Transformasi Taiwan Menghadapi Gempa dan Risiko Indonesia
Gempa Chi-Chi pada 1999 menjadi awal transformasi Taiwan lebih tangguh menghadapi gempa. Bagaimana dengan Indonesia?
Setelah gempa bumi dahsyat M 7,6 yang menyebabkan 2.400 kematian pada tahun 1999, Taiwan telah bertransformasi memperkuat infrastruktur seismik dan ketangguhan warga. Upaya itu terlihat hasilnya dengan minimnya kerusakan dan korban jiwa akibat gempa M 7,4 pada Rabu (3/4/2024).
Gempa berkekuatan M 7,6 pada 21 September 1999 itu terjadi saat patahan Chelungpu di kota kecil Chi-Chi di Kabupaten Nantou, Taiwan, pecah. Sebanyak 2.415 orang tewas dan ribuan lainnya terluka, menjadikan gempa itu paling merusak dalam sejarah Taiwan setelah gempa Shinchiku-Taichu pada 1935 sekalipun jumlah korban ini tak masuk 10 besar gempa paling merusak di dunia.
Kajian Yu-Feng Chan di jurnal Prehospital and Disaster Medicine (2006) menyebutkan, selain kekuatan gempa dan sumbernya yang dangkal, lemahnya kekuatan bangunan dan banyaknya korban saat itu karena keterlambatan evakuasi dan penanganan korban.
Mayoritas kehancuran akibat gempa saat itu terjadi di dekat pusat gempa di sepanjang garis patahan. Sebanyak 81.000–106.000 bangunan rusak, termasuk rumah pribadi, apartemen dan gedung perkantoran, pertokoan, serta rumah sakit.
Baca juga : Taiwan Terguncang Gempa Terbesar Dalam 25 Tahun
Sebelum gempa itu, Taiwan Building Code ( TBC) atau standar bangunan direvisi pada tahun 1996, tetapi sebagian besar rumah yang runtuh dirancang mengacu standar tahun 1982. Sebagian besar bangunan yang hancur itu merupakan rumah tradisional satu lantai di daerah perdesaan yang berusia 30–80 tahun.
Banyak gedung bertingkat 12-15 yang tidak memiliki perlindungan gempa runtuh. Namun, tidak ada satu pun bangunan bertingkat 20 atau lebih tinggi yang roboh. ”Dengan demikian, terlihat jelas dari jumlah bangunan yang roboh dan rusak bahwa banyak bangunan apartemen tidak dirancang secara sistematis untuk tahan terhadap bencana tersebut,” tulis Chan.
Perubahan di Taiwan
Setelah gempa Chi-Chi, Taiwan melakukan transformasi. Dimas Salomo Sianipar, dosen Sekolah Tinggi Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (STMKG), yang menyelesaikan studi doktoralnya terkait kegempaan di National Central University, Taiwan, pada 2022, mencatat beberapa kunci ketangguhan Taiwan dalam menghadapi gempa kali ini.
”Korban jiwa gempa M 7,4 kemarin ’hanya' sembilan orang, padahal populasi penduduk yang padat 23,5 juta jiwa di sekitar lokasi terdampak. Banyak kemajuan yang dibuat di sana pascagempa Chi-Chi 1999 dalam hal upaya kesiapsiagaan terhadap bencana khususnya gempa bumi,” kata Dimas.
Menurut dia, setidaknya ada beberapa kemajuan yang dilakukan Taiwan setelah gempa Chi-Chi. ”Pertama, bangunan tahan gempa. Taiwan menerapkan building codes (peraturan bangunan) yang ketat sehingga menjamin mayoritas bangunan tahan guncangan gempa,” kata Dimas.
Baca juga : Gempa Taiwan Dipicu Salah Satu Sesar Paling Aktif di Dunia
Peraturan bangunan tahan gempa ini terus diperbarui dan diterapkan, baik untuk bangunan baru maupun bangunan lama. Pemerintah Taiwan juga menawarkan subsidi kepada penduduk yang ingin memeriksa ketahanan bangunan mereka terhadap gempa.
Banyak kemajuan yang dibuat di sana pascagempa Chi-Chi 1999 dalam hal upaya kesiapsiagaan terhadap bencana, khususnya gempa bumi.
Peraturan bangunan itu juga