Sentuh: Peluang dan Tantangan Start-Up "Hardware" Indonesia
Namun mereka juga harus menghadapi tantangan dalam bentuk partner manufaktur perangkat keras di Indonesia yang belum familiar dengan jenis produk baru serta kolam talenta digital yang masih sempit dan dangkal.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·6 menit baca
"CCTV beli impor, di dalam negeri ada yang bisa produksi. Dipikir kita bukan negara yang maju. Kita produksi di mana-mana bisa. Jangan diterus-teruskan... Traktor yang bukan high-tech saja impor... Laptop, mau impor kita? Kita sudah bisa bikin semuanya itu," ujar Presiden Joko Widodo dengan nada jengkel, di hadapan sejumlah menteri kabinet dalam acara pengarahan Aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia di Badung, Bali, akhir Maret 2022 lalu.
Semangat kelokalan yang ingin didorong pemerintah itu tampaknya menjadi penawaran utama Sentuh, sebuah start-up Indonesia yang fokus membuat produk berbasis layar; dari digital signage, smartboard atau papan interaktif, e-kiosk, hingga sistem manajemen akses perkantoran. Dorongan dari pemerintah untuk penggunaan barang dengan komponen dalam negeri, tampaknya dilihat Sentuh telah menciptakan peluang untuk start-up berbasis hardware di asal Indonesia. Namun mereka juga harus menghadapi tantangan dalam bentuk partner manufaktur perangkat keras di Indonesia yang belum familiar dengan jenis produk baru serta kolam talenta digital yang masih sempit dan dangkal.
Chief Executive Officer Sentuh Bayu Nanda, sektor ini dipilih olehnya dan para cofounder yang lain karena melihat ada celah di Indonesia khususnya untuk pemain lokal. Peluang ini menurutnya, muncul pada sisi penggunaan komponen lokal — baik perangkat lunak dan keras — hingga compliance atau kepatuhan terhadap sistem administrasi di Indonesia. "Software dan hardware kita bangun ground-up jadi satu," kata Bayu di salah satu kantor Sentuh di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, pada Senin (18/4/2022) sore.
Bayu didampingi oleh keempat cofounder Sentuh yang lain; vice president (VP) Solution Ryan Patra Wirabuana, Chief Marketing Officer (CMO) Thoriq Yasirrahman, VP Production Bekti Subichan, dan Chief Commercial Officer (CCO) Randy Putra.
Penggunaan komponen lokal dimulai dari proses perakitan di Indonesia. Sentuh memiliki fasilitas perakitan di daerah Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Misalnya untuk produk smartboard, hanya panel layar dan papan sirkuit hasil desain sendiri yang dimanufaktur di Korea Selatan dan China. Sisanya, seperti case atau bodi, kelistrikan, perangkat lunak, dibuat di Indonesia. Ini yang membuat tingkat komponen dalam negeri atau TKDN produk Sentuh dapat mencapai 70 persen.
Panel layarnya berstandar industrial. Artinya, bukan menggunakan panel kelas konsumer yang biasa digunakan untuk televisi. Durabilitasnya, kata Randy, bisa mencapai 50.000 jam dalam kondisi menyala 24 jam sepekan.
Kolaborasi
Pada sisi perangkat lunak pun dibangun sendiri oleh Sentuh. Perangkat lunak khusus milik Sentuh berjalan di atas sistem operasi Windows. Program ini memungkinkan pengguna untuk menggunakan smartboard baik sebagai selayaknya papan tulis, display tambahan dari laptop, dan sarana telekonferensi. Setiap aktivitas di smartboard pun bisa direkam dan dibagikan langsung melalui kode QR.
Namun, Sentuh juga memungkinkan smartboard mereka menggunakan tambahan perangkat lunak buatan sesama start-up lokal Indonesia. "Kolaborasi lokal. Kami pengen memberikan media atau tempat bagi teman-teman start-up lokal yang punya software," kata Randy. Misalnya, untuk sistem face recoginition atau pengenalan wajah, Sentuh bekerja sama dengan Nodeflux. Dalam fitur voice command atau perintah suara, start-up Lenna juga digandeng oleh Sentuh. Ada juga Mapid untuk perangkat lunak geospasial.
Kolaborasi ini, menurut Bayu, membuka potensi keunggulan yang hanya dimiliki oleh pemain lokal Indonesia. Ia mencontohkan, teknologi face recoginition yang dikembangkan oleh pemain lokal Indonesia akan lebih presisi dalam mendeteksi wajah khas Indonesia. Seperti yang diketahui, dilema pengenalan wajah yang dikembangkan pertama oleh sejumlah perusahaan Eropa dan Amerika Serikat, hanya piawai mengenali wajah kaukasian akibat basis data untuk machine learning yang kurang diverse atau beragam. Bayu mengatakan, rencana ke depan adalah menjadikan produk Sentuh menjadi sebuah platform, para start-up Indonesia bisa membuat software untuk produk Sentuh tanpa harus berhubungan langsung dengan Sentuh.
