Tom Aikens dan dapur memiliki ikatan yang kuat. Ditimpa sinar lampu pada dapur terbuka di restoran Tom’s miliknya yang berada di Hotel Langham Jakarta, Tom meneliti deretan piring sambil sesekali membenahi penataan makan
Oleh
RIANA A IBRAHIM
·5 menit baca
Tom Aikens dan dapur memiliki ikatan yang kuat. Ditimpa sinar lampu pada dapur terbuka di restoran Tom’s miliknya yang berada di Hotel Langham, Jakarta, Tom meneliti deretan piring sambil sesekali membenahi penataan makanan yang hendak disajikan. Tak ada kata lelah dalam menjalani jalur mimpinya itu.
Setelah bergelut dengan kemacetan Ibu Kota menjelang berbuka puasa, Jumat (22/4/2022), suasana temaram berpadu alunan musik jazz di sebuah restoran yang berada di lantai 62 hotel mewah itu serasa pengobat penat. Baru saja duduk, veuve du vernay langsung dituangkan. Menyegarkan.
Berurutan makanan pembuka sesuai daftar menu pun silih berganti hadir. Diawali dengan menu cold angel hair caviar, yakni pasta dingin dengan saus bercita rasa gurih ditambah sedikit caviar di atasnya. Ada foie gras torchon dipadu dengan acar plum yang segar dan ampuh menutupi getir hati angsa.
Sepersekian menit, Oxtail Consommé yang dipotong kecil lalu disiram dengan campuran kaldu tulang sapi dan teh hijau menghangatkan perut. Masuk ke hidangan utama dengan sensasi rasa gurih saus vanila dan manis lobster dengan nama menu poached lobster with vanilla butter and thyme.
Masih ada lagi egg yolk raviolo with truffle dan daging wagyu kagoshima A5 yang dimarinasi dengan whiskey yang dinamai whiskey glazed kagoshima A5. Terakhir, rasa legit manis dari single origin coffee panna cotta menutup rangkaian sajian A Culinary Journey with Tom Aikens pada hari pertama itu.
”Sudah selesai? Gimana? Apa yang kurang?” kata Tom akrab ketika menyambangi satu per satu meja pengunjung.
Restoran mewah bergaya arsitektur Eropa dengan dekorasi kursi berlapis kulit, lampu gantung, langit-langit tinggi dengan dapur terbuka marrone, hingga lantai mosaik ini dibuka pada September 2021. Menggenapi perjalanan kuliner Tom menjejak negara di Asia.
Baginya, Indonesia memiliki tantangan tersendiri. ”Bisa dibilang tersulit di sini. Karena orang Indonesia khasnya makanan yang berbumbu. Bagi orang Indonesia masih biasa saja, padahal saya sudah kepedasan, ha-ha-ha,” ungkap koki dengan dua bintang Michelin ini.
Karena itu, Tom sangat berhati-hati dalam menyusun menu yang akan disuguhkan. Bahkan, untuk acara khusus ini, Tom melakukan tes rasa terlebih dahulu melalui tim juru masak yang membantunya. Maklum saja, menu yang ditawarkan bernuansa Inggris-Perancis yang memang lekat dengan kehidupannya.
”Saya pinjam indera perasa mereka untuk menentukan apakah ini sudah pas rasanya? Kalau hanya mengikuti saya, khawatir malah enggak masuk, kan. Enggak boleh egois juga. Harus mau mendengar. Toh, tidak mengubah secara garis besarnya,” tutur pria yang kini memimpin lima restoran di London, Abu Dhabi, dan Jakarta ini.
Membangun mimpi
Pengalaman sejak kecil bersama Robert, saudara kembarnya, membekas dan menjadi petunjuk bagi mimpinya. Sejak usia 8 tahun, ia dan Robert kerap menghabiskan waktu membantu ibunya memasak di dapur. Sesungguhnya, ini dilakukan ibunya agar kedua anak kembarnya teralihkan dari mengacak-acak rumah.
