Alia dan Ensiklopedia Diri
Alia Swastika menjadi seperti anak burung yang terus tumbuh dan makin bersayap kuat. Ia pun mengepakkan sayapnya menjadi kurator di sejumlah pameran seni rupa internasional.

Alia Swastika
Setiap orang berhak membuat ensiklopedia diri, ensiklopedia yang berisi pengetahuan dari dalam diri masing-masing. Ini pedoman yang berkumandang di dalam benak Alia Swastika (42) tatkala menjalankan profesi kurator seni rupa kontemporer berlandaskan kekuatan pesan kekinian.
Dalam rentang enam hingga tujuh tahun terakhir, Alia menemukan cara kerja baru tersebut. Dulu, menjadi kurator seni rupa bertolak dari pengetahuan dirinya tentang seni rupa. Alia bermain dengan definisi-definisi seni yang ada, menyeleksi seniman dengan karya masing-masing, berusaha menaati dan mengembangkan kanon yang tersedia.
”Tidak ada peristiwa spesifik yang melatari pemahaman baru tentang semua orang berhak membuat ensiklopedia diri. Ini sebuah kesadaran baru yang saya peroleh setelah menjalankan kurasi pameran dan bienal seni rupa di Yogyakarta,” ujar Alia ketika dijumpai di Studio Lohjinawi yang berada di Dusun Ngentak, Bangunjiwo, Bantul, DI Yogyakarta, Sabtu (9/4/2022).
Studio Lohjinawi dibangun Alia di atas tanah seluas 600 meter persegi. Saat ini memang belum selesai sepenuhnya. Di situ Alia berkeinginan menyediakan sebuah ruang residensi, terutama bagi koleganya yang berasal dari Eropa, karena banyak yang ingin merasakan tinggal di pedesaan Yogyakarta.
Alia menjadi kurator seni rupa kontemporer berbasis pendidikan di Jurusan Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), 1998-2002. Ia gemar menulis, sekaligus untuk mempertanyakan banyak hal yang belum diperbincangkan secara tekstual. Hingga kemudian dia berkecimpung di dunia penulisan tentang seni rupa kontemporer, seni yang hingga kini disepakati tidak ada pagar yang membatasinya.

Alia Swastika
Ketertarikan Alia dipicu hasrat membuka ruang-ruang percakapan baru. Itu terbebas dari percakapan bentuk meski di setiap pameran harus berujung kepada suguhan bentuk.
Alia mengisahkan masa kecilnya. Ia menyukai tontonan pertunjukan seperti seni ketoprak. Kemudian di masa studi di SMA Negeri 3 Yogyakarta, kebetulan sekolah itu dekat dengan ruang pamer Bentara Budaya Yogyakarta.
”Di Bentara Budaya itulah saya mulai tertarik melihat pameran-pameran seni rupa,” ujar Alia yang lahir di Yogyakarta, 17 Agustus 1980.
Alia kemudian menempuh kuliah yang banyak menyentuh persoalan komunikasi. Hobi kepenulisan Alia makin menemukan jalan. Setahun sebelum lulus kuliah pada tahun 2001, Alia menjadi penulis kontributor untuk suatu majalah, Latitudes Magazines, yang memfokuskan persoalan sosiokultural.
Dilanjutkan pada 2001 hingga 2004, Alia menjadi editor untuk media bernama Kunci, yang diproduksi oleh suatu lembaga pusat studi kebudayaan di Yogyakarta. Antara 2003 dan 2005 Alia menjadi editor media Surat yang diterbitkan Yayasan Seni Cemeti di Yogyakarta.
Di Cemeti inilah Alia mulai bersentuhan langsung dengan beberapa seniman. Itu terjadi ketika ia ditunjuk menjadi manajer artistik yayasan tersebut pada 2004 hingga 2008.
Alia pun memulai karier sebagai kurator seni rupa kontemporer. Ia tidak berpikir jelimet soal kategori seni rupa kontemporer. Ia berpatokan pada makna kontemporer terikat peristiwa sekarang yang bertalian dengan aktivitas yang sedang berlangsung. Di situ termaktub dunia gagasan dan mengandung dunia pesan, baik dari seseorang maupun secara kolektif atau komunal. Alia terus mengulik keyakinannya itu.
Pameran internasional
Alia menjadi seperti anak burung yang terus tumbuh dan makin bersayap kuat. Ia pun mengepakkan sayapnya menjadi kurator di sejumlah pameran seni rupa internasional.

