Jebakan Aplikasi Kencan
Aplikasi kencan memang memberi kemudahan dalam menjalin relasi romantis dengan orang baru. Namun, aplikasi ini juga berdampak besar bagi kesehatan mental penggunanya. Karena itu, gunakan aplikasi kencan seperlunya saja.
Aplikasi kencan menawarkan kemudahan dalam mencari teman romantis. Namun, kemudahan itu bisa menjadi bumerang bagi kesehatan mental penggunanya. Alih-alih mendapat teman kencan, banyak pengguna aplikasi kencan justru mengalami kecemasan, depresi, rendah diri, kesulitan menemukan pasangan hidup hingga jadi korban ghosting dan penipuan.
Beberapa dekade lalu, seseorang butuh waktu lama untuk bisa mengenal dan menjalin hubungan romantis dengan orang lain. Mereka yang memiliki ketertarikan seksual dengan orang lain itu akan mematai-matai orang yang disukai, mencuri-curi pandang, mencari informasi lewat orang terdekatnya, berkirim salam atau surat, hingga dag-dig-dug menunggu balasannya.
Mereka yang ingin dikenal pun umumnya berasal dari lokasi geografis atau kelompok kegiatan yang sama, baik itu sekolah, teman sepermainan, kegiatan kemasyarakatan atau keagamaan, dan aktivitas sosial lainnya.
Namun seiring ikut sertanya koran atau majalah dengan rubrik kontak jodohnya, seperti harian Kompas antara 1978-2010, membuat proses pencarian teman romantis pun makin luas jangkauannya. Batasan tentang jarak, suku, dan kelas sosial pun mulai longgar.
Simak juga: Menebar Cinta dengan Lembaran Kata
Hadirnya internet, khususnya aplikasi pertemanan di Indonesia sejak akhir 1990-an mengubah pola lama. Bahkan, hadirnya sejumlah aplikasi kencan, seperti Tinder, Bumble, Happn, dan OkCupid sejak awal 2010-an, membuat upaya mencari teman romantis itu cukup dilakukan dengan menggeser layar telepon pintar.
Tinder adalah aplikasi kencan paling populer di Indonesia dan dunia. Pada 2021, dari 57 juta pengguna Tinder di seluruh dunia, sebanyak 3,1 juta pengunduhnya ada di Indonesia. Dikutip dari Digital Trends, 2 Agustus 2018, Tinder populer karena memberikan akses yang mudah bagi mereka yang ingin mencari pasangan dalam kelompok orang yang punya tujuan serupa dan lingkup luas.
Mereka yang ingin mencari teman kencan bisa memilih orang yang mereka suka seperti memilih baju di toko. Jika tak sesuai model, warna, atau ukurannya, mereka cukup menggeser baju yang tak diinginkan itu dan mencari baju lain yang lebih sesuai. Proses pencarian calon pasangan ini bisa dilakukan 24 jam, dari mana saja, di mana saja, tanpa terikat waktu buka toko.
Lukman S Waluyo dan Ilya Revianti dari Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia dalam Jurnal Informatik Edisi ke-15, Maret 2019 menyebut faktor pertama yang dipakai pengguna Tinder, laki-laki dan perempuan, untuk memilih calon pasangan kencannya adalah ketampanan atau kecantikannya. Bagi pengguna laki-laki, kecantikan yang disertai dengan kemolekan tubuh lebih dipertimbangkan daripada pengguna Tinder perempuan.
Setelah menilai tampang, pengguna akan mengecek latar belakang mereka, baik kejelasan identitas, agama, pendidikan, pekerjaan, kekayaan, hingga tingkat komitmen. Pengguna Tinder perempuan lebih menimbang faktor latar belakang ini dibandingkan laki-laki. Namun, untuk urusan kekayaan, pengguna laki-laki dan perempuan sama-sama menginginkan calon pasangan dengan tingkat ekonomi yang setara.
Tinder membajak sistem penghargaan di otak hingga membuat mereka ketagihan.
Sesudah itu, penapisan akan memasuki tahapan utama, yaitu mengukur kenyamanan dan ketersambungan dalam berkomunikasi, baik saat mengobrol atau bercanda, serta menimbang seberapa besar mereka bisa menjadi diri sendiri saat berkomunikasi dengan pasangannya. Mereka juga mengukur seberapa besar pengorbanan yang akan mereka keluarkan, baik akibat risiko diteror, kecanggungan, biaya finansial, hingga investasi emosi.
Namun, karena tersedia banyak pilihan, pengguna Tinder harus siap untuk dibandingkan dengan pengguna lain atau hanya dijadikan alternatif pilihan. Meski demikian, pengguna Tinder umumnya sadar akan proses ini, terlebih jika teman kencan yang diincar adalah sosok populer. Kondisi itu umumnya justru mendorong pengguna Tinder untuk meningkatkan kualitas diri agar terlihat paling menarik di antara pesaing lainnya.
