Apresiasi Hidup PJ Morton
Musisi dan penulis lagu PJ Morton tampil dalam pertunjukan spesial pada perhelatan Java Jazz Festival, akhir pekan lalu. Dia mengenalkan album terbarunya yang mengapresiasi kehidupan, refleksinya dari masa pandemi.
Sekitar sebulan setelah melepas album barunya, penyanyi dan penulis lagu PJ Morton (41) langsung menjalani tur layaknya musisi pada masa sebelum pandemi. Pergelaran BNI Jakarta International Java Jazz Festival 2022 adalah panggung keempat dalam tur panjang ini. Suasana hidupnya yang sedang terang menyinari penonton di Jakarta, Sabtu (28/5/2022) malam itu.
”Ya, hidup berjalan baik sekarang. Seperti biasanya, mengeluarkan album, menjalani tur, bertemu penonton secara langsung. Ideal bagi musisi seperti kami. Setelah dari Jakarta, kami pulang ke AS dan tur di sana sampai akhir tahun,” kata Morton ketika ditemui di Hotel Borobudur, Jakarta, sekitar delapan jam sebelum tampil.
Ketika bertemu, dia baru kembali dari arena di Jakarta International Expo, Kemayoran, untuk pengecekan teknis suara. Malam sebelumnya, dia baru mendarat dari Melbourne, Australia.
Meski belum genap sehari di Jakarta, Morton terlihat segar dan santai. Kacamata kecoklatannya tak menyembunyikan sorot matanya yang tajam. Tawa lebar sesekali lepas dari wajah berewokannya. Dari gerak-geriknya, terasa Morton adalah pribadi yang hangat dan ramah. Dia sempat menyapa orang-orang yang ada di sekitar lobi hotel.
Kehangatan Morton sebenarnya terpancar lewat lagu-lagunya, termasuk dalam dua albumnya, Gumbo (2017) dan yang teranyar Watch the Sun keluaran 29 April 2022. Album Gumbo, yang merupakan nama makanan sejenis semur, dia keluarkan ketika baru ”pulang kampung” ke Louisiana, New Orleans, setelah merantau di Atlanta dan Los Angeles. Dia adalah putra asli New Orleans, negara bagian yang disebut-sebut sebagai kampungnya musik blues dan jazz.
”Pulang ke New Orleans menginspirasi banyak hal dan memberi perspektif baru. Di sana aku menyadari bahwa hal terbaik yang bisa kulakukan adalah menjadi diri sendiri,” kata Morton dikutip dari laman Grammy.com. Album itu mendapat dua nominasi Piala Grammy untuk kategori Best R&B Album dan Best R&B Song pada tahun 2018.
Piala gramofon emas urung dia bawa pulang tahun itu. Namun, dia telah mengoleksi piala itu ketika masih jadi mahasiswa baru di Morehouse College. Ketika itu, dia satu kampus dan satu apartemen dengan penyanyi IndiaArie. Mereka berkenalan, dan Morton menawarkan lagunya berjudul ”Interested”. Lagu itu memberinya piala Grammy sebagai penulis lagu dan produser.
Ketika itu, pria bernama lahir Paul Morton Jr ini baru memasuki kancah musik dan sekali-sekali menjalani tur. Suatu ketika, dia mendapat telepon untuk mengikuti audisi pencarian kibordis untuk band pop Maroon 5. Itulah pengalaman audisi pertamanya. Morton mengenang, dia gugup bukan main, tetapi permainannya mengesankan Adam Levine dan kawan-kawan.
Maka sejak 2010, Morton menjadi kibordis grup itu ketika manggung dan resmi jadi anggota ketika kibordis resmi mereka mengundurkan diri pada 2012. Kehidupan Morton jadi lebih tergesa mengikuti jadwal Maroon 5. Bersama band ini, namanya makin terkerek. Dia juga sempat ikut manggung di Jakarta bareng band ini.
Keseimbangan
Kesibukannya bareng Maroon 5 ia sebut memberi keseimbangan sempurna dalam hidupnya. Proses kreatifnya sebagai musisi solo sama sekali tak terganggu. ”Di band itu aku berlaku sebagai pemain musik dan vokalis latar. Kreativitas yang mereka butuhkan dariku sebatas itu, tidak sedalam yang aku lakukan ketika mengerjakan karyaku sendiri. Jadi, ini adalah keseimbangan yang tepat,” katanya.
Ya, bersama Maroon 5, Morton jadi makin dikenal, makin sering manggung. Di lain sisi, teman-teman satu bandnya dia sebut sebagai sekumpulan saudara yang siap menyokong apa pun. ”Mereka (Maroon 5) berarti penting buatku. Mereka membawaku mengunjungi tempat-tempat baru dan menggapai mimpiku. Aku mencintai mereka karena mendukungku sejak awal,” ujarnya yang mengaku tak tebersit untuk keluar dari band meski kariernya moncer juga sebagai artis solo.
Musikalitas Morton dan Maroon 5 seperti bertolak belakang. Band itu membawakan musik pop renyah dan cenderung pas untuk berdisko. Sementara lagu-lagu Morton lebih kental bernuansa gospel, R&B, dan soul yang lebih reflektif. Album-album solo Morton seperti mengingatkan pada musik keluaran Motown dengan isu-isu sosial masa kini: migrasi, rasialisme, penembakan warga sipil.
Itu juga masih terdengar pada album terbarunya, Watch the Sun. Dalam album ini, Morton seolah-olah berhasil ”mempertemukan” Marvin Gaye dan Stevie Wonder. Dia berujar, apa yang terdengar di album adalah cerminan dengarannya sejak kecil. Morton lahir di keluarga penginjil sehingga akrab dengan musik gospel ala gereja.
