FotografiFoto CeritaArsip Foto ”Kompas”: Fenomena ...
KOMPAS/AR BUDIDARMA
Bebas Akses

Arsip Foto ”Kompas”: Fenomena Mega Bintang Hadir karena Penindasan Orde Baru

Sebagian pendukung PDI kubu Megawati mengalihkan suaranya kepada PPP, yang sempat memunculkan terminologi ”Mega-Bintang” pada Pemilu 1997. ”Mega-Bintang” kemudian dilarang penyebutannya oleh pemerintah Orde Baru.

Oleh
RIZA FATHONI
· 7 menit baca
Atribut seperti spanduk Mega Bintang menghiasi kendaraan simpatisan saat kampanye PPP di kawasan Rawamangun, Minggu (11/5/1997).
KOMPAS/ANUNG WENDYARTAKA

Atribut seperti spanduk Mega Bintang menghiasi kendaraan simpatisan saat kampanye PPP di kawasan Rawamangun, Minggu (11/5/1997).

Pemilu 1997 merupakan pemilu yang paling fenomenal dalam sejarah politik era Orde Baru jika dibandingkan dengan lima pemilihan umum (pemilu) sebelumnya yang diselenggarakan sejak tahun 1971 hingga tahun 1992. Berbagai kelompok terasa tegang menghadapi proses Pemilu 1997 sebagai pemilu terakhir era Orde Baru tersebut. Bagi sebagian pengamat saat itu, ketegangan itu muncul sebagai reaksi ketidakpastian membaca peta politik pasca-Pemilu 1997.

Konflik internal di tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang berpuncak di kasus 27 Juli 1996 telah melahirkan politik kerakyatan dan arah kubu Megawati Soekarnoputri menjadi lebih konkret lagi. Dukungan terhadap Megawati justru semakin solid karena simpati terhadap kubu Megawati mengalir dari dalam dan luar negeri. Pada Pemilu 1997, PDI jatuh ke titik terendah dalam sejarah perolehan suara pemilu. Partai ini hanya meraih 16 kursi di DPR. Rakyat memilih golput. Alhasil, sulit untuk menolak realitas bahwa faktor Megawati menjadi penentu dukungan rakyat.

Isu politik Mega Bintang sempat mencuat dalam kampanye menjelang Pemilu 1997. Isu ini kemudian dilarang dimunculkan dalam kampanye.
KOMPAS/JOHNNY TG

Isu politik Mega Bintang sempat mencuat dalam kampanye menjelang Pemilu 1997. Isu ini kemudian dilarang dimunculkan dalam kampanye.

Megawati sendiri sudah menyatakan sikap golput dalam Pemilu 1997. Tingginya intensitas dukungan massa terhadap Megawati merupakan reaksi penolakan atas segala bentuk rekayasa Orde Baru. Megawati lahir sebagai simbol kepemimpinan alternatif berhadapan dengan kepemimpinan monolitik yang berlangsung selama Orde Baru.

Kampanye PPP di Ibu Kota mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat Jakarta, Minggu (11/5/1997). Mereka tidak hanya menonton, tetapi juga turun ke jalan meramaikan peserta kampanye pawai kendaraan.
KOMPAS/AR BUDIDARMA

Kampanye PPP di Ibu Kota mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat Jakarta, Minggu (11/5/1997). Mereka tidak hanya menonton, tetapi juga turun ke jalan meramaikan peserta kampanye pawai kendaraan.

Sebagian pendukung PDI kubu Megawati mengalihkan suaranya kepada Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang sempat memunculkan terminologi ”Mega-Bintang” yang kemudian dilarang penyebutannya oleh pemerintah. Pengamat politik saat itu melihat bahwa fenomena bergabungnya massa pendukung PDI-Megawati dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam Pemilu 1997 dengan istilah ”Mega-Bintang” adalah sinyal dari kemungkinan hadirnya partai oposisi dalam sistem kepartaian di masa depan (pasca-Pemilu 1997) yang kemudian terbukti dengan lahirnya PDI-P.

Fenomena ”Mega-Bintang” saat itu dilihat oleh pengamat sebagai isyarat terbentuknya sistem dwipartai, yaitu antara partai yang berkuasa (Golkar) dan partai oposisi (gabungan PPP dan PDI).

