Udara dingin menyelimuti sepanjang perjalanan menanjak menuju bukit tertinggi di tepi kota Takengon, Aceh. Sekitar 15 menit waktu tempuh dari penginapan kami menuju puncak yang diberi nama Puncak Pantan Terong. Kami bukan orang yang pertama tiba di puncak dengan ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut itu. sudah ada wisatawan lokal yang lebih dulu tiba menunggu matahari terbit dari balik perbukitan dengan latar pemandangan kota Takengon lengkap dengan Danau Lut Tawar-nya. Hamparan hijau perkebunan kopi menyelimuti seputaran danau. Perkebunan itu dikelilingi hutan perawan yang biasa disebut sebagai ekosistem Leuser. Begitulah sekilas gambaran keindahan tanah Gayo.
Orang Gayo klasik telah mengakrabi minum sengkewe. Sengkewe atau Siti Kewe berarti kupi alias kopi. Jauh sebelum Belanda menginjakkan kaki ke tanah Gayo tahun 1908. Jadi tak mengherankan jika kopi sudah menjadi satu kesatuan dalam kehidupan masyarakat setempat.
Produksi biji kopi arabika Aceh Tengah dalam setahun mencapai 29.250 ton. Luas tanamnya 48.320 hektar tersebar di empat kabupaten, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Tenggara, dan Gayo Lues. Sekitar 90 persen kopi gayo diekspor. Sisanya dipasarkan di kedai-kedai kopi di Banda Aceh, Takengon, dan kota lain di Indonesia.