Banjir Dubai, Alarm bagi Metropolitan Dunia Menghadapi Perubahan Iklim
›
Banjir Dubai, Alarm bagi...
Iklan
Banjir Dubai, Alarm bagi Metropolitan Dunia Menghadapi Perubahan Iklim
Pembangunan yang dilakukan demi kemajuan kota perlu diimbangi dengan kesiapan menghadapi ancaman perubahan iklim.
Oleh
DEBORA LAKSMI INDRASWARI
·4 menit baca
Bencana banjir di Dubai beberapa waktu lalu menyiratkan pesan bahwa kemajuan dan modernitas sebuah kota tidak menjamin terbebas dari ancaman bencana perubahan iklim. Pembangunan besar-besaran yang dilakukan demi kemajuan kota perlu diimbangi dengan kesiapan menghadapi ancaman bencana akibat perubahan iklim yang semakin nyata.
Banjir yang terjadi di Dubai serta sejumlah daerah di Uni Emirat Arab dan Oman pada 16 April 2024 menarik perhatian dunia. Keheranan bercampur rasa prihatin dari warga dunia diarahkan pada salah satu kota paling modern di abad ini. Hujan lebat yang intensitasnya melebihi rata-rata curah hujan setahun itu telah memorakporandakan kota besar di sana dan menyebabkan setidaknya 20 orang tewas.
Menjadi ironi ketika kota modern itu menjadi kacau oleh terjangan badai dan hujan lebat yang diperkirakan karena dampak perubahan iklim. Dengan iklim gurun yang kering dan jarang terjadi hujan, banjir bukan menjadi bencana besar yang mengancam selama ini. Karena itu, desain infrastruktur kotanya pun relatif tidak disiapkan untuk menghadapi bencana banjir. Hal itulah yang kemudian memperparah kejadian banjir pada pertengahan April lalu.
Menurut Associate Professor and Programme Director of MSc Urban Planning University of Birmingham Dubai Mohammad Radfar, perencanaan sistem drainase untuk mengontrol aliran air permukaan kurang berfungsi. Selain itu, pembangunan Dubai secara besar-besaran mengurangi area resapan di kota itu. Lahan Dubai berubah fungsi menjadi jalan raya dan area parkir untuk mendorong masifnya penggunaan mobil pribadi. Hal itu memperparah banjir karena area permukaan terbangun itu membuat air tergenang dan tidak terserap ke tanah.
Peristiwa bencana di Dubai tersebut menjadi contoh bagaimana kota-kota besar di dunia dengan kemajuan pembangunannya ternyata belum siap menghadapi ancaman bencana yang semakin sering terjadi akibat perubahan iklim. Tanpa adanya mitigasi dan adaptasi yang matang dari daerah urban itu, bencana akan merugikan baik secara materi maupun nonmateri seiring dengan masifnya pembanguan dan padatnya penduduk yang bermukim di sana.
Apa yang terjadi di Dubai sangat mungkin dialami kota-kota modern di belahan dunia lain. Ancaman nyata dari dampak perubahan iklim juga mengintai kota-kota besar di dunia. Hal ini telah diproyeksikan lembaga Nespick dalam 2050 Climate Change City Index. Indeks ini menghitung seberapa besar dampak perubahan iklim yang terdiri dari indikator potensi kenaikan muka air laut, perubahan jenis iklim dan suhu, serta kelangkaan air di 85 kota besar di dunia.
Sejumlah kota modern dengan ciri perekonomian berpendapatan tinggi terindikasi akan mendapatkan efek dari perubahan iklim. Skor indeks tertinggi ada pada kota Amsterdam, Belanda, dengan total nilai 84,28. Faktor penyebab besarnya skor Amsterdam adalah karena potensi kenaikan muka air laut yang tinggi. Skor potensi kenaikan muka air laut Amsterdam jauh lebih tinggi daripada kota lain, yakni 89,56. Hal ini karena posisi geografis Amsterdam dengan elevasi 2 meter di bawah permukaan laut.
Di sejumlah kota lain, dampak perubahan iklim yang mungkin dialami kota bersangkutan pada tahun 2050 berbeda-beda. Melbourne, Australia, memang mendapatkan skor indeks perubahan iklim jauh lebih rendah dari Amsterdam, yakni 49,53. Namun, kota ini perlu mewaspadai kelangkaan air sebab skor dari indikator ini mencapai 100. Hal tersebut mengindikasikan keterbatasan sumber daya air di kota Melbourne pada masa depan akan sangat potensial menjadi bencana besar.
Lain lagi dengan ibu kota Korea Selatan, Seoul. Dari ketiga indikator potensi dampak perubahan iklim di masa depan, perubahan jenis iklim menjadi yang paling menonjol. Dengan skor 91,43, Seoul terancam mengalami pergantian jenis iklim. Pada 2021, tipe iklim di kota ini adalah Continental Dry Warm Summer. Pada 2051, tipe iklim di kota ini berpotensi berubah menjadi Temperate Dry Winter Warm Summer.
Dari penilaian potensi dampak perubahan iklim pada sejumlah kota maju di dunia, dapat disimpulkan bahwa tidak satu pun daerah yang terlepas dari fenomena global itu. Meskipun modal perekonomian, teknologi, dan sumber daya manusia di kota-kota itu lebih unggul daripada daerah lain, belum tentu wilayah urban tersebut minim dari ancaman perubahan iklim. Justru bisa jadi dampaknya lebih parah karena potensi banyaknya korban terdampak serta kerugian ekonomi dan material lebih besar. Ditambah lagi masifnya pembangunan yang menyebabkan keseimbangan lingkungan tidak terjaga.
Oleh karena itu, orientasi pembangunan dan pengembangan wilayah urban perlu mengarah pada mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang sudah semakin nyata. Wilayah perkotaan yang menjadi simpul perekonomian, teknologi, dan pemerintahan setidaknya menjadi alasan bahwa area urban ini penting untuk memulai gerakan mitigasi tersebut. Prinsip keberlanjutan dalam pembangunan kota perlu diterapkan secara masif dalam berbagai sektor.
Keberlanjutan yang dimaksud adalah memprioritaskan manfaat pembangunan kota bagi generasi selanjutnya dan masa depan. Dalam konteks menghadapi perubahan iklim, hal itu dilakukan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim yang sudah mulai terjadi serta mengurangi dampak yang lebih parah di kemudian hari.
Sejumlah upaya telah dilakukan. Di Kota Meksiko, misalnya, pemerintah negara ini memiliki target untuk membangun instalasi pemanenan air hujan pada 10.000 rumah tangga per tahun. Upaya itu dilakukan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas air perkotaan. Serupa dengan Meksiko, Melbourne juga memasang pemanenan air hujan untuk mengairi taman dan pohon di pinggir jalan. Selain itu, Melbourne juga berupaya meningkatkan kemampuan sumber daya alamnya untuk mengurangi emisi karbon.
Upaya-upaya tersebut patut diapresiasi dan menjadi contoh bagi kota-kota lain untuk meningkatkan ketahanan wilayahnya dalam menghadapi perubahan iklim. Perencanaan dan pengembangan kota tidak hanya mengakomodasi kesiapan menghadapi risiko bencana, tetapi juga mempertimbangkan potensi dampak perubahan iklim yang dapat melanda kapan saja. (LITBANG KOMPAS)