Mulai Januari 2020 Pemerintah Indonesia secara resmi mengeluarkan kebijakan melarang ekspor nikel mentah. Kebijakan hilirisasi nikel itu bertujuan agar industri pertambangan Indonesia memperoleh manfaat lebih dari nikel, tidak lagi sekadar ekspor dalam bentuk bijih nikel.
Tahun ini memasuki tahun keempat kebijakan hilirisasi nikel diberlakukan. Selain itu, hilirisasi nikel juga untuk menopang industri baterai kendaraan listrik yang saat ini mulai dikembangkan di Indonesia.
Sejak hilirisasi sektor pertambangan diberlakukan, ekonomi daerah mengalami pertumbuhan yang signifikan. Provinsi Maluku Utara yang wilayahnya memiliki kandungan nikel yang melimpah mencatatkan pertumbuhan ekonomi hampir lima kali lipat dari rerata pertumbuhan ekonomi nasional.
Hingga tahun 2024, pemerintah menargetkan 53 fasilitas smelter atau pabrik pengolahan mineral telah siap beroperasi. Fasilitas smelter tersebut meliputi 4 smelter tembaga, 30 smelter nikel, 11 smelter bauksit, 4 smelter besi, 2 smelter mangan, serta 2 smelter timbal dan seng.
Khusus untuk komoditas nikel saat ini terdapat lebih dari 100 smelter, baik yang sudah beroperasi, dalam tahap konstruksi, maupun akan dibangun.
Smelter tersebut tersebar di sejumlah wilayah, seperti Bantaeng di Sulawesi Selatan, Morowali dan Morowali Utara di Sulawesi Tengah, Konawe dan Kolaka di Sulawesi Tenggara, serta Weda dan Pulau Obi di Maluku Utara.
Pada akhir November 2023, Kompas berkesempatan melihat langsung fasilitas industri pengolahan bijih nikel atau smelter nikel di Pulau Obi. Pulau yang masuk dalam wilayah Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, itu memiliki luas sekitar 2.500 kilometer persegi. Pulau Obi dapat ditempuh dalam waktu sekitar 3,5 jam menggunakan kapal cepat dari Labuha, ibu kota Halmahera Selatan.
Salah satu perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) di Pulau Obi adalah Harita Nickel. Ada dua jenis fasilitas smelter yang dimiliki Harita, yakni smelter pirometalurgi yang menggunakan teknologi rotary kiln electric furnace (RKEF) dan smelter hidrometalurgi yang menggunakan teknologi high pressure acid leaching (HPAL).
Smelter dengan teknologi RKEF akan menghasilkan feronikel (FeNI), sedangkan smelter HPAL menghasilkan mixed hidroxyde precipitate (MHP). MHP kemudian diproses lagi menjadi nikel sulfat dan kobalt sulfat, dua komponen bahan katoda baterai kendaraan listrik. Produksi rata-rata setiap tahun Harita mencapai 1,4 juta ton FeNi, 365.000 ton MHP, 120.000 ton nikel sulfat, dan 30.000 ton kobalt sulfat.
Selain 2 smelter RKEF dan 1 smelter HPAL yang telah beroperasi, dua smelter baru RKEF dan HPAL saat ini sedang dalam tahap konstruksi.
Berdasarkan data United State Geological Survey (USGS) dan Badan Geologi Kementerian Ekonomi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia menjadi negara dengan produksi bijih nikel tertinggi di dunia.
Jumlah produksi bijih nikel Indonesia mencapai 1,6 juta ton pada tahun 2022.
Tidak dimungkiri hilirisasi sektor tambang diikuti dengan meningkatnya jumlah pembangunan fasilitas smelter yang berada di sejumlah lokasi di Indonesia. Namun, hilirisasi saat ini baru menghasilkan barang olahan setengah jadi sehingga memiliki nilai tambah yang minim.
Hasil hilirisasi nikel pun lebih banyak diekspor sebagai bahan baku ke negara lain, terutama ke China. Selain itu juga ke India, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Norwegia. Bahan baku yang diekspor tersebut kemudian diimpor kembali dalam bentuk jadi untuk dikonsumsi.
Hal itu menunjukkan Indonesia masih menjadi pasar dan pemasok bahan baku untuk industri negara lain.