Alia Swastika
Paling awal pada tahun 2006 Alia menjadi kurator pameran seniman Indonesia di Korea Selatan untuk BITMAP Digital Photography Projects, LOOP. Di tahun yang sama, ia menjadi kurator pameran Going Digital di Utrecht, Belanda.
Ketika itu pula antara 2006 dan 2007 bersama Mella Jaarsma, seniman asal Belanda yang menetap di Yogyakarta, Alia menjadi kurator untuk pameran The Past The Forgotten Time. Ini sebuah pameran berantai yang digelar di Den Haag, Amsterdam, Shanghai, Jakarta, Yogyakarta, dan Semarang.
Alia membuka banyak pintu. Kerja kuratorial pameran seni rupa internasional terus berlanjut, seperti pameran Manifesto of the New Aesthetics: Seven Artists from Indonesia di Institute of Contemporary Arts, Lasalle College of the Arts, Singapore (2010).
Pameran Transfiguration: New Indonesian Mythologies di Louis Vuitton Cultural Espace, Paris (2011), Alia menjadi kurator konsultan. Pada tahun 2012, ia menjadi kurator untuk Art Dubai 2012: Focus On Indonesia di Dubai, Uni Emirat Arab. Setahun kemudian, ia menjadi kurator pameran Lost and Found: Indonesian Artists in K-Space di Seoul, Korea Selatan. Masih ada beberapa lagi kerja kuratorial yang dilakoni Alia.
Praktik kerja kuratorial untuk pameran seni rupa kontemporer, baik di luar negeri maupun di Tanah Air, terus ditekuninya. Ia tergerak dengan wacana berbasis riset.
Karena itulah Alia terlibat di beberapa kegiatan riset pula. Di antaranya, tahun 2007, Alia meriset tema pemberdayaan lima perempuan perupa Indonesia yang diinisiasi Yayasan Kelola. Riset ini berlangsung hingga 2011.
Pada bulan Oktober hingga Desember 2007, Alia meriset peralihan ideologi dan estetika seniman generasi muda pasca-1998. Sebelumnya, antara April dan Oktober, Alia meriset proses kreatif dua perempuan perupa, Tya Setyawati dan Shinta Febriany. Ini merupakan rangkaian riset pemberdayaan perempuan perupa dari Yayasan Kelola.
Tidak hanya di dalam negeri, Alia juga menjalani kegiatan lain ataupun riset hibah di luar negeri. Beberapa di antaranya, pada 2005 ia tinggal di Berlin, Jerman, selama dua bulan untuk mengembangkan kemampuan organisasi di bidang seni. Kegiatan ini diprakarsai Asia Europe Foundation.
Pada 2006, selama empat bulan, Alia menempuh observasi, riset, dan membangun jejaring di Amerika Serikat. Kegiatan ini diprakarsai Asian Cultural Council. Kemudian riset di Shanghai, China, ditempuh Alia pada 2008 dengan dana hibah Prince Clause Funds.

