Felix Nesi, Provokasi Si Provokator
Felix Nesi, sastrawan asal Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur melakukan napak tilas soal kiprahnya di dunia sastra. Penulis ini berharap karyanya bisa "memprovokasi" dunia agar menjadi lebih baik
Semua berawal dari buku. Candu terhadap membaca membawakan Felix Nesi (33) mendapat gelar sebagai sastrawan muda dari Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Di setiap goresan penanya, laki-laki ini menyampaikan ihwal tabu dengan apa adanya.
”Saya sedang pinjam studio teman di Atambua karena di rumah jaringannya jelek. Karena tahu malam ini mau Zoom jadi saya berangkat kemarin dari Bitauni, sekitar 60 kilometer dari Atambua,” kata Felix melalui sambungan video dari Atambua, Belu, NTT, Rabu (16/2/2022) malam.
Felix muncul di depan layar sedikit terlambat pada hari itu. Selain masalah jaringan, dirinya juga masih mengutak-atik pengaturan pada komputer di rumah temannya. Selang beberapa menit, ia akhirnya menyapa.
Tampil apa adanya, Felix yang mengenakan baju kaos hijau muda terlihat berada di sebuah kamar tidur. Rambut kribo yang mengembang itu sedikit kempes lantaran tertekan headset putih di telinga. Temannya terlihat berbaring di tempat tidur.
Penulis yang telah merilis tiga buku ini bercerita dengan santai tentang kehidupannya selama dua jam. Lebih lama 60 menit dari kesepakatan awal. Banyak peristiwa berkesan dibahas, termasuk soal Felix yang baru merilis buku puisi perdana, Kita Pernah Saling Mencinta (2021).
Buku itu merangkum perjalanan Felix di dunia kepenyairan selama 2008-2019. Sebuah karya personal, laki-laki ini membahas potret geografis Pulau Timor, isu sosial, keluarga, dan manusia.
Karya Felix bisa dibilang kritis, blak-blakan, sekaligus vulgar. Tendensi itu sudah nampak dalam buku kumpulan cerpen Usaha Membunuh Sepi (2016) dan novel Orang-Orang Oetimu (2019). Buku terakhir mengganjar Felix sebagai pemenang dalam Sayembara Menulis Novel oleh Dewan Kesenian Jakarta, 2018.
Felix bukanlah seorang sadis, melainkan ”provokator”. Dia membeberkan beragam perkara politik, ekonomi, dan sosial yang mengganjal hati di sekitarnya. Permasalahan pada manusia, tanah kelahiran, masyarakat adat, dan kejadian asing yang menimpa mereka menjadi tema besar tulisan.
”Saya tidak menulis sesuatu yang palsu dan lebih suka menulis hal nyata, sepahit apa pun itu. Dan kalau mau mengubah tulisan saya, ayo ubah di dunia nyata,” tutur ayah satu anak ini.
Bicara tentang Orang-Orang Oetimu, novel yang digarap sejak 2016 ini mengisahkan tentang kolonialisme, aneksasi, dan penjajahan yang memberi warisan kekerasan sehingga berdampak pada kehidupan sosial masyarakat Oetimu, sebuah kampung kecil di pelosok Pulau Timor.
Potret kelam kehidupan teramu apik dalam buku itu.Kelakuan bejat manusia, kematian, serta penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga pemerintahan dan agama menjadi fokus utama. Felix pun menulis perihal kekerasan seksual, seksualitas, dan seks tanpa sungkan.
Inspirasi novel itu tidak jauh. Felix tinggal di dekat Kefamenanu, Timor Tengah Utara. Era akhir 1990-an adalah masa pengungsi dari Timor Leste (dulu Timor Timur) membanjiri Kota Atambua, Kefamenanu, Soe, dan Kupang. Kefamenanu berjarak sekitar 200 kilometer lebih dari Dili, ibu kota Timor Leste.