”Aku juga mendengar banyak lagu pop di masa itu, seperti dari Stevie Wonder, Prince, Michael Jackson, dan juga The Beatles, James Brown, Elton John, Billy Joel, Frank Sinatra, Bob Marley. Semua bercampur di sana,” kata Morton. Bisa dimengerti mengapa di musik R&B dan soul racikannya banyak terselip warna lain, seperti swing, rock n roll, rap, dan reggae.
Dalam albumWatch the Sun, Morton kembali berduet bareng Stevie Wonder di lagu ”Be Like Water”. Wonder adalah sosok panutannya. Meski pernah berduet sebelumnya, kesempatan rekaman bareng sang idola membuatnya gentar. ”Kamu enggak akan rela berbuat salah di hadapan Pak Wonder. Tetapi, dia pandai membuat orang yang kerja dengannya merasa nyaman. Dia membebaskanku melakukan hal yang harus kulakukan,” katanya.
Perspektif lain
Album itu mulai direkam sejak April 2021 ketika wabah Covid-19 masih menghantui. Selain di studio tertutup di California, Morton merekam albumnya di ruang terbuka di Louisiana. Semua materi Watch the Sun ditulis Morton pada masa penjarakan sosial pandemi, benar-benar album yang lahir di masa sulit.
”Tetapi, lagu-lagunya bukan tentang pandemi, melainkan lebih tentang menyelami perasaan-perasaan sepi, melihat hidup dengan perspektif masa isolasi. Di album ini ada lagu cinta, masa sulit berhubungan, dan hal-hal kehidupan lain. Seperti nomor ’Be Like Water’ dan ’My Peace’, membicarakan bagaimana kita mengatasi hidup di masa suram. Perspektif itu, menurutku, dimunculkan oleh pengalaman menjalani kuncitara (lockdown),” bebernya.
Atas pengalaman itulah, Morton memberi judul Watch the Sun. Filosofinya, matahari akan terbit dan tenggelam setiap hari, apa pun kondisinya. ”Walau sedang gelap, kita tahu bahwa kelak matahari akan muncul lagi. Itu seperti memberi apresiasi pada hidup, bahwa kita tidak akan berada di masa kelam selamanya,” ujar ayah tiga anak ini.
Sampul album itu bernuansa jingga, seperti cahaya matahari. Lingkaran berwarna jingga juga menjadi ornamen pada layar panggung ketika PJ Morton tampil di hadapan penggemarnya dalam Java Jazz pada Sabtu malam itu. Dia main di aula besar tanpa kursi. Penontonnya cukup ramai, sekitar 2/3 kapasitas aula, meski untuk menonton pertunjukan itu pengunjung Java Jazz harus membayar lagi seharga Rp 450.000 per orang.
Mereka antre sejak setengah jam sebelum jadwal. Morton sepertinya tahu betul itu. Dia mengapresiasi upaya penontonnya. Sepanjang pertunjukan, Morton banyak melontarkan pujian yang membesarkan hati penggemarnya. ”Terima kasih buat kalian yang datang dari jauh dan rela mengantre sebelum sampai sini,” ujarnya.
Aksi panggung
Dia membuka set dengan rangkaian (medley) lagu baru ”Say I’m Sorry” dan ”My Peace”. Morton memainkan organ Rhodes dan kibor Yamaha Motif XF8. Dia didampingi lima pemusik, salah satunya adalah pemain trompet Keyon Harrold, serta dua penyanyi latar. Morton masih memakai kacamata yang sama seperti ketika kami mengobrol di hotel siang sebelumnya.
Paruh awal penampilannya diisi lagu-lagu mengentak, bertempo cepat, seperti ”Ready”, ”Claustrophobic”, dan yang paling rancak ”Sticking to My Guns”. Tensi pertunjukan mengendur sejak lagu ”First Began” dan ”Go thru Your Phone”.
”Di awal pandemi, aku menulis lagu ini dan mengunggahnya di internet. Dan kalian tahu apa yang terjadi? Orang-orang di Indonesia mendengar lagu ini lebih banyak dari negara mana pun. Jadi, aku berkolaborasi dengan penyanyi Indonesia, Vidi Aldiano,” kata Morton tentang lagu ”I Can’t Wait”.
Serunya, bukan Vidi yang dia ajak manggung malam itu, melainkan Yura Yunita. Mereka berdua juga membawakan lagu ”Say So”. Sambutan penonton membahana. Hampir semua lagu Morton diakrabi penonton. Terlihat penyanyi R&B Teddy Adhitya ikut bergoyang dan bernyanyi di barisan penonton.
Setelah nomor ”Everything’s Gonna be Alright” yang riang itu, Morton dan kawan-kawan sempat turun panggung tanpa pamit. Lampu panggung menggelap, tetapi hanya sekejap. Mereka kembali naik dan memainkan lagu pamungkas ”How Deep is Your Love” milik Bee Gees yang ada di album Gumbo.
Lagu itu ibarat lontaran pertanyaan dari Morton seberapa besar cinta yang dimiliki penonton pada malam itu: cinta kepada Morton, cinta kepada diri mereka sendiri, dan cinta pada kehidupan yang mereka punyai. Menyimak lagu itu di era pandemi mereda menguarkan rasa optimisme tersendiri. Sampai jumpa lagi, PJ Morton!
PJ Morton
Lahir: New Orleans, AS, 29 Maret 1981
Album Studio:
- Emotions (2005)
- Walk Alone (2010)
- New Orleans (2013)
- Gumbo (2017)
- Christmas with PJ Morton (2018)
- Paul (2019)
-Gospel According to PJ (2020)
- Watch the Sun (2022)