Hal ini dimungkinkan dengan software development kit atau SDK yang sedang disiapkan Sentuh. "Programer di teman-teman start-up cukup mengunduh SDK dari Sentuh dan kemudian bisa mengembangkan software untuk hardware Sentuh," kata Randy.
Randy pun mengatakan, harga yang ditawarkan Sentuh pun dapat mencapai 20-30 persen lebih rendah ketimbang kompetitor dari luar negeri. "Itu pun kita mengabaikan fitur Sentuh yang memiliki pemindai KTP-el. Dari luar negeri perlu ada penyesuaian untuk itu," ujar dia.
Sentuh melihat ada potensi besar di Indonesia untuk mengadopsi produknya atas dasar perkembangan teknologi finansial dan perbankan digital yang pesat. Thoriq mengatakan, ia meyakini pembayaran digital dan fintech bakal melonjak penggunaannya di Indonesia ketika ia melihat implementasinya di China dan Korea Selatan pada 2015. "Saat itu, mereka mulai shifting, beli rokok di pinggir jalan pakai digital payment. Pas itu mungkin kita di Indonesia belum biasa. Pas itu saya bertanya-tanya, 'kira-kira di Indonesia pakai pembayaran digital kapan ya? Ya ternyata sekarang. Jadi, sebetulnya enak ngebacanya, kalo kita lihat Korea Selatan sekarang gitu, mungkin akan biasa di Indonesia itu 5 tahun lagi," kata Thoriq.
Kini, lebih dari 500 unit produk milik Sentuh telah terjual ke lebih dari 70 klien di Indonesia dengan skema business-to-business (B2B); dari perbankan nasional hingga kementerian dan lembaga negara. Minim partner manufaktur lokal Merintis usaha rintisan perangkat keras di Indonesia menyimpan tantangan uniknya sendiri dibanding start-up teknologi yang sekadar berbasis perangkat lunak, menurut mereka.
Hal ini karena, dalam proses produksi perangkat keras, Sentuh membutuhkan partner manufaktur yang tidak hanya bersedia namun juga mampu memenuhi standar yang ditetapkan. "Pemain manufaktur di kita kan belum banyak. Ini yang membaut ketika kami butuh part sesuatu, jadinya kadang harus impor. Itu yang menjadi keterbatasan di kami," kata Bekti.
Ia menambahkan, partner produksi di Indonesia terkadang belum familiar dengan desain yang disampaikan Sentuh. Problem klasik sumber daya manusia juga benar-benar dirasakan Sentuh. Tidak hanya mencari mereka yang menguasai pengembangan perangkat lunak, namun Sentuh juga membutuhkan mereka yang memahami teknologi layar. Dengan kombinasi dua syarat ini, talent pool atau kolam talenta yang ada dirasa sangat sempit. "Kami butuh orang yang ga hanya ahli display tetapi juga, misalnya, paham android-nya. Jadi narrow banget. Orang-orang seperti ini sudah dipegang perusahaan-perusahaaan besar," kata Thorriq.
Dalam laporan Digital Competitiveness Index 2022 yang dirilis Maret 2022 oleh perusahaan modal ventura East Ventures (EV-DCI), menunjukkan bahwa daya saing sumber daya manusia Indonesia memiliki skor paling rendah dengan 21,8 ketimbang aspek lain, ketimbang dukungan regulasi pemda, misalnya, yang mencapai skor 54,6. Menurut data EV-DCI, pertumbuhan siswa terampil digital di Indonesia justru terus menurun sejak 2020; dari 32,05 di 2020 menjadi 12,7 di 2022. "Lambatnya pertumbuhan talenta digital menimbulkan kesenjangan antara penawaran dan permintaan di bursa tenaga kerja terdidik di Indonesia," tulis dalam laporan tersebut.
Padahal, menurut laporan Kementerian Koordinator bidang Perekonomian pada 2021, ada kebutuhan talenta digital sebesar 9 juta orang selama 15 tahun ke depan. Ketersediaan talent pool yang dalam dan luas serta ekosistem yang dipenuhi oleh beragam perusahaan yang akan saling membutuhkan bisa jadi resep utama pertumbuhan sektor teknologi.
Setidaknya itu yang terjadi pada Silicon Valley, yang kini menjadi sumber inovasi teknologi selama 50 tahun terakhir. Dalam buku, Valley of Genius (2018), penulis Adam Fisher mengutip Biz Stone, salah satu pendiri Twitter, soal apa yang membuat Silicon Valley unik dan sukses menjamurkan perusahaan teknologi kelas dunia. "Infrastrukturnya sudah ada di sini, misalnya butuh lahan, sudah ada orang real estate-nya. Butuh persoalan legal, sudah ada juga. Mau butuh apa pun, sudah ada. Dan mereka semua paham start-up. Jadi, lebih mudah untuk bikin start-up di (Silicon Valley), karena semua orang di ekosistem paham start-up," kata Stone.