Ia melihat langsung krisis politik dan kemanusiaan yang terjadi. ”Saya merasakan ketakutan pada tahun-tahun itu. Kemaksiatan, tentara buat rusuh, pengungsi, dan polisi rusuh. Saya juga mendengar banyak cerita kekerasan,” ujar penulis dalam seri monolog Di Tepi Sejarah (2021) ini.
Orang-Orang Oetimu turut menyelipkan iktirad Felix pada gereja sebagai lembaga agama berpengaruh di daratan Timor. Di saat negara tak bisa diharapkan, Felix menyoroti peran lembaga agama yang seharusnya bisa mengayomi masyarakat, termasuk mengenai akuntabilitas dan transparansi.
Suka mengarang
Nesam, sebuah kampung kecil dengan jarak sekitar 30 km dari Kefamenanu, TTU. Di kampung itulah, Felix lahir dengan privilese melek literasi. Ayahnya, Nesi Ferdinandus, seorang penyuluh pertanian. Sementara ibunya, Sabina Sa’u, adalah guru agama di sekolah dasar. Buku sudah menjadi ”makanan” sehari-hari mereka.
Anak ketiga dari enam bersaudara ini belajar membaca dari dua kakak lelakinya. Buku cerita, buku agama bergambar, hingga Alkitab dilahapnya. Felix bisa membaca jauh sebelum mengenyam pendidikan formal.
”Di rumah, saya anak yang paling lemah. Tidak bisa main bola seperti saudara-saudara saya, jadi saya lebih sering membaca. Untuk mengikat sapi saja ikatan saya tidak kuat. Sampai sekarang kalau kumpul di rumah, pekerjaan mengetik kasih ke saya dan mencari kayu biar mereka,” ujarnya.
Felix teringat, dirinya sangat menyukai novel serial Winnetou karya Karl May tentang suku Apache. Felix yang masih bocah bahkan gantian dengan kakak-kakaknya mencuri buku-buku ini dari perpustakaan di sekolah. Felix juga membaca buku Ernest Hemingway dan Marah Roesli.
Sampai Kelas 5 di SD Inpres Nesam, Felix baru mengerti tentang konsep buku kategori fiksi dan nonfiksi. Rasa marah sempat mampir di dadanya karena merasa ditipu para penulis itu. Namun, dirinya tak lama mengikuti jejak mereka. Felix mulai mengarang kisahnya sendiri menggunakan pena dan kertas, kebiasaan yang masih dilakukannya hingga sekarang.
Felix menulis cerita pendek untuk dibaca teman-temannya di sekolah. Berbagai kisah lahir dari halaman tengah buku tulisnya. ”Mereka kritikus pertama saya,” kenangnya ini sembari tersenyum geli.
Rutinitas itu berlanjut hingga SMP dan SMA. Di Seminari SMA Lalian, Atambua, Felix mulai terbiasa untuk mendokumentasikan karyanya. Maklum, waktu itu pembaca Resistance: A Childhood Fighting For East Timor (2008) ini aktif di kegiatan membuat majalah dinding sekolah.
Laki-laki ini kemudian berkuliah di Universitas Merdeka Malang, Jawa Timur. Jurusan psikologi dipilihnya. Felix yang lugu bercita-cita menjadi mentalis seperti Deddy Corbuzier dan Romy Rafael. Meskipun impian itu kandas, ilmu psikologi ini nantinya berguna saat dia membuat penokohan cerita.
Sastra masih menjadi sekadar kegiatan selingan bagi Felix di masa awal perkuliahan. Perspektif ini berubah setelah dirinya membaca berita tentang kiprah Ishak Sonlai dan Mario F Lawi di dunia sastra. Ishak adalah teman mainnya semasa bocah. Dari mereka, ia tersadar bahwa ada orang yang eksis dan hidup untuk sastra.
”Bukan soal kita bisa hidup dari sastra. Tapi sastra ternyata ada kehidupan,” tutur Felix, yang kemudian bergabung dalam Komunitas Pelangi Sastra Malang. Kiprah seriusnya di dunia sastra akhirnya bergulir hingga sekarang.
