Pabrik tahu UD Sumber Kencana berdiri di kawasan Dinoyo, Surabaya. Sejak pukul delapan pagi, setelah suara ketel uap yang dinyalakan terdengar, pekerja yang jumlahnya delapan orang itu mulai bekerja.
Dimulai dengan menggiling kedelai dan diakhiri dengan memotong tahu. Tahu-tahu yang dibuat tersebut merupakan pesanan pelanggan sehari sebelumnya.
Pabrik tahu yang dipercaya sebagai yang tertua di Surabaya itu didirikan oleh Go Loe Tjiaw pada 1952. Riani, menantu Go Loe Tjiauw yang kini mengelola pabrik tahu tersebut, berkisah bahwa pada masa lalu sebanyak 20 orang bekerja membuat tahu.
”Tahu-tahu yang sudah jadi kemudian diangkut dengan cikar atau gerobak yang ditarik oleh sapi,” ujarnya. ”Dengan cikar itu, tahu dari pabrik di pinggir sungai tersebut menyebar ke pelosok kota Surabaya.”
Dengan 20 pekerja serta pesanan yang tidak henti-henti, waktu produksi berlangsung hingga sore hari. Pekerja-pekerja itu pun menikmati penghasilan yang melimpah akibat pembagian persentase dari tahu yang diproduksi.
Baca juga : Membeli Kenangan Suara di Bursa Musik Blok M Square
Namun, zaman yang terus berubah membuat kenyataan tidak semanis saat pabrik tahu dikelola oleh Go Loe Tjiaw. Setelah harus bersaing dengan pabrik tahu yang banyak tumbuh di pinggiran Kota Surabaya, pabrik tahu tersebut kini harus berjuang seiring menurunnya daya beli akibat pandemi.
Banyaknya tempat usaha makanan dari tahu tutup berdampak langsung pada produksi di pabrik tersebut. Produksi yang sempat menghabiskan bahan baku sebanyak 250 kilogram kedelai per hari kini hanya memproduksi setengahnya.
Baca juga : Jejak Desa Cipaku yang Hilang
Saat ini hanya dua dari enam tungku yang beroperasi untuk membuat tahu. Bahkan, sering kali hanya satu tungku yang dinyalakan karena sepinya pesanan. Kondisi itu cerminan dari meredupnya kejayaan pabrik tahu UD Sumber Kencana.
Banyak alat yang digunakan seperti rantai besi sebagai tempat cairan kedelai diperas dibiarkan berdebu. Puluhan alat cetak tahu dari kayu jati juga menunggu di pojok ruangan, siap digunakan saat pesanan tahu kembali banyak.
Namun, Riani menolak untuk kalah. Berbekal kepercayaan dari pelanggannya yang tersisa, pabrik tahunya tetap bertahan dengan terus berproduksi berapa pun jumlah pesanan.
Selain memberi penghidupan bagi keluarga serta para pekerja pabrik tahu tersebut, keberadaan pabrik dengan bangunannya yang masih asli itu memberi ruang bagi siapa saja yang berkunjung untuk masuk ke lorong waktu dan menikmati sepenggal kisah tentang Kota Surabaya di masa lalu.