Layar Terkembang di ”Makassarwood”
Bulir-bulir air hujan terakhir jatuh beberapa menit lalu. Belasan anak muda berusia 20-an tahun kembali mempersiapkan kamera, memperbaiki set lokasi, dan buru-buru merias para bintang film. Rabu (15/2) siang, di sebuah rumah bercat krem, di kawasan Tanjung Bunga, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, shooting sebuah film Bugis-Makassar sedang berlangsung di bawah arahan Andi Burhamzah (27), produser sekaligus sutradara.
Rumah milik seorang pemain itu berada di kompleks perumahan yang ramai. Suara mesin gerinda yang digunakan tukang bangunan, jemuran tetangga, dan gonggongan anjing berkali-kali mengganggu jalannya shooting. Anca, nama panggilan Andi Burhamzah, berkali-kali pula mengulang pengambilan gambar. Ia tidak puas dengan permainan aktornya dan kesal dengan suara liar yang masuk.
Seorang kru sigap berlari ke rumah tetangga. Dengan sangat sopan ia meminta pemilik rumah menghentikan sejenak pekerjaannya yang berisik. Shooting berlanjut. Dua juru kamera, boomman (kru yang mengoperasikan mikrofon boom), dan para bintang siap beraksi. ”Tabe’-tabe’ dulu, masih ada suara. Minta tolong (diam) lima menit saja. Oke dan action!” ucap Anca.
Tabe’ dalam bahasa Bugis dan Makassar berarti permisi. Biasanya digunakan oleh orang muda kepada yang lebih tua untuk meminta tolong, menyela pembicaraan, atau sekadar lewat di depan orang.
Andi Thezar Resandy (22), pemeran utama, mengambil alih kendali. Matanya fokus menatap ke depan. Suasana hening. Tiba-tiba, ”guk, guk guk”, gonggongan anjing tetangga membuyarkan semua. Tawa meledak di antara rasa kesal yang berulang.
Begitulah suasana shooting film Cindolo’ na Tape (Cendol dan Tape), istilah anak muda Makassar untuk cinta monyet di kalangan anak remaja. Film yang berkisah tentang romansa anak SMA itu diadaptasi dari film pendek produksi tahun 2008.
Kisah tujuh miliar
Cindolo’ na Tape hanya satu dari sekian film yang sedang diproduksi pembuat film Makassar. Bahkan, saat ini ada tujuh film yang siap dirilis menyusul film Silariang (Kawin Lari) yang pekan ini tayang di jaringan bioskop 21, termasuk di Jakarta. Mereka tampaknya ingin memanfaatkan momentum meledaknya film Uang Panai’ (Uang Mahar), Agustus lalu.
Saat itu, Uang Panai’ bikin penggemar film Bugis-Makassar belingsatan. Mereka antre berhari-hari untuk mendapatkan tiket Uang Panai’ di jaringan bioskop 21 di Makassar dan sekitarnya. Sebagian memilih membeli tiket dari calo yang harganya bisa Rp 100.000-Rp 150.000 per lembar.
Film ini juga membuat penasaran warga keturunan Bugis-Makassar di kota lain, termasuk Jakarta, seperti Ahmad Safar (30). Ahmad yang tinggal di Kebagusan, Jakarta Selatan, datang ke bioskop 21 di Sunter, Jakarta Utara, yang memutar Uang Panai’. ”Saya penasaran dengan film Makassar yang tembus ke tingkat nasional itu. Ternyata menghibur meski dramanya biasa saja,” katanya. Ahmad juga berencana menonton Silariang.
Uang Panai’, berkisah tentang susahnya menikah di Sulsel, khususnya di kalangan suku Bugis-Makassar, merebut lebih dari 520.000 penonton. Angka itu besar, bahkan fantastis, untuk sebuah film produksi Makassar. Jika ditayangkan pada 2015, film ini niscaya masuk daftar 10 besar film box office nasional.
Amril Nuryan (43), produser Uang Panai’, menceritakan, film itu 99 persen dimainkan dan dikerjakan bintang dan sineas lokal Makassar. Uang Panai’ dibuat dengan anggaran sekitar Rp 500 juta, jauh di bawah anggaran film panjang buatan rumah produksi di Jakarta yang angkanya miliaran rupiah. Oleh karena anggaran cekak, semua yang terlibat diminta mengirit pengeluaran. ”Kami makan di kaki lima. Namun, semangat kami adalah ingin (membuktikan) film bukan hanya ada di Jakarta dan tidak perlu ada dikotomi film lokal dan film nasional,” ucap Amril yang terjun ke dunia film setelah menekuni fotografi.