Fenomena Mega Bintang dalam Kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Jakarta, Kamis (8/5/1997).
KOMPAS/PRASETYOHADI

Fenomena Mega Bintang dalam Kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Jakarta, Kamis (8/5/1997).

Kesadaran politik masyarakat saat itu dilihat sudah bertambah tinggi bila dibandingkan dengan Pemilu 1992 sehingga tingkat kemandirian politik mereka juga akan semakin tinggi.

Simbol-simbol ”Mega-Bintang” yang hadir lewat berbagai atribut kampanye telah menyemarakkan kampanye-kampanye PPP di berbagai daerah. Selain kombinasi warna merah (warna PDI) dan hijau (warna PPP), yang menghiasi berbagai spanduk, poster, boneka ataupun coreng moreng di tubuh, gambar Megawati atau Ismail Hasan Metareum (Ketua Umum PPP) maupun kombinasi keduanya banyak dijadikan atribut kampanye.

Kampanye PPP pada putaran kelima pada Pemilu 1997 di Jakarta dimeriahkan oleh atribut-atribut yang bernuansa PDI pro-Megawati. Selain warna hijau yang dominan, warna merah atau kombinasi keduanya terlihat di antara atribut yang dibawa massa. Gambar bintang yang biasanya di atas kain hijau banyak di antaranya juga diterapkan di kain merah. Spanduk maupun poster yang mengisyaratkan ”koalisi” Mega-Bintang juga makin marak, di antaranya berbunyi, ”Mega Bintang, Kau selalu di Hatiku”.

Konvoi kampanye PPP melalui jalan arteri Permata Hijau, Jakarta.
KOMPAS/JOHNNY TG

Konvoi kampanye PPP melalui jalan arteri Permata Hijau, Jakarta.

Simpatisan menggunakan atribut Mega Bintang saat kampanye PPP di kawasan Gelora, Minggu (11/5/1997).
KOMPAS/ANUNG WENDYARTAKA

Simpatisan menggunakan atribut Mega Bintang saat kampanye PPP di kawasan Gelora, Minggu (11/5/1997).

Di Surakarta, Jawa Tengah, kampanye PPP dibanjiri massa yang sebagian besar simpatisan Mega-Bintang. Sekitar 100.000 warga memadati lokasi kampanye di Alun-alun Selatan Keraton Kasunanan Surakarta serta jalan-jalan di sekitarnya. Akibatnya, kemacetan terjadi di beberapa ruas jalan di Kota Solo.

Di hadapan massa, Ketua DPC Solo Mudrick Sangidoe mengenakan ikat kepala bertuliskan ”Mega-Bintang”. ”Ini untuk membuktikan bahwa PPP Solo-lah pelopor lahirnya Mega-Bintang!” ujar Mudrick disambut pekikan dan tepuk tangan massa.

Kliping Koran Harian <i>Kompas</i>
KOMPAS/ARDUS SAWEGA

Kliping Koran Harian Kompas

Kampanye PPP di kawasan Rawamangun diwarnai konvoi anak-anak muda yang mengusung atribut Mega-Bintang di jalan-jalan protokol, Minggu (11/5/1997).
KOMPAS/ANUNG WENDYARTAKA

Kampanye PPP di kawasan Rawamangun diwarnai konvoi anak-anak muda yang mengusung atribut Mega-Bintang di jalan-jalan protokol, Minggu (11/5/1997).

Kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Ibu Kota mencapai puncaknya, Sabtu (17/5/1997).
KOMPAS/AR BUDIDARMA

Kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Ibu Kota mencapai puncaknya, Sabtu (17/5/1997).

Fenomena ini juga terlihat di Semarang dan Madiun. Bergabungnya sebagian warga banteng pro-Megawati di kampanye PPP menjadikan partai bintang ini bergairah dan marak. Ketua DPC PPP Madiun Harsono yang dimintai tanggapannya menyatakan tidak ada larangan bagi siapa pun untuk hadir pada kampanye yang memang dihadiri massa.

Sebagai penyelenggara pemilu, pemerintah Orde Baru rupanya gerah menghadapi fenomena tersebut dengan melarang penggunaan spanduk ”Mega-Bintang” dalam kegiatan kampanye. Pencantuman ”Mega-Bintang” dinilai menyalahi peraturan perundangan tentang kampanye pemilu karena setiap spanduk yang dipergunakan dalam kampanye harus mendapat izin dari kepolisian.