Baca juga: Butuh Jodoh? Kontak Pengurus Partai Setempat
Respon otak
Respons pertama pengguna aplikasi kencan yang menilai calon teman kencan dari kualitas tampang dan kemolekan tubuh itu selaras dengan studi Studi Vasily Klucharev dari Institut Otak, Kognisi dan Perlaku Donders, Universitas Radboud, Nijmegen, Belanda, dan rekan di jurnal Neuron, 15 Januari 2009.
Saat melihat wajah nan rupawan itu, bagian otak yang aktif adalah nukleus akumbens yang berperan dalam pemrosesan penghargaan. Otak tertarik melihat wajah yang indah karena dinilai lebih cerdas, mudah bergaul, kompeten, ramah, dan dapat dipercaya. Sebagai makhluk visual, manusia menyukai keindahan. Namun, kesan otak ini tentu bias karena kenyataannya bisa berbalik 180 derajat.
Saat menggunakan Tinder, orang akan mengeklik tanda hati yang menunjukkan mereka suka dengan tampilan orang yang ada di dalam aplikasi tersebut. Mereka bisa memberi tanda hati dalam jumlah tertentu sesuai tingkat keanggotaannya. Orang yang diklik dalam Tinder bisa memberikan tanda suka kembali. Saling memberi tanda suka ini dianggap sebagai kecocokan. Setelah dianggap cocok, mereka bisa memulai percakapan.
Baca juga: Mencari Jodoh dalam Aplikasi
Namun, pengguna Tinder tidak tahu sampai berapa banyak foto yang mereka lihat akan muncul kecocokan dengan anggota Tinder lain. Mereka juga tidak tahu kapan foto orang yang diklik akan merespons balik yang menunjukkan kecocokan mereka.
Proses pencocokan ini akan terus berlangsung meski pengguna Tinder tidak membuka aplikasinya. Akibatnya, ketika membuka Tinder kembali, mereka akan menemukan kecocokan baru. Imbalan tak terduga inilah yang dinilai Rob Henderson, mahasiswa doktoral psikologi di Universitas Cambridge, Inggris dalam The Psychology Today, 28 Mei 2018, membuat pengguna Tinder penasaran hingga ketagihan dan terus mencari orang baru yang dianggap lebih menarik.
Ketagihan itu erat hubungannya dengan hormon dopamin yang dilepaskan otak. Saat pengguna Tinder mendapat kecocokan pertama kali, dopamin di otak akan meningkat sebagai respons atas penghargaan tersebut. Berikutnya, jumlah dopamin yang dilepaskan otak akan terus meningkat tidak lagi sebagai respons atas penghargaan itu, tetapi atas prediksi dari penghargaan tersebut.
Orang akan makin penasaran dan berharap bahwa di masa depan ada orang lain yang lebih cantik atau tampan yang cocok dengan mereka. ”Tinder membajak sistem penghargaan di otak hingga membuat mereka ketagihan,” tulisnya. Proses pencarian kecocokan pengguna Tinder ini mirip dengan perjudian atau lotre karena tidak tahu sampai kapan mereka akan menang.
Persoalan lain bagi pengguna Tinder adalah mereka menghadapi kelebihan pilihan. Psikolog senior AS Barry Schwartz pernah mengungkapkan bahwa orang akan makin sulit membuat keputusan atau pilihan jika mereka memiliki banyak pilihan. Dalam banyak kasus, orang yang dihadapkan banyak pilihan sering kali justru tidak membuat pilihan. Kalaupun mereka membuat pilihan, tingkat kepuasan atas pilihan itu rendah.
Aplikasi kencan daring itu juga membuat orang lebih mudah meng-ghosting atau meninggalkan orang lain yang sudah dianggap cocok, bahkan sudah menjalin obrolan daring, tanpa alasan yang jelas. Dalam kehidupan romantis di dunia nyata, perilaku ghosting adalah hal yang dibenci banyak orang, tetapi di dunia maya perilaku ini jauh lebih mudah dilakukan.
Efek mental
Sistem kerja aplikasi kencan itu telah menimbulkan persoalan baru bagi kesehatan mental. Terlebih, pengguna terbesar aplikasi kencan umumnya adalah anak muda usia 18-24 tahun yang sedang dalam proses pematangan otak dan mental mereka.
Nicol Holtzhausen dari Universitas Western Sydney, Australia, dan rekan dalam publikasinya di BMC Psychology, 4 Maret 2020, menunjukkan, pengguna aplikasi kencan yang berbasis pada menggeser foto atau profil orang untuk mencari kecocokan di antara mereka mengalami peningkatan tekanan psikologis, berupa kecemasan, depresi, maupun kesusahan yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak menggunakan aplikasi.
Rob Whitley, asisten profesor di Departemen Psikiatri, Universitas McGill, Kanada di The Psychology Today, 18 Oktober 2018, menyebut, proses pencocokan aplikasi kencan berbasis pada kesukaan itu membuat banyak penggunanya memiliki tingkat kecocokan yang rendah. Bahkan, meski sistem aplikasi sudah menyatakan dua orang cocok, tidak semuanya akan berlanjut dengan pengiriman pesan atau memulai obrolan.
