Perjalanan Panjang Keluarga Kecil
Intan Anggita Pratiwie urung ke Paris Fashion Week 2021 karena regulasi terkait Covid-19. Sebagai gantinya, bersama keluarganya, ia bertualang menyusuri jalan darat hingga Sumba menggali kekayaan wastra Nusantara.
Pekan ini, Intan Anggita Pratiwie (35) bersama keluarganya; suami Aria Anggadwipa (38) dan putranya, Irama Lautan Teduh (4), sedang rehat di sebuah penginapan di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Keluarga kecil bernama Subo Family itu telah menempuh jarak lebih kurang 3.500 kilometer dari Jakarta selama 40 hari menunggang mobil VW Caravelle T4 berjenis van yang telah dimodifikasi sedemikian rupa.
”Rute sebelumnya di daerah Sumbawa (Nusa Tenggara Barat) itu rute yang rough (keras). Banyak ketegangan yang kami hadapi; tempat istirahat yang kurang nyaman, sampai air untuk bikin kopi yang rasanya ajaib, juga hal-hal kecil lainnya yang melelahkan. Jadi, sekarang istirahat dulu di Labuan Bajo,” kata Intan melalui sambungan video pada Rabu (9/2/2022). Rencana menyeberangi Waingapu hingga ke Sumba bisa ditunda dulu.
Jadwal wawancara gampang saja disepakati. Siang hari, ketika biasanya sedang mengaspal, keluarga itu justru lagi bersantai di penginapan. Intan, sang perancang busana daur ulang itu, terlihat rileks dengan kaus tanpa lengan dan celana pendek, serta riasan tipis-tipis. Begitu juga dengan Aria dan Teduh yang berkaus saja. Obrolan yang direncanakan 90 menit memanjang sampai dua jam lebih.
Labuan Bajo, kota pesisir dengan rona senja romantis itu, sarat nostalgia bagi Intan dan Aria. Di kota itulah pertama kali mereka bertemu sekitar 10 tahun silam. Di kota persinggahan menuju Pulau Komodo itu pula dulu Intan berkenalan dengan Stefan ”Papa Jo” Rafael, tokoh setempat yang menggerakkan warga mengumpulkan sampah dan mendaur ulangnya. Salah satu hasil daur ulang sampah Papa Jo dan kawan-kawannya adalah penambat kapal atau perahu di pesisir pantai yang ramah terumbu karang.
Perihal daur ulang sampah ini yang kelak menginspirasi Intan. Belakangan, Intan bangga dengan predikat sebagai seniman daur ulang. Jika Papa Jo mengolah sampah apa pun menjadi penambat perahu, Intan mengolah kain atau pakaian bekas menjadi ”baru”. Bentuknya bisa baju luaran (outer), karpet rajut, atau pajangan dinding.
Aktivitas daur ulang ini bertalian erat dengan perjalanan darat Intan sekeluarga. Semenjak rajin mencuit di pelantar Twitter mulai 2009, Intan banyak terlibat dalam kegiatan sosial. Beberapa di antaranya penggalangan dana Koin Sastra bagi Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin; Sahabat Lokananta untuk mengaktifkan kembali perusahaan rekaman itu; dan advokasi perkebunan masyarakat Save Aru bersama mendiang Glenn Fredly.
Berbarengan dengan kegiatan itu, Intan dan Aria menjalankan proyek pribadi Menuju Timur atau Sight from the East dalam bentuk situs internet. Situs itu berisi foto dan cerita inspiratif yang mereka jumpai di bagian timur Nusantara. Untuk mendanai situs itu, Intan membuat jenama pakaian bernama sama. Produknya adalah pakaian rancangan Intan yang memadukan bahan denim bekas dengan kain tenun timur Indonesia.
Untuk mengumpulkan kain bekas, Intan menerima sumbangan pakaian bekas. Sebagian ia donasikan melalui Yayasan Salur Indonesia. Sisanya, yang tidak layak pakai, diolah lagi menjadi produk baru. Nah, sebagian besar baju sumbangan itu sudah tak pantas pakai sehingga menumpuk berton-ton di gudang.