Berita tentang larangan memasang spanduk Mega-Bintang” menjadi <i>headline</i> di <i>Kompas</i> edisi 13 Mei 1997.
ARSIP KOMPAS

Berita tentang larangan memasang spanduk Mega-Bintang” menjadi headline di Kompas edisi 13 Mei 1997.

Hal itu disampaikan Menteri Dalam Negeri/Ketua Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) Moh Yogie S Memet seusai rapat evaluasi kampanye bersama Jaksa Agung/Ketua Panwaslakpus Singgih dan Wakil Ketua Panwaslakpus/Kassospol ABRI Letjen TNI Syarwan Hamid, Senin (12/5/1997), di Jakarta.

Jaksa Agung berupaya ”mengamankan” merebaknya spanduk ”Mega-Bintang” dengan menempuh pendekatan kepada pihak penyelenggara kampanye agar jangan terulang kembali. Karena aturan dan proses spanduk itu harus minta persetujuan dulu dari kepolisian dan isi spanduk itu tema kampanye dan isinya harus disampaikan ke polisi. ”Proses ini tidak ada,” kata Singgih saat diwawancara wartawan.

”Masalah fenomena munculnya spanduk Mega-Bintang sudah dibicarakan dalam rapat PPI hari ini. Spanduk-spanduk Mega-Bintang yang berhasil dipantau Panwaslak lebih karena spontanitas massa ini adalah tidak dibenarkan menurut ketentuan perundangan yang berlaku. Ini jelas dilarang,” kata Singgih tanpa merinici lebih jauh dasar hukum pelarangan soal spanduk itu.

Ketika ditanya apakah tidak diperbolehkannya spanduk ”Mega-Bintang” tersebut karena ada embel-embel Mega yang mengesankan ”berbau” Megawati Soekarnoputri, Mendagri Yogie SM menjawab, ”Tidak karena ada embel-embel itu.”

Menurut Singgih, semua tema dan slogan spanduk untuk keperluan kampanye harus mendapat persetujuan pihak Kepolisian Negara RI. ”Tetapi, Mega-Bintang itu bukan spanduk resmi, jadi tidak dibenarkan,” ujarnya. Penertiban juga dilakukan pihak kepolisian saat bertemu rombongan konvoi kampanye PPP yang mengusung atribut Mega-Bintang tersebut.

Spanduk Mega-Bintang terpasang di salah satu sudut di Jakarta, Minggu (11/5/1997).
ARSIP KOMPAS

Spanduk Mega-Bintang terpasang di salah satu sudut di Jakarta, Minggu (11/5/1997).

Sejumlah anggota polantas tengah menertibkan sebuah truk penuh dengan massa pendukung PPP dengan fenomena Mega-Bintang di persimpangan Slipi, depan Jakarta Design Centre (JDC), Jakarta Barat, (8/5/1997).
KOMPAS/AR BUDIDARMA

Sejumlah anggota polantas tengah menertibkan sebuah truk penuh dengan massa pendukung PPP dengan fenomena Mega-Bintang di persimpangan Slipi, depan Jakarta Design Centre (JDC), Jakarta Barat, (8/5/1997).

Ketua DPP PPP Djufri Asmoredjo pada waktu itu yang hadir dalam rapat evaluasi menegaskan, spanduk-spanduk semacam itu merupakan spontanitas dari masyarakat. Djufri mengatakan, spanduk Mega-Bintang yang menyemarakkan kampanye PPP merupakan bukti kegairahan masyarakat untuk menyemarakkan kampanye.

Larangan pemerintah terhadap spanduk ”Mega-Bintang” juga mendapat reaksi dari masyarakat. Redaksi Kompas kala itu menerima banyak telepon dan faksimile mengenai hal tersebut. Umumnya mereka mempertanyakan dasar hukum serta menilai hal tersebut sebagai sikap berlebihan. ”Saya jadi khawatir nasib Mega-Mega yang lain: Mega-Sinema, Mega-Mal, Megaria, dan sebagainya,” tulis Hartono, seorang pembaca dalam faksimilenya kepada redaksi.

Suasana saat kampanye PPP di Jakarta, Rabu (14/5/1997). Atribut Mega-Bintang yang diwujudkan dengan ikat kepala bertuliskan Mega Idolaku.
KOMPAS/AR BUDIDARMA

Suasana saat kampanye PPP di Jakarta, Rabu (14/5/1997). Atribut Mega-Bintang yang diwujudkan dengan ikat kepala bertuliskan Mega Idolaku.

Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) menilai, sikap pemerintah tersebut tidak bijaksana karena akan mematikan kreativitas dan apresiasi politik masyarakat serta akan menghambat proses pematangan dan pendewasaan Demokrasi Pancasila. Sementara Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI (PMKRI) cabang Bandung menyatakan protes dan keprihatinan yang mendalam atas kebijakan yang dinilai subyektif dan tanpa dasar yuridis.

Ketua DPP PPP Zarkasih Nur, secara terpisah, malah mempertanyakan aturan mana yang melarang hal-hal seperti itu. ”Masak masalah kecil seperti itu malah diurusi, nanti malah njlimet jadinya,” ujarnya.

Zarkasih Nur menegaskan, ”Mega-Bintang” itu bagi seluruh warga PPP berarti ”Bintang yang sangat besar”. Koordinator Manajemen Kampanye PPP Yusuf Syakir juga sebelumnya berkali-kali menegaskan, Mega-Bintang yang artinya bintang yang sangat besar, menandakan kebangkitan PPP dalam pemilu kali ini.

Poster Mega-Bintang terlihat dibawa oleh simpatisan saat kampanye PPP di Komisariat Gandaria Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (14/5/1997).
KOMPAS/ANUNG WENDYARTAKA

Poster Mega-Bintang terlihat dibawa oleh simpatisan saat kampanye PPP di Komisariat Gandaria Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (14/5/1997).

Zarkasih mengingatkan, jika memang pemerintah melarang spanduk Mega-Bintang, maka semua spanduk spontanitas masyarakat dari OPP lain pun harus ditindak. Upaya pelarangan spanduk dan atribut ”Mega-Bintang” dalam kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP) karena adanya kecemburuan politik dari pihak Orde Baru sehubungan munculnya dukungan masyarakat yang luar biasa terhadap partai berlambang bintang.

Dukungan dalam bentuk ”Mega-Bintang” jelas sulit dibendung karena merupakan kenyataan demokrasi yang hidup di tengah masyarakat. Demikian pernyataan resmi DPP PPP yang disampaikan Sekjen Tosari Widjaya, Wakil Sekjen/Lajnah Pemenangan Pemilu PPP Bachtiar Hamzah, dan Ketua DPP PPP Zein Badjeber dalam jumpa pers di Kantor DPP PPP, Jakarta, Selasa (13/5/1997). ”DPP PPP mempertanyakan, sejauh mana ucapan seorang pejabat pemerintah lewat pers bisa menjadi aturan hukum yang berlaku dalam persoalan ’Mega-Bintang’ tersebut,” tambah pernyataan itu.

Simpatisan PPP memamerkan atribut Mega-Bintang saat kampanye di Jakarta, Rabu (14/5/1997).
KOMPAS/AR BUDIDARMA

Simpatisan PPP memamerkan atribut Mega-Bintang saat kampanye di Jakarta, Rabu (14/5/1997).

Pernyataan DPP PPP ini menanggapi sikap pemerintah yang melarang penggunaan spanduk ”Mega-Bintang” dalam kegiatan kampanye PPP karena dinilai menyalahi peraturan tentang kampanye pemilu (Kompas, 13/5/1997). PPP yang merasa diuntungkan dengan fenomena ini memang patut menyatakan protes atas pelarangan atribut Mega-Bintang karena ekspektasi mendapat tambahan suara.

Sekjen DPP PPP kala itu, Tosari Widjaya, mengatakan memang sudah mengajukan sejumlah slogan dan tema kampanye kepada kepolisian untuk menjadi acuan atribut kampanye. Masalahnya, pihaknya tidak bisa mencegah spontanitas dan kreativitas masyarakat yang secara swakarsa membuat spanduk-spanduk, termasuk spanduk yang berisi kata dan gambar ”Mega-Bintang”.

Larangan penggunaan ”Mega-Bintang” tersebut, lanjut Tosari, bukanlah ditujukan kepada PPP, tetapi kepada masyarakat. ”Apa perlu kreativitas masyarakat dipasung? Sepanjang mereka tidak membuat onar, mengapa dilarang?” kata Tosari.

