Hiruk-pikuk kampanye lima tahunan memang menjadi salah satu hiburan tersendiri bagi rakyat. Pada kenyataannya, keterlibatan anak-anak dalam kegiatan kampanye di lapangan seakan tak terhindarkan. Meski anak-anak belum tahu apa-apa dan belum memiliki hak pilih, dari pemilu ke pemilu mereka selalu dilibatkan dalam kampanye partai politik.
Atribut partai seperti kaus sering dikenakan pada anak-anak, padahal mereka belum tentu paham maknanya, apalagi materi dan konten kampanye. Bagi orangtua yang simpatisan parpol, menjadikan anak-anak sebagai bagian dalam sebuah kampanye tak ubahnya seperti mengajak mereka ke keramaian lainnya, sama halnya seperti menikmati kemeriahan menjelang pergantian tahun.
Dalam rekaman arsip foto Kompas, terlihat bahwa simpatisan parpol bahkan tak peduli dengan keselamatan anak mereka sendiri. Euforia pesta demokrasi telah melupakan tanggung jawab sebagai orangtua yang terkalahkan oleh hasrat untuk larut dalam kampanye pemilu.
Ada yang membawa anak di atap mobil, bak mobil pikap, bahkan menggendong anak balita sambil berdiri di atas motor dalam kecepatan tinggi dengan melepas setang. Tak ubahnya seperti akrobat sirkus di jalanan umum. Anak tersebut harus mengikuti polah pecicilan orangtuanya saat mengikuti kampanye.
Sebagian lainnya mungkin karena keterpaksaan harus membawa bayinya saat kampanye karena masih ada ketergantungan dengan orangtuanya yang mengikuti kegiatan kampanye, seperti foto kampanye Partai Golkar di Lapangan Trikora, Abepura, Jayapura, Provinsi Papua, tahun 2004. Atau potret seorang anak yang terlelap di pangkuan ayahnya saat mengikuti doa istigasah dalam kampanye PDI-P di Lapangan Pancasila, Simpang Lima, Semarang tahun 2004.
Salah satu bingkai lain foto menceritakan saat berlangsung kampanye PDI di Jakarta pada Senin (18/5/1992) sore. Ribuan pendukung parpol peserta pemilu tersebut digiring ke Mapolda Metro Jaya karena menumpang pikap terbuka, truk, dan sedan tanpa mengindahkan peraturan lalu lintas. Penindakan tersebut juga dilakukan karena terlalu banyak anak-anak yang mengikuti kampanye tersebut.
Wakil Kapolda Metro Jaya yang menjabat saat itu, Brigjen (Pol) Drs Yusnan H Usman, sempat bertanya kepada salah seorang anak yang ikut kampanye salah satu parpol tentang keikutsertaannya dalam kampanye. Sang anak yang berusia tujuh tahun ini masih polos dan tidak memahami untuk apa ia ikut berkampanye. Mungkin saja, anak-anak ini hanya ikut-ikutan setelah dibagikan kaos. ”Wah, anak-anak lebih baik pulang saja ke rumah...,” kata Wakapolda kepada bocah-bocah itu.
Selain itu, ada terlihat juga ekspresi polos anak-anak balita yang terselip di antara kerumunan massa pendukung parpol dalam kampanye terbuka akbar. Kondisi panas dan sesak tak mengurungkan niat orangtuanya untuk membawa anak-anak itu mendengarkan orasi juru kampanye di panggung. Polah tingkah lucu anak-anak dalam kampanye juga turut terekam dalam foto kampanye terbuka putaran terakhir PPP di Gelora Bung Karno, Jakarta.
Konstitusi Indonesia dan konvensi hak-hak anak telah mengatur mengenai hak asasi anak. Di dalamnya, terdapat hak-hak anak yang dilindungi, yaitu hak untuk tetap hidup, bertumbuh, dan berkembang, hak untuk berpartisipasi, berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan yang mengancam kehidupan mereka dan diskriminasi.