Penolakan itu tidak hanya terjadi di dunia maya. Saat dua orang sudah menjalin percakapan daring, mereka tetap memiliki peluang di-ghosting saat pertama kali bertemu. Saat seseorang sudah berharap bisa menjalin hubungan romantis yang indah, tiba-tiba mereka ditinggalkan tanpa kejelasan. Kondisi ini membuat pengguna aplikasi sering kali mengalami rasa ditolak.
Baca juga: Kisah Generasi Muda Saat Pacaran
Paparan penolakan yang terus-menerus itu membuat pengguna aplikasi kencan rentan mengalami gangguan kesehatan mental. Mereka yang ditolak jadi mempertanyakan kualitas diri mereka, baik dalam berpenampilan, berkomunikasi, hingga kepantasan untuk orang lain.
Sering dan berkalanya penolakan dari aplikasi kencan itu dalam studi Jessica Strubel dari Universitas North Texas, AS, dan rekan yang dikutip dari situs American Psychological Association, 4 Agustus 2016, menunjukkan, pengguna aplikasi kencan memiliki harga diri dan kesejahteraan sosial lebih rendah dibanding yang bukan pengguna.
”Aplikasi kencan berkontribusi dalam budaya ’buang-buang’ manusia," tulisnya. Budaya ini tak lepas dari banyaknya pilihan dan pada saat bersamaan seseorang bisa mengirimkan rasa suka kepada banyak orang. Pola ini memicu relasi yang dangkal di antara pengguna aplikasi kencan, bukan relasi yang bermakna.
Di sisi lain, pengguna aplikasi kencan juga bisa menggunakan foto profil atau data identitas palsu. Sejak semula, niat mereka untuk mencari pasangan sudah tidak jujur. ”Pengalaman penipuan ini memicu emosi yang menyakitkan, membuat mereka kurang bisa percaya dengan orang lain, serta meragukan diri sendiri,” tulis Whitley.
Cervia Ferdiana dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara Jakarta dan rekan dalam publikasinya di jurnal Koneksi, Maret 2020 menemukan, banyak pengguna Tinder menyalahgunakan aplikasi ini untuk mencari cinta semalam (one night stand) atau mencari teman untuk mendapat keintiman fisik dan seksual tanpa ada ikatan resmi atau komitmen (friend with benefit).
Aplikasi kencan memang telah mempertemukan banyak orang dan menjadikan mereka pasangan kekasih. Bahkan, beberapa di antaranya menjadi suami istri. Namun, aplikasi kencan juga menimbulkan banyak persoalan psikologis hingga menjadi korban penipuan, baik untuk mendapat kenikmatan seks semata maupun menguras harta korban.
Karena itu, Keely Kolmes, psikolog seks dan relasi romantis di California, AS, seperti dikutip Time, 16 Agustus 2018 menyarankan untuk menghindari penggunaan aplikasi kencan, kecuali jika mereka memang benar-benar ingin berkencan. ”Pikirkan tentang jenis perhatian apa yang kamu inginkan dari seseorang di luar sana dan apakah kamu sudah siap untuk memberikan perhatian yang sama kepada orang yang telah menempatkan diri mereka untuk mencari teman kencan atau cinta,” katanya.
Omar Torres, psikoterapis di NYC Therapist, New York, AS, di situs My Therapy NYC menganjurkan untuk menggunakan aplikasi kencan secara sehat, yaitu dengan membatasi atau tidak menggunakan aplikasi secara terus-menerus. Upaya ini bisa dilakukan dengan mematikan notifikasi di aplikasi kencan atau membangun komitmen untuk tidak membuka aplikasi kencan saat sedang bersama orang lain, baik keluarga, teman, atau rekan kerja.
Pembatasan penggunaan aplikasi kencan itu bisa membuat Anda fokus membangun hubungan di dunia nyata, baik bermain bersama teman maupun berkumpul dengan keluarga. Hal lain yang terpenting adalah menikmati waktu kebersamaan itu dengan fokus pada kegiatan kebersamaan itu.
Selain itu, jangan pernah menginternalisasi apa yang ditulis, diucapkan, atau dilakukan orang melalui aplikasi kencan. Saat mengunduh aplikasi kencan, kita harus siap menghadapi hinaan, cemoohan, atau perundungan. Ingat bahwa apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain terhadapmu tidak mencerminkan dirimu yang sebenarnya. Itu terjadi karena mereka memang tidak mengenal dirimu sepenuhnya.
Meski demikian, jangan pula terjebak untuk melakukan hal-hal negatif di aplikasi kencan. Pastikan untuk tidak menstigma, menghina, atau mempermalukan orang lain karena kamu juga tidak ingin diperlakukan seperti itu. Setiap kebaikan pasti akan berbalas kebaikan. Demikian pula sebaliknya, keburukan yang kita lakukan hanya akan menghasilkan hal-hal negatif yang berbalik pada kita.