Kerja keras dengan dana cekak itu membuahkan hasil. Film itu mencetak penghasilan fantastis: sekitar Rp 7 miliar setelah dipotong pajak. Kini, kisah sukses Uang Panai’ menjadi api pembakar semangat industri film Makassar yang sedang mekar.
Aru (33), seorang pelaku film Makassar, menyebutkan, tiga tahun terakhir, puluhan rumah produksi film tumbuh subur di Makassar. Dari jumlah itu, belasan rumah produksi terdaftar dan memiliki rekam jejak yang cukup panjang. Rumah produksi itu digerakkan oleh anak muda yang tergabung dalam komunitas film dan fotografi, mahasiswa, seniman teater, dan pengusaha. Sebagian besar belajar membuat film secara otodidak beberapa tahun terakhir. Sebagian lagi belajar dari workshop atau di sekolah film yang ada di Makassar.
Dari tangan mereka, lahir puluhan film yang menyorot keseharian masyarakat Bugis-Makassar. Kisahnya tak jauh dari urusan cinta seperti film Bombe’ (Bermusuhan), Uang Panai’, Silariang, Cindolo’ na Tape, dan Suhu Beku. ”Saking banyaknya, ada beberapa judul film yang sama, tapi itu tidak mengurangi gairah film karena masing-masing punya cerita dan gaya sendiri,” ujar Aru.
Proses panjang
Kota Makassar yang penduduknya hanya sekitar 1,7 juta orang memang tidak bisa dipandang sebelah mata untuk urusan film. Sejak 1970-an, sudah ada nama Rahman Arge dan Aspar Paturusi yang lekat dengan dunia film secara nasional. Beberapa film nasional juga melakukan pengambilan gambar di Makassar. ”Saya masih SD ketika banyak film dibuat di Makassar, seperti Senja di Pantai Losari. Nama-nama lokal banyak yang muncul ke tingkat nasional. Namun, ketika itu film maker-nya belum orang Makassar,” kenang pemain teater asal Makassar yang kini terjun ke dunia film, Awaluddin Tahir (50).
Sutradara Riri Riza (46), yang berasal dari Makassar, ingat sebelum tahun 1998 sudah mulai banyak film Bugis-Makassar yang diputar di gedung kesenian atau sekolah-sekolah di Makassar dengan karcis masuk rata-rata Rp 15.000. Biasanya, film bercerita tentang percintaan atau harga diri yang terinjak karena cinta. ”Filmnya masih seperti sinetron panjang dengan teknik sinematografi yang masih terbatas, tapi penggemarnya banyak. Satu film bisa diputar tiga kali sehari.”
Riri tidak terkejut dengan kesuksesan Uang Panai’ merebut ratusan ribu penonton. Bagaimanapun, film Bugis-Makassar punya pasar tersendiri yang cukup besar, yakni di Makassar dan sekitarnya, juga di kantong-kantong diaspora Bugis-Makassar.
”Jika diputar di Jakarta, pasti di bioskop sekitar Kelapa Gading, Sunter, dan Blok M. Di situ memang banyak orang Bugis-Makassar,” kata Riri yang tahun lalu merilis film berlatar Bugis-Makassar, Athirah, dengan sebagian besar kru anak-anak muda Makassar.
Bagi pembuat film di Jakarta, Makassar dipandang pasar yang gemuk. Ernest Prakasa, sutradara film Cek Toko Sebelah, merasakan sendiri antusiasme penonton di Makassar. ”Dahsyat! Saya perlu riset yang serius untuk mengetahui mengapa penonton Makassar begitu antusias,” ujar Ernest yang kini menjadikan Makassar sebagai salah satu barometer pasar film.
Industri film Bugis-Makassar sedang mekar bersamaan dengan membaiknya iklim perfilman Indonesia. Jika empat tahun lalu, ujar Riri, layar bioskop di Kota Makassar baru sembilan, sekarang sudah belasan. Bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan akan ada 30-an layar bioskop. Dan layar yang terkembang itu akan diisi oleh film-film produksi kerajaan film ”Makassarwood”, bukan Bollywood atau Hollywood.
Tabe’! (Budi Suwarna)