Ia mempertanyakan pula aturan mana yang melarang spanduk ”Mega-Bintang” tersebut. Pihak PPP yakin jika (pelarangan) itu direalisasi, masyarakat akan tetap mendukung PPP. ”Kita tidak bisa melarang dan menghentikan kreativitas masyarakat,” kata Tosari.

Ketua Umum DPP PPP Ismail Hasan Metareum secara terpisah menegaskan, partainya tidak habis mengerti adanya pelarangan ”Mega-Bintang”. Dengan demikian, pihaknya tidak akan memberi instruksi apa pun terhadap warga PPP. Ia juga mempertanyakan dasar hukumnya pelarangan tersebut. ”Jadi, silakan perlihatkan mana dasar hukumnya,” ucap Ismail.

Kampanye dimanfaatkan oleh para pedagang makanan, minuman, mainan, atau atribut partai untuk menjajakan jualannya, Rabu (14/5/1997).
KOMPAS/AR BUDIDARMA

Kampanye dimanfaatkan oleh para pedagang makanan, minuman, mainan, atau atribut partai untuk menjajakan jualannya, Rabu (14/5/1997).

Kaus Mega-Bintang yang dikenakan simpatisan saat kampanye PPP di Jakarta mencapai puncaknya, Sabtu (17/5/1997).
KOMPAS/AR BUDIDARMA

Kaus Mega-Bintang yang dikenakan simpatisan saat kampanye PPP di Jakarta mencapai puncaknya, Sabtu (17/5/1997).

Pernyataan politik Megawati untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 1997 (Kompas, 23/5/1997) sebenarnya telah mengakhiri spekulasi tentang aliansi Mega-Bintang yang sempat membikin cemas pemerintah sehingga pemerintah pun sampai turun tangan melarang simbol-simbol aliansi ini digunakan oleh para peserta kampanye.

Pernyataan ini sekaligus juga mematahkan analisis sebagian besar pengamat yang telah terlanjur dilansir di media-media massa, yang memprediksi aliansi Mega-Bintang akan mempunyai dampak yang besar terhadap dinamika politik kita di masa depan.

Menurut Mega, kampanye merupakan suatu bagian dari pesta demokrasi di mana semua orang mestinya menikmatinya secara suka cita dan meriah. ”Kalau saya perhatikan, kampanye sekarang ini tegang sekali, ya,” ujar Mega.

Pendukung PPP pmenggunakan kaus Mega Bintang saat kampanye PPP di kawasan pasar Tanah Abang, Selasa (20/5/1997).
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY

Pendukung PPP pmenggunakan kaus Mega Bintang saat kampanye PPP di kawasan pasar Tanah Abang, Selasa (20/5/1997).

Maka, Megawati berpendapat bahwa fenomena ”Mega-Bintang” itu hanya bagian dari kreativitas dan spontanitas anak-anak muda untuk memeriahkan pesta demokrasi itu tadi. ”Memangnya istilah Mega-Bintang itu ada kaitan dengan nama saya? Saya pikir ada benarnya yang dimaksud adalah Bintang yang besar,” katanya.

Sekalipun panggung politik formal dikuasai oleh PDI kelompok Soerjadi, realitas kekuatan massa pro-Mega di tingkat ”akar rumput” partai berlambang banteng ini tidak mungkin dimungkiri atau disepelekan. Kesenjangan ini telah membuat jajaran pro-Soerjadi agak terkesan terperangkap pada situasi ”maju kena mundur kena”.

Kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Ibu Kota mencapai puncaknya, Sabtu (17/5/1997). Ratusan simpatisan partai berlambang bintang turun ke jalan di seluruh sudut Jakarta. Mereka umumnya mengenakan kaus merah-hijau, lambang Mega-Bintang.
KOMPAS/AR BUDIDARMA

Kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Ibu Kota mencapai puncaknya, Sabtu (17/5/1997). Ratusan simpatisan partai berlambang bintang turun ke jalan di seluruh sudut Jakarta. Mereka umumnya mengenakan kaus merah-hijau, lambang Mega-Bintang.

Suara rakyat tidak bisa lagi dibungkam. Kekuasaan Orde Baru yang kelewat lama telah membutakan mereka tentang kesesakan yang dirasakan rakyat. Kesadaran baru telah muncul bahwa rakyat bisa dipersatukan karena memiliki musuh bersama. Dalam hal ini penindasan.

Memuat data...
Memuat data...
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000