Bersama penyanyi Andien Aisyah, Intan mengganti nama yayasan itu menjadi Setali sejak 2018. Setali lebih fokus pada pemanfaatan kain-kain dari pakaian bekas tak layak pakai itu. Intan lebih leluasa lagi memadukan aneka jenis kain; satu gaun, misalnya, bisa terdiri dari bahan kaus, denim, dan bekas seprai sekaligus.
Dengan Setali, Intan menjalin kerja sama dengan lembaga dan merek ternama. Misalnya, Setali menjalankan kampanye slow fashion bersama Uniqlo, yang justru rajin mengganti tema pakaian mereka. Dia juga merancang baju daur ulang untuk Greenpeace. Setali juga menangani limbah kain dari merek tas Export menjadi barang berguna seperti celemek.
Kiprah Intan di kancah busana daur ulang itu membuatnya dipanggil oleh Fashion Division ke ajang Paris Fashion Week 2021 di Perancis, yang karena pandemi Covid-19 digelar di akhir Februari 2022. Dia bungah sekali. Intan yang besar di Tasikmalaya, Jawa Barat, ini tak pernah bermimpi bisa memamerkan rancangan busananya di Perancis. Terlebih lagi, dia tak bercita-cita menjadi perancang busana, tetapi pengacara artis—dia kuliah di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan di Bandung.
Bermula dari khayalan, Intan sekeluarga berniat ke Perancis menempuh jalan darat. Tujuannya ingin mempelajari, juga berbagi wawasan soal wastra di negara yang bakal disinggahi. Tato ”cultural provocateur” alias “provokator kebudayaan” di punggungnya bakal makin bermakna. Mobil van VW Caravelle T4 produksi 1998 yang telah menjadi tunggangan keluarga sejak 2018 siap menjelajah jauh.
Namun, pandemi Covid-19 membelokkan harapan itu meski dia sudah divaksin. Dua dosis vaksin Sinovac, seperti kebanyakan jatah warga jelata Indonesia, tak berterima di Perancis. Khayalannya dipupuskan ”politik vaksin”.
”Ternyata banyak hal yang harus dipikirkan untuk travelling ke luar negeri di masa ini. Karantina tidak murah. Kalaupun tak berbayar, anak umur empat tahun lebih rentan di karantina,” kata Intan Desember lalu ketika dia baru saja membatalkan keberangkatan ke pusat mode dunia itu.
Ganti destinasi
Perjalanan menuju barat urung terlaksana. Padahal, mobil yang dulu dibeli Rp 60 juta itu sudah disiapkan sedemikian rupa. Mesin, kaki-kaki, dan sistem transmisi sudah tokcer. Interiornya dipermak selama tiga bulan oleh Baze Luxury Bus dan Ikea menjadi sebuah camper van. Destinasi diubah dari barat menuju timur Indonesia. Sumba di Nusa Tenggara Timur yang sohor dengan keelokan bentang alam dan kain tenunnya jadi garis finis.
Tanggal 1 Januari 2022 mereka bertolak dari rumah yang diberi nama Subo Family di daerah Cipete, Jakarta Selatan. Bagian bawah tempat tinggal itu adalah butik memajang produk Setali, sekaligus terbuka untuk publik terbatas yang mau mendengarkan musik-musik piringan hitam koleksi pasangan ini—sebagian koleksinya dijual. Intan dan Aria adalah disjoki yang menamakan diri Dua Sejoli Selekta, yang pernah punya toko piringan hitam Sub Store di Pasar Santa, Jakarta Selatan; Pasar Cikapundung, Bandung, juga di Tokyo, Jepang.
“Rumah itu seperti punya daya magisnya tersendiri. Beberapa pihak yang mendukung perjalanan kami ini bertemunya di Subo House,” ujarnya. Perjalanan mereka juga disokong Traveloka dan ASDP Indonesia Ferry.
