Sepotong Kebaikan di Pasar Kudapan Ramadhan Palangkaraya
›
Sepotong Kebaikan di Pasar...
Iklan
Sepotong Kebaikan di Pasar Kudapan Ramadhan Palangkaraya
Wadai jadi kudapan paling ditunggu jelang Lebaran. Di Palangkaraya, Kalteng, pemerintah menggelar Serambi Ramadhan untuk meriahkan bulan puasa. Tak hanya meriah, dari wadai ekonomi bergerak, toleransi pun jadi nyata.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Bulan suci Ramadhan merupakan momen yang ditunggu-tunggu warga Kalimantan Tengah. Di momen ini mereka bakal dibanjiri takjil atau yang akrab disebut sebagai wadai. Pemerintah bersama sejumlah instansi dan lembaga menggelar Serambi Ramadhan atau pasar wadai sepanjang bulan puasa hingga Idul Fitri tiba.
Wadai merupakan bahasa Banjar dari kudapan atau makanan ringan. Kota Palangkaraya dan beberapa kota di Provinsi Kalimantan Tengah selalu menggelar pasar wadai setiap bulan puasa tiba. Di Kota Palangkaraya, setidaknya terdapat sembilan lokasi pasar wadai antara lain, Jalan Ais Nasution, Jalan Yos Sudarso, Jalan Datah Manuah Blok D, kantor Kelurahan Panarung, Jalan Bali, Jalan Sultan Hasanuddin, area parkir Pasar Kahayan Palangkaraya, dan di area parkir Masjid Raya Darussalam Palangkaraya.
Tak hanya di Palangkaraya, pasar wadai juga digelar di Kabupaten Pulang Pisau dan Kotawaringin Barat. Pasar tersebut dibentuk oleh pemerintah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota. Jumlah itu juga belum termasuk pedagang wadai di pinggiran jalan di sejumlah titik di Kota Palangkaraya.
Gusti Ernawati (55), warga Palangkaraya, selalu memanfaatkan momen bulan puasa untuk berjualan wadai. Hal itu dimulai sejak empat tahun lalu saat dirinya mendaftar di Dinas Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil Menengah, dan Perindustrian (DPKUKMP) Kota Palangkaraya.
”Sebelum daftar, saya hanya berjualan di dekat rumah pakai meja kayu belum ada merek dagang dan hanya jualan saat puasa. Tapi karena sering ikut Pasar Ramadhan, akhirnya saya serius jualan wadai sampai buka pesanan,” ungkap Ernawati yang ditemui di sekitar Masjid Raya Darussalam Palangkaraya, Kamis (23/3/2023).
Ernawati mengaku dengan mendaftar, pedagang mendapat sejumlah kemudahan. Ia tak perlu menyewa tempat karena sudah ditanggung pemerintah, bahkan ia tak perlu promosi. Semua kegiatannya di Pasar Ramadhan disiarkan dan dipromosikan pemerintah sebagai event tahunan di Kalimantan Tengah.
Sejak berjualan wadai, lanjut Ernawati, ia mampu mengembangkan usahanya dan beberapa kali menjadi langganan penyuplai kudapan di beberapa acara kantor. Kini ia mengembangkan bisnis usahanya tak hanya berjualan wadai, tetapi juga produksi baju dengan kain benang bintik khas Kalimantan Tengah yang ikut dijual di sela-sela pasar wadai.
Pasar wadai menjadi agenda tahunan pemerintah daerah di Kalteng. Hanya pada saat pagebluk tiba tahun 2020 hingga tahun berikutnya event ini ditiadakan. ”Saat pandemi itu memang penjualan berkurang, tapi bisa selamat karena masih bisa jual online,” ungkap Ernawati.
Ernawati berjualan setidaknya 20 jenis kudapan, antara lain amparan tatak pisang, bingka kentang, kararaban, berbagai puding, dan kudapan lainnya. Kue kararaban salah satu favorit pembeli, kudapan yang satu ini dibuat dengan berbagai rempah, mulai dari kayu manis dan cengkeh.
Selain kararaban, kue amparan tatak pisang juga tak kalah nikmat. Kue ini merupakan kue loyang yang begitu lembut, lebih padat dari puding. Kudapan ini menggunakan pisang di bagian tengahnya dan daun pandan di bagian atas. Dibuat dengan berbagai warna, mulai dari hijau, putih, hingga coklat. Kedua jenis kudapan itu merupakan kudapan khas Banjar.
