Memahami Seberapa ”Boros” Wartawan Memotret
Dalam peristiwa ini, Kompas diwakili fotografer Agus Susanto. Dari pemotretannya terlihat (dilihat dari EXIF atau data internal berkas fotonya) bahwa Agus pertama kali menjepretkan kameranya pada pukul 23.45 alias 15 menit sebelum harian Kompas naik cetak. Sesungguhnya tenggat pengiriman foto adalah pukul 23.00, tetapi karena ini peristiwa besar, kelonggaran akan tenggat ditambahkan.
Kemudian dari rangkaian foto yang dibuat fotografer berinisial AGS ini terlihat bahwa bingkai pertama proses penangkapan Nazaruddin itu terjadi saat mobil tahanan tiba di Markas Polda Metro Jaya pada pukul 23.58 alias hanya dua menit sebelum harian Kompas naik cetak. Sesungguhnya mungkin yang terjadi adalah pukul 23.58 lewat beberapa detik. Data kamera hanya bisa mencatat sampai menit saja waktu itu.
Dari rangkaian pemotretan yang dilakukan AGS, total dalam 48 bingkai, terlihat bahwa dalam 47 bingkai terakhir pemotretan hanya dilakukan kurang dari dua menit. Dan bingkai yang terpakai untuk foto headline (HL) harian Kompas keesokan harinya tepat dibuat pada pukul 00.00, tepat waktu seharusnya Kompas naik cetak. AGS memotret begitu banyak karena dia tidak kunjung tahu apakah pemotretan sudah final. Seorang jurnalis foto baru berhenti memotret saat sudah tidak ada potensi mendapatkan foto yang lebih baik lagi daripada sebelumnya.
Maka, pertanyaannya, seberapa boros seorang jurnalis foto memotret, sebaiknya dilanjutkan dengan pertanyaan ”sampai kondisi apa tetap memotret?”
Bagi seorang jurnalis foto, boros atau irit bukanlah masalah utama. Mereka mengejar momen, sampai kapan pun dan seberapa banyak bingkai pun. Jumlah pemotretan sama sekali tidak penting karena itu hanyalah bagian dari proses.