Perlindungan anak adalah perlindungan terhadap bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara karena anak adalah penerus generasi bangsa yang diharapkan kehidupannya jauh lebih baik dari generasi saat ini Pasal 15 Huruf a Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan setiap anak berhak untuk perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik (dalam hal ini kegiatan kampanye).
Berdasarkan Pasal 280 Ayat (2) UU Pemilu, anak-anak di bawah 17 tahun dilarang ikut dalam kampanye karena belum memenuhi syarat sebagai pemilih. WNI yang ikut serta dalam pemilu disebut dengan pemilih. Pemilih adalah warga negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin. Jadi berdasarkan ketentuan tersebut, secara implisit dapat dikatakan anak dilarang ikut serta dalam kampanye pemilu jika belum berumur 17 tahun.
Dalam laporan KPAI yang dikutip dari lamannya, lembaga tersebut melakukan pengawasan sepanjang pelaksanaan kampanye Pemilu pada 2019 lalu terkait temuan pelibatan anak dalam kampanye. Saat pascapenetapan pemilu, empat anak meninggal tertembak. Insiden ini menjadi catatan kelam dalam pemilu tersebut. Belum lagi barisan 55 kasus yang masih menjadi catatan KPAI yang dirilis pada 2020.
Berdasarkan temuan KPAI dalam penyalahgunaan anak dalam kegiatan politik di 2014 ada 248 kasus, sedangkan 2019 ada 55 kasus. Meski angkanya turun, fakta lapangan 2019 jumlah kehadiran anak lebih masif karena kampanye terbuka dan periode pelaksanaannya panjang berbulan-bulan.
Pemilu 2024 nanti akan menjadi satu dari agenda rutin yang penting dalam proses demokrasi negara ini, yang memberikan hak kepada masyarakat untuk menyalurkan hak pilihnya guna menentukan pemimpin dan wakilnya. Akan tetapi, dalam rangka menjaga integritas, kelompok rentan seperti anak-anak dilarang untuk dilibatkan. Mekanisme pengawasan dalam segala bentuk kegiatan kampanye kontestan pemilu harus diperjelas dan dipertegas.
Bawaslu dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah melakukan kerja sama untuk mencegah keterlibatan anak dalam kegiatan pemilu. Dikutip dari laman Bawaslu, kerja sama tersebut ditandatangani bersama dalam MoU Bawaslu dan KPAI di Jakarta, Selasa (23/5/2023) silam.
Keterlibatan anak dalam kegiatan pemilu dapat dikenai tindak pidana. Seperti yang tercantum dalam Pasal 280 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, secara tegas melarang melibatkan anak-anak dan melibatkan orang yang tidak memiliki hak pilih. Selain dua peraturan tersebut, mereka yang melibatkan anak-anak dalam kampanye dapat dijerat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Tindakan pidana ini menjadi upaya hukum terakhir terkait pelibatan anak dalam kegiatan pemilu. Bawaslu akan melakukan sosialisasi kepada peserta pemilu dan masyarakat agar tidak melibatkan anak dalam kegiatan pemilu untuk mencegah hal tersebut.
Keterlibatan anak-anak di bawah umur dalam kampanye politik juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Secara khusus, anak yang dimaksud dalam pengawasan penyelenggaraan pemilu adalah anak yang belum memiliki hak pilih dalam pemilu, yakni yang belum berusia 17 tahun atau belum menikah.
Pemerintah dan pemangku politik di Indonesia harus menciptakan desain edukasi pemilihan umum yang baik untuk anak. Anak yang tidak mendapat perlindungan ini akan membawa efek buruk bagi mereka.
Sejumlah potret kepolosan anak yang terselip di antara aktivitas politik ini menjadi catatan pada masa lalu yang patut menjadi refleksi dalam kehidupan demokrasi kita yang setidaknya pada pemilu terakhir tahun 2019 masih terjadi. Kampanye-kampanye pemilu seakan masih berada pada fase kanak-kanak atau belum juga kunjung dewasa dalam konteks pelibatan anak-anak. Semoga Pemilu 2024 membawa perubahan yang lebih baik dan anak-anak tetap bebas bermain dan belajar tanpa harus dilibatkan dalam dinamika pemilu.