Alia Swastika
Pada 2009, lembaga Singapore International Research memberi hibah riset bagi Alia. Ia meriset Galeri Nasional Singapura. Pernah pula selama tiga bulan tinggal di London, Inggris, pada 2016 untuk meriset seni. Di London didanai Delfina Foundation and SAM Art Fund Indonesia.
Alia kemudian disibukkan di forum-forum seminar. Tidak jarang, ia jadi pembicara di suatu seminar internasional.
Pada 2005, ia mempresentasikan gagasan di seminar Fly with Me to Another World di Chiang Mai, Thailand. Pada tahun 2010, Alia terlibat konferensi internasional seni rupa kontemporer di Kuandu Biennale, Taiwan National University of the Arts, Taiwan.
Pada 2014, Alia terlibat di Biennale Meetings Forum di ZKM Museum, Karlsruhe, Jerman. Dilanjutkan di Liverpool, Inggris, di tahun yang sama, ia mengikuti Biennale Summit di Liverpool Biennale.
Alia beberapa kali juga diundang untuk memberikan ceramah tentang seni rupa kontemporer. Pada 2016, ia memberi ceramah di Sharjah Biennale, Uni Emirat Arab. Kemudian berikutnya ceramah untuk Sherman Contemporary Art Foundation di Sydney, Australia.
Pada tahun 2017, Alia diundang untuk memberikan ceramah di Singapore Biennale. Pada 2018, ia memberikan ceramah di Fakultas Seni Visual dan Kontemporer, Universitas Melbourne, di Melbourne, Australia.
Alia benar-benar seperti burung yang terbang dengan sayapnya yang kuat. Ia tidak pernah berdiam diri.
Agen pengetahuan
Ada hal menarik dalam perbincangan bersama Alia. Ia sudah menempuh banyak pengalaman terkait seni rupa kontemporer. Akan tetapi, Alia menyatakan, dirinya bukan sebagai agen pengetahuan.
Agen pengetahuan yang sesungguhnya justru mereka yang berada di luar dirinya. Mereka yang berada di tengah masyarakat, berada di antara para pelaku seni atau siapa pun yang dipenuhi dunia gagasan dan bisa ditarik pesan atau makna untuk kekinian. Ada hal yang kita butuhkan, yakni rekontekstualisasi atau pemaknaan baru.
”Di situlah semuanya jadi berhak untuk menciptakan ensiklopedia dari dalam diri,” ujar Alia, yang sudah membukukan perjalanan karier serta catatan kuratorialnya.
Beberapa buku terbaru di antaranya berjudul Di Balik Kubus Putih (2021); Seni Kontemporer, Ingatan, dan Sejarah (2021), dan Membaca Praktik Negosiasi Seniman Perempuan dan Politik Gender Orde Baru (2019).

Alia Swastika
Di tengah perbincangan, Alia menyinggung pameran yang sedang berlangsung dan ia kurasi. Pameran itu diberi tajuk ”Pepunden”, digelar di Galeri Biasa, Bali. Alia menampilkan lukisan-lukisan bercorak tradisi Kamasan Bali karya Mangku Muriati (56) asal Desa Kamasan, Bali. Kemudian beberapa keris yang dibuat Empu Ika Arista (32) asal Sumenep, Madura.
Mangku memiliki kepiawaian menghasilkan karya seni lukis tradisional Kamasan. Pada umumnya, peran perempuan dalam tradisi Kamasan diserahi satu bagian dari seluruh proses kerja. Misalnya, mencelup warna kain saja.
Mangku menerobos tradisi itu. Ia menguasai dan menjalani proses dari awal hingga akhir untuk menghasilkan karya tradisi seni Kamasan.
”Mangku berhak menciptakan ensiklopedia diri. Ika Arista sebagai perempuan empu pembuat keris di Madura juga berhak,” ujar Alia.
Ika Arista gemar membikin pusaka di Madura. Tidak hanya keris, Ika juga membuat pusaka lain, seperti tombak atau badik. Ada pesan ketangguhan dari dua sosok perempuan ini.
Tidak hanya Mangku dan Ika Arista, Alia sudah membuka jalan bagi banyak seniman untuk mencipta ensiklopedia diri. Ini yang disuguhkan Alia kepada masyarakat. Ia berusaha menyembulkan pesan-pesan tersembunyi yang bisa berguna bagi masyarakat kekinian.
Alia Swastika
Lahir: Yogyakarta, 17 Agustus 1980
Pendidikan: S-1 Jurusan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Pekerjaan:
- Direktur Program Ark Galerie, Yogyakarta
- Direktur Study on Art Practices (SOAP), Yogyakarta
- Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta
Organisasi:
- International Biennial Association (2013-2016)
- Koalisi Seni Indonesia (2013-sekarang)
- Cemeti Art House, Yogyakarta (-sekarang)
- Teater Garasi, Performance Institute, Yogyakarta (2016-sekarang)