dian Anic (29), sang bintang dangdut pantura, naik ke panggung. Gaunnya merah senada gincu yang membara di bibirnya. Sejumlah penyanyi pendamping juga hadir dengan rok mininya.
Penonton yang sejak tadi menunggu mulai menggila. Ada yang berdiri tepat di depan pengeras suara besar, ada juga yang nekat naik ke panggung. Mereka menggenggam uang Rp 2.000 hingga Rp 50.000 di tangan. Saat tubuh sang bintang bergoyang, uang kertas itu disawer melayang di udara. Weerr....
"Terima kasih Bapak Umar dan Ibu Tia. Terima kasih bapak hajat," ujar Dian dengan dialek Cirebonan. Sang bintang ini mengaku sudah menelurkan 10 album. Beberapa lagunya adalah "Rebutan Lanang", "Yaman Madu", dan "Iwak Asin".
Di tengah pertunjukan, sang pembawa acara dengan suara basnya menghentikan musik. "Kita break sekitar 10 menit untuk shalat Ashar," ucapnya. Bukannya berhenti, sejumlah penonton laki-laki naik ke panggung berswafoto bersama Dian.
Begitulah suasana konser dangdut pantura. Masih selalu semarak dan terus hidup. Dian tak hanya eksis di hajatan rakyat di sejumlah kota. Pada 2016, ia pentas di Hongkong atas undangan para TKI. Agustus mendatang, giliran buruh migran di Taiwan yang mengundangnya pentas. Lewat Youtube, bintang "skala kampung" seperti Dian pun mampu mengglobal.
Bicara soal masa depan dangdut, sepertinya tak perlu ada yang dikhawatirkan. "Musik ini akan bertahan selama ada inovasi dan adaptasi dengan perkembangan musik," kata Junaedi Noer, pengamat musik pantura yang juga dosen Fakultas Ekonomi Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon.
Pernyataan Junaedi memang jitu. Kelenturan dangdut menjadi kunci. Karakter dangdut yang lentur, adaptif, tak banyak pretensi, egaliter, bebas gengsi, dan terbuka dengan situasi zaman membuatnya akan terus hidup.
Coba simak beberapa kanal di Youtube yang menampilkan penyanyi dangdut lokal masa kini. Misalnya saja Via Vallen dan Nella Kharisma. Video dua bintang dangdut asal Jawa Timur ini di Youtube ditonton hingga belasan juta kali. Yang perlu disimak sebenarnya adalah gaya penampilan mereka-mulai dari tata rias, pakaian, sampai aksesori-yang mengadopsi gaya K-pop yang unyu-unyu. Sungguh pendekatan yang cerdik menggemaskan.
Adaptif dengan tren itu juga disadari grup Orkestra Melayu (OM) Ravika dari Surabaya. Grup yang kerap tampil di Taman Hiburan Pantai Kenjeran itu sadar pentingnya selalu membuka diri dengan berbagai gaya dangdut. "Pemilihan aliran lagu dangdut yang variatif, misalnya koplo dan reggae, dibutuhkan agar minat warga terus tinggi," ujar M Rupi\'i (53), pemimpin orkestra.
Begitu pula dengan OM Ken Arok, Salatiga, Jawa Tengah, yang berdiri sejak 1979 dan masih aktif hingga sekarang. Pendirinya, Frans Setyo Pranoto (65), bercerita bagaimana OM Ken Arok bisa awet melintasi zaman. Grup yang dipimpinnya itu juga lentur dalam menerapkan aturan untuk personelnya. Semua penyanyinya (enam perempuan dan satu laki-laki) bebas menyanyi di tempat lain. Namun, saat dibutuhkan Ken Arok, mereka senantiasa siap. "Jaga kepercayaan dan tetap profesional," ujar Frans.
Dalam setiap konser pun, Ken Arok membawakan lagu pop dan rock, yang menjadi permintaan penonton, tetap dengan sentuhan dangdut. Tak berlaku urusan gengsi di sini untuk menyenggol jenis musik lain.