Keberangkatan mereka terdokumentasikan di akun Instagram Subo Family Expedition. Responsnya bikin hati Intan menghangat. ”Banyak banget yang minta didatangi,” ujar Intan yang ”melek” literasi sastra dan berteater sejak SMP di Tasikmalaya ini. Di persinggahan, Intan tak segan memberi oleh-oleh wastra rancangannya.
Mereka juga menghibur pengunjung dengan memutarkan piringan hitam lagu-lagu lawas Indonesia. Karena Intan berkiprah di banyak bidang, maka orang-orang yang datang juga macam-macam. ”Setiap berhenti jadi seperti pertemuan beragam komunitas; ada komunitas wastra, musik, media sosial. Mereka jadi saling kenal,” katanya.
Intan, yang sebelum perjalanan ini asing dengan seni batik, mampir di sentra batik, seperti di Cirebon, Lasem, dan juga Pekalongan. Di Pekalongan, Jateng, misalnya, dia terkagum-kagum dengan batik tulis yang digurat sepenuh hati oleh senimannya. ”Ternyata batik itu kompleks banget,” ujarnya.
Di Bantul, DI Yogyakarta, Intan menggelar lokakarya daur ulang kain bekas kepada warga sekitar. Meski membagi kebisaannya, Intan dengan rendah hati mengakui rancangan kerajinan tangannya tidak ia pelajari secara formal. Padu padannya berasal dari tekstur kain, juga rasa estetika yang ia pupuk sejak masih mahasiswa.
”Di perjalanan ini, aku merasa seniman wastra sesungguhnya adalah para pembatik dan penenun. Kalau bukan seniman yang mengerjakan, hasilnya pasti beda,” kata Intan yang mengaku kakeknya pernah menjadi pengurus koperasi batik di Pekalongan. Persinggahannya di Pekalongan ia ibaratkan sebagai ziarah rasa.
Kompensasi emisi
Sebagai pribadi yang tanggap pada isu keberlanjutan (sustainability) lingkungan, Intan dan Aria menyadari perjalanan mereka menghasilkan emisi karbon. Oleh karena itu, mereka bekerja sama dengan lembaga Carbon Ethic mengompensasikan jejak karbon menjadi tanaman mangrove.
Aria menjelaskan, lembaga itulah yang menghitung kompensasi emisi karbon mereka. ”Konsumsi bahan bakar mobil sekitar 1:10, jenis bahan bakar yang dipakai (bensin beroktan 98), dan jarak tempuh sekitar 3.500 km ini, kompensasinya 16.000 tanaman mangrove. Kami buka donasi bagi yang mau menyumbang mangrove, sebab hasil dari perjalanan ini juga untuk kepentingan publik,” kata Aria yang memilih menyetir sepanjang jalan.
Bagi keluarga kecil ini, perjalanan ini seolah mengintimkan ikatan di antara mereka, dan peran masing-masing. Intan menekuni eksplorasi wastranya. Selain menyetir, Aria leluasa memotret, menyeduh kopi, serta memastikan jadwal makan—dia rewel kalau lapar. Sementara Teduh berkenalan dengan alam terbuka, juga mengenali tabiat orangtuanya yang doyan jalan.
Ketika wawancara, Teduh dengan rambut keriwilnya itu nongol sejenak dan menggelendot di pangkuan ibunya. Mungkin baginya obrolan orang dewasa terlalu membosankan. Sebelum beranjak main lagi, dia mengecup pipi sang ibu sambil membisikkan ”I love you”. Sang ibu membalas, ”I love you, too”. Manis sekali. (HEI)
Intan Anggita Pratiwie
Lahir: Bandung, 12 Agustus 1986
Suami: Aria Anggadwipa (38)
Anak: Irama Lautan Teduh (4)
Pendidikan:
- Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan
- Master of Fine Arts, Institut Musik Daya Indonesia
Sejumlah Penghargaan:
- Kartini Next Generation Award 2014 dari Kementerian Pemberdayaan Wanita dan Kementerian Komunikasi dan Informatika
- 21 Young Leader Indonesia dari UNFPA