Latar belakang ayah dan kakeknya yang mengelola bisnis anggur di Norwich juga makin mendekatkannya pada dunia kuliner. Hingga menginjak usia 13 tahun, Tom memutuskan untuk mengambil jenjang pendidikan yang berkaitan dengan memasak. Sudah tentu sempat ditentang kedua orangtuanya.
Namun, fakta bahwa dirinya tak menonjol di bidang akademis membuat kedua orangtuanya berpikir ulang dan menyetujuinya. Pada usia ke-16, ia baru memulainya di City College Norwich. Empat tahun berlalu, Tom lulus dan memperoleh pekerjaan pertama di Cavalier’s di bawah David Cavalier.
Sejak itu, perjalanannya terbuka. Dari La Tante Claire, Pied à Terre, hingga bekerja pada Chef Joel Robuchon di Paris yang membawa banyak pelajaran baginya. ”Ketika di Paris itu, kerja dari pukul 06.00 hingga 02.00. Hanya istirahat sekitar 20 menit untuk kabur sebentar isi tenaga dengan makan es krim,” ungkapnya.
Tak ada yang sia-sia memang. Kerja kerasnya membuahkan bintang Michelin pada 1997 lewat Pied à Terre dan pada 2021 lewat Muse, restoran miliknya di London. Bintang Michelin ini dikenal sebagai penghargaan tertinggi dalam bidang kuliner. Tidak mudah mendapatkannya karena cita rasanya harus luar biasa dan terus terjaga dari tahun ke tahun.
Meski mendulang sukses, Tom pernah berhadapan dengan kesulitan yang membuatnya akhirnya memutuskan mundur dari sebuah restoran setelah terjadi kecelakaan pada rekannya yang diduga diakibatkan olehnya. Tom juga harus merelakan sejumlah restoran yang dipimpinnya tutup karena kendala finansial.
Pandemi yang dirasakan juga berdampak pada bisnisnya. Padahal, baru beberapa bulan sebelum kebijakan lockdown, Tom membuka Muse di London. Sempat terhenti, Muse kembali beroperasi dan justru mencapai puncaknya dengan memperoleh Michelin. Sementara itu, Market at Edition di Abu Dhabi yang fokus pada makanan sehat juga makin diburu.
”Pandemi ini memang mengubah banyak orang. Preferensi orang juga beralih. Ada yang berubah signifikan. Dunia kuliner sangat terdampak dan butuh adaptasi besar-besaran. Dari jenis dan pilihan makan, banyak orang yang tak lagi mempunyai selera yang sama sebelum pandemi,” tuturnya.
Menyinggung makanan sehat, tren ini sebetulnya sudah bergulir sebelum pandemi. Akan tetapi, Tom melihat kecenderungan peningkatan permintaan pascapandemi. Bahkan, tak sebatas pada makanan yang tersaji. Konsumen menjadi lebih detail dan peka dengan apa yang dimakannya, asalnya, hingga nantinya akan seperti apa.
”Mereka ingin tahu proses pengolahannya, pakai pestisida atau tidak, ramah lingkungan atau tidak, dan banyak hal. Tentu kesadaran semacam ini bagus. Tapi, tidak mudah juga bagi pelaku industri yang berjejaring. Belum lagi terkait limbah makanan. Suka tidak suka, restoran menyumbang limbah yang cukup besar dari makanan. Ini tentu perlu dipikirkan bersama,” ujar ayah dari dua anak ini.
Memang butuh waktu bertahun-tahun untuk mengubah kebiasaan. Namun, Tom yakin, itu akan tercapai dengan berkaca pada kondisi pandemi yang memaksa orang berubah dengan cepat. Seperti juga dengan perjalanannya yang memerlukan beberapa dekade untuk mencapai mimpi dan mempertahankannya hingga melintas benua.