Berbagi dan Berkolaborasi lewat Blog
Sedikitnya 15 peserta, yang semuanya perempuan, duduk santai berhadap-hadapan, dengan dibatasi meja panjang, berkumpul di lantai atas sebuah kafe di kawasan Jakarta Selatan, Sabtu (4/3) pagi. Mereka asyik mendengarkan sebuah presentasi. Senyum kedua pembicara ataupun pesertanya terus merekah, bahkan kerap diselingi tawa.
Suasana kopi darat alias ajang temu kangen penuh canda itu digelar komunitas livingloving.net untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-4. Selain berbungkus kegembiraan, pertemuan komunitas yang diprakarsai oleh anak muda, Nike Prima dan Miranti, itu juga diisi dengan berbagi inspirasi dalam workshop Afternoon Delight bertema "Blogworthy". Mereka mencoba membuat blog yang bisa membuka jejaring pertemanan sekaligus mendatangkan duit.
Ada juga inspirasi workshop Rows of Knots atau teknik merajut yang hasilnya bisa dijadikan peluang usaha. Dua jam dari setiap workshop berlalu tanpa terasa karena ada keasyikan tersendiri yang dibangun oleh pembicara ataupun peserta.
Tak heran, sebagian ruang kafe yang terbatas itu pun bisa disulap menjadi ajang unjuk hasil-hasil terampil jejaring komunitas Living Loving yang bernilai jual tinggi.
Hasilnya beragam, mulai karya seni keramik, rajutan olahan dari sisa kain kaus oblong pabrikan, lampu unik, hingga aneka dekorasi rumah. Mereka mencoba membahas berbagai peluang potensi pasar yang terbuka.
"Secara organisatoris, komunitas ini memang tidak ditata dengan jumlah keanggotaan. Tapi, saat ini, follower Instagram kami sudah mencapai 51.600 orang," kata Nike.
Meski berasal dari latar belakang berbeda, Nike dan Miranti merasa memiliki punya kesamaan visi. Keduanya melihat demam media sosial sebagai ruang yang bisa dimanfaatkan para penggunanya untuk kegiatan positif ataupun negatif.
Sebetulnya, kata Nike, kaum muda agtaupun tua bisa memanfaatkan media sosial untuk hal- hal positif. Media, seperti Instagram, Twitter, dan Facebook, bisa dimanfaatkan untuk menunjukkan kebolehan para penggunanya. Jadi, mereka yang tergabung di Living Loving bisa memanfaatkan berbagai media sosial tersebut, bukan hanya lewat blog.
Peluang "nge"-blog
"Siapa yang di sini sudah punya blog pribadi?" Hanny Kusumawati, pendiri Co-Founder Writing Table, memulai pembicaraan di hadapan peserta lokakarya.
Hanny berbagi inspirasi terkait pengalamannya sebagai penulis dan bloger. Selama ini, blog digunakan untuk menulis semacam catatan harian untuk curahan hati ataupun lifestyle, atau diisi dengan berbagai cerita perjalanan dan sebatas membahas busana dan penampilan. Namun, blog ternyata bisa digunakan untuk mengungkapkan karya pribadi agar bisa dilirik oleh orang lain alias mendatangkan keuntungan.
Blog pribadi bisa menarik dan menginspirasi banyak orang, apalagi kalau sampai follower terus mengikutinya. "Jangan sampai blog kita cuma menyajikan isi yang kebanyakan sama," ujar Henny.
Blog tentang travelling, kata Henny, secara garis besar berisi panduan tujuan wisata dan kisah-kisah perjalanan. Kalau panduannya berisi informasi yang baik dan mudah dimengerti, tentu banyak pula saingannya. Jika sebuah blog perjalanan memiliki berbagai cerita yang menarik, tentu akan memiliki pembaca loyal dan setia.
Membuat sesuatu yang khas dalam blog juga dimunculkan oleh Clraradevi Handriatmadja, bloger dari Yogyakarta, dengan menunjukkan kekuatan foto sebagai daya tarik dari isi blog. Foto dijadikan alat untuk mengisahkan cerita, tetapi juga bisa untuk pelengkap pendukung isi blog.
Walaupun situasi Indonesia berbeda dengan China, ternyata data survei QQ Browser menunjukkan, saat ini sebesar 54 persen generasi milenial China memilih pekerjaan sebagai live-streamer ataupun bloger. Pekerjaan lainnya adalah pengisi suara aktor sebesar 17 persen, make-up artis (11 persen), cos player (8 persen), penguji gim(7 persen), dan lainnya (3 persen).
Di balik terobosan kreatif mereka, komunitas Living Loving sesungguhnya sekadar ingin menjadi fasilitator. Begitu banyak karya kreatif yang dibikin anak- anak muda Indonesia, tetapi ujung dari segala hasil kreativitasnya adalah menemukan pasar. Saat pasar belum menentu, justru media sosial yang menjadi tumpuannya. Berbagi dan terus berbagi, sambil membangun jejaring.
Nike pun mengakui, selama empat tahun berdiri, ada juga anggota komunitasnya yang akhirnya membangun kolaborasi usaha di antara mereka. Ada rasa bangga, karena mereka bisa saling mengenal satu sama lain dan membangun kerja sama untuk kebaikan. Itu jauh lebih produktif ketimbang gejala belakangan ini, media sosial justru disalahgunakan untuk hal-hal negatif.
Jauh-jauh dari Bali, perajin keramik Jesika K Tirtanimala ataupun perajin benang rajut Lusiana Lumanau merasakan betul peran dari komunitas ini. Tambah teman, tambah jejaring. Dan, mereka sama-sama merasa terbantu dalam mengembangkan ide-ide kreatif. (STEFANUS OSA)