Hal serupa juga diungkapkan Sulis (40), salah satu pedagang wadai di Pasar Ramadhan di Jalan Ais Nasution. Menurut Sulis yang bukan umat Islam, bulan puasa mendatangkan berkah tersendiri baginya. Ia dan keluarga selalu ikut memeriahkan Pasar Ramadhan dengan berjualan berbagai kudapan, mulai dari kolak hingga bubur kacang hijau dan ketan.
”Tak ada wadai, Ramadhan gak ramai,” katanya.
Pasar wadai jadi momen yang ditunggu-tunggu Sulis dan keluarga tidak hanya karena berjualan, tetapi juga bisa menikmati berbagai kudapan khas Banjar (Banjarmasin, Kalimantan Selatan) di Palangkaraya, ibu kota Provinsi Kalteng.
Wali Kota Palangkaraya Fairid Naparin mengungkapkan, Pasar atau Serambi Ramadhan menjadi magnet bagi pelaku UMKM hingga turis. Banyak turis lokal hingga internasional yang menunggu momen ini. Tidak hanya untuk mencoba kudapan khas Kalimantan, tetapi juga merasakan keramaian bulan suci Ramadhan.
”Momen ini harus dimanfaatkan untuk memperbanyak ibadah, amal, berzikir, dan mari ambil kesempatan ini untuk menebar kebaikan untuk semua, semua orang,” kata Fairid.
Kalimantan Tengah memang dikenal sebagai Bumi Pancasila. Predikat itu muncul pada 11 Juni 2011 saat Provinsi Kalteng dideklarasikan sebagai Bumi Pancasila oleh Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang bersama Yayasan Indonesia Satu. Deklarasi dilaksanakan di Tugu Soekarno di Jalan Ahmad Yani, Kota Palangkaraya. Di tugu ini, Soekarno meletakkan batu pertama yang menandai penetapan Kalteng sebagai provinsi baru di Indonesia pada 1957 (Kompas, 6 Juni 2019).
Fairid mengingatkan kembali soal semangat Bumi Pancasila yang didasari Filosofi Huma Betang. Huma betang merupakan rumah adat khas Dayak yang diisi oleh sejumlah orang dengan berbagai latar belakang. Tak ayal, di Kalteng terdapat begitu banyak daerah yang membangun tempat ibadah saling berdampingan seperti masjid dan gereja yang dibuat satu dinding di Kota Palangkaraya dan empat tempat ibadah di Kotawaringin Timur.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalteng Khairil Anwar menjelaskan, masjid juga bisa menjadi tempat untuk menggerakkan ekonomi. Hal itu dilihat dari Pasar Ramadhan yang selalu ramai dikunjungi masyarakat dari berbagai latar belakang.
”Kami upayakan supaya masyarakat bisa kumpul di sini kemudian bisa berdagang dan juga bisa menggunakan kesempatan jual beli di sini,” kata Anwar.
Roda pergerakan ekonomi bisa dilihat dari pasar wadai tersebut. Satu pasar bisa diisi 50 hingga 100 lapak pedagang. Bukan hanya takjil, melainkan juga berbagai produk UMKM lainnya.
Kudapan bersejarah
Dari sisi sejarah, wadai merupakan kudapan yang sudah ada sejak abad ke-16 di wilayah Kalimantan bagian selatan. Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial, dan Budaya (LKS2B) Kalimantan Mansyur menjelaskan, wadai sudah dikenal sebagai penganan kerajaan saat Majapahit masuk di kawasan Pulau Borneo.
”Saat kerajaan Islam masuk ke wilayah Kalimantan bagian selatan, banyak peninggalan budaya dan tradisi Hindu yang tidak hilang bahkan hingga saat ini, salah satunya adalah penganan, masakan, dan wadai,” kata Mansyur.
Mansyur mengungkapkan, sebelum Islam masuk, wadai digunakan dalam berbagai upacara adat suku Banjar dan ritual adat tertentu. Terdapat 41 jenis wadai dengan beragam bentuk dan warna.
Dari sejarah, wadai hanya berjumlah 41. Angka itu, kata Mansyur, menunjukkan kalender waktu orang Banjar yang memiliki 41 hari. Jumlah hari orang Banjar menjadi lebih banyak lantaran ditambah hari baik dan buruk, seperti kitab Primbon orang Jawa. Angka 41 juga merupakan angka keramat bagi suku Banjar.
Warna memiliki arti tertentu atau menjadi perlambang, seperti kue lapis hijau yang berarti kemakmuran, atau bingka merah yang berarti keberanian. Warna tersebut disesuaikan dengan kehidupan suku Banjar yang merupakan salah satu suku yang gemar bermigrasi atau merantau selain Minangkabau dan Bugis.