Onak dan duri
Perjalanan Felix di dunia sastra tidak miskin rintangan. Ada onak dan duri. Sejak kecil, harapan keluarga telah membebaninya untuk menjadi pastor. Banyak anggota keluarga besar lain telah memikul gelar terkemuka itu. Jabatan ini juga bergengsi di mata masyarakat.
Sebelum kuliah di Malang, Felix sempat mencicipi pendidikan calon imam di Salatiga, Jawa Tengah, tahun 2009. Di masa itu, perbincangan dengan salah satu pastor pembimbing membuka mata tentang kegalauan tujuan hidupnya. Ia akhirnya keluar demi meniti jalannya sendiri.
Kekecewaan orangtua harus ia tanggung. ”Itu pemberontakan pertama menjadi diri sendiri. Setelah keluar dari sana, saya tidak takut lagi karena pernah membuat keputusan sebesar itu dan selanjutnya akan mendengarkan kata hati,” katanya.
Niatan untuk selalu jujur itu terlihat jelas dalam tulisannya. Di dunia sastra, karya-karya Felix yang blak-blakan diapresiasi, walau kadang dinilai terlalu kritis. Hal ini lantaran ia tidak sungkan menyentil isu sensitif atau topik tabu.
Kecenderungan lugas itu pun terbawa ke dunia nyata yang tak jarang membawa masalah. Tahun 2020, Felix sempat berseteru dengan gereja terkait seorang pastor bermasalah di Bitauni. Untuk pertama kalinya, dia sendirian tanpa dukungan, kecuali dari dunia maya. Pelajaran soal imbas menuntut perubahan dipetik Felix.
Lalu, bagaimana tanggapannya terkait gelar sastrawan muda asal NTT? Felix justru melihat gelar itu sebagai beban karena meningkatkan ekspektasi orang atas karyanya. Beban itu bisa berujung pada penyensoran diri dalam berkarya. Tidak peduli, kata Felix.
Baca juga:Jejak Bunga di Tepi Jalan
Ada kalanya, Felix melanjutkan, beberapa kritik tidak bisa disampaikan secara terang-terangan. Sastra adalah sarana untuk menyampaikan suatu narasi dengan provokasi yang lebih pelan, tetapi halus. Karena itu, hanya satu harapan pemuda ini.
”Saya berharap tulisan saya bisa memprovokasikan untuk membuat perubahan. Karena tulisan saya berusaha memotret ketidakadilan, mudah-mudahan orang yang baca terbuka matanya ada ketidakadilan,” tutur Felix diiringi tawa kecil.
Felix Kandidus Nesi
Lahir: Nesam, Timor Tengah Utara, NTT, 30 Agustus 1988
Pekerjaan:
- Penulis
- Redaktur Cerpen di bacapetra.co
- Pendiri komunitas budaya, Hitsane (2020)
- Pendiri usaha minuman keras, Tuo Kolo Sopi Timor (2020)
- Pendiri Bersama komunitas sastra, Leko (2017)
Pendidikan:
- Fakultas Psikologi Universitas Merdeka Malang (2010-2017)
- Novisiat Congregatio Missionariorum a Sacra Familia (MSF), Salatiga (2009)
- Seminari SMA Lalian, Atambua (2004-2008)
Karya:
- Kita Pernah Saling Mencinta (2021)
- Orang-Orang Oetimu (2019)
- Usaha Membunuh Sepi (2016)
Keluarga: Octaviana Berek (istri) dan Edgar Anarki Nesi (anak)
Penghargaan:
- Iowa International Writing Program, USA, 2022
- Penghargaan Sastra Kategori Novel Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), 2021
- Finalis Kusala Sastra Khatulistiwa, 2020
- Residensi Penulis Indonesia di Universitas Leiden, 2019
- Pemenang I Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta, 2018
- Emerging Writers Makassar International Writers Festival, 2015