Jujur saja
Jemari lentik Evie Epep (22) menyentil ketipung kendang. Sentuhannya lembut, tetapi menimbulkan suara dangdut kentara. Kemudian masuklah Lewunk dan Sandios, duo penyanyi Pendhoza, Senin (3/7), di Gedung Basiyo XT Square, Yogyakarta, melantunkan hip hop dangdut diiringi Evie dan semua musisi perempuan lainnya.
"Pendhoza, itu artinya kami menyadari sebagai pembuat dosa. Maka, dengan bermusik, kami ingin jujur," kata Sandios, beberapa saat sebelum manggung.
Jujur, menurut Sandios, tidak lain sebagai kesesuaian antara hati atau pikiran dengan perkataan dan perbuatan. Di jalur musik dangdut, Sandios bisa merasakan dan menemukan kesesuaian di antara ketiganya.
Sekeliling panggung ketika itu dipenuhi sekitar 250 penonton. Harga tiket Rp 40.000 per orang. Pendhoza asal Bantul ini menjadi bintang tamu penampilan OM New Kendedes, Kediri, Jatim.
Lewunk dan Sandios adalah dua pria muda berusia sekitar 20-an tahun. Mereka sedang merintis popularitas sebagai penyanyi hip hop dangdut. Manajer Pendhoza Agung Candra Wijaksha mengatakan, Pendhoza sedang mengejar popularitas rekannya, seperti kelompok NDX-AKA Familia dengan duo penyanyi Yonanda Frisna Damara dan Fajar Ari.
"Lagu-lagu yang dilantunkan Pendhoza banyak diunggah ke media sosial. Lagunya disukai warga Indonesia yang tinggal di luar negeri, seperti Hongkong dan Malaysia," kata Candra.
Evie Epep dikenal sebagai salah satu musisi dangdut terbaik dari Jawa Timur. Ia memegang drum dan kendang ketipung khas dangdut, selebihnya Betsy (bas), Melodiana (melodi), Bintang dan Wati (kibor), Nonik Sanjaya (suling), Novita Emprit (tamborin), dan Dewi Cahya (pembawa acara). Selain Pendhoza, New Kendedes mengiringi lima penyanyi perempuan, Sasha Anezkha, Vivi Kartika, Andra Kharisma, Tita Pramaysita, dan Dewi Permatasari. "Kami berpentas keliling sejak Lebaran," kata Manajer New Kendedes Rendra.
"Setelah dari Yogyakarta, kami pentas di Banjarnegara. Hari berikutnya, istirahat dan pulang ke Kediri, pentas lagi," ujar Melodiana, pemain melodi yang kini tinggal di Manado, Sulawesi Utara. "Tahun ini kami pentas cukup panjang, sampai kangen kasur," ucap Melodiana, bercanda.
Kesibukan grup musik dangdut yang tanpa kenal musim, seperti Pendhoza dan New Kendedes, juga dialami Familys Group. Ini adalah salah satu grup musik dangdut terlaris dan paling tenar, terutama untuk kawasan pinggiran Jakarta, seperti Tangerang dan Tangerang Selatan, Depok, Bekasi, dan Sukabumi, yang dipimpin Iwan (46) atau akrab disapa Bang Iwan Familys.
Saking terkenalnya, mereka bisa membuat penggemar fanatik mengikuti ke mana pun mereka manggung. "Ada yang sepeda motoran, bawa mobil sendiri, bahkan sampai sewa bus hanya untuk hadir dan menonton kami, bahkan saat manggung di luar kota, seperti Pekalongan atau Rangkas Bitung, beberapa waktu lalu," tutur Iwan.
Kelenturan dangdut tak hanya soal gaya tampil dan musiknya sendiri, tetapi juga soal tarif. Menurut Iwan, sekalipun terkenal, Familys Group punya rentang tarif order yang terbilang lebar dan fleksibel. Biasanya disesuaikan dengan besaran panggung serta sistem tata cahaya dan suara yang diinginkan pihak pengundang. Selain itu, juga dari bintang tamu yang diinginkan ikut tampil bersama. Kalau menyebut angka, rentangnya antara Rp 30 juta dan Rp 120 juta untuk sekali tampil. Fleksibel sekali bukan?
Memang, yang kaku tak berlaku dalam dunia dangdut. Jujur saja dan lentur. Tarik, Mang....
(IKI/DWA/NAW/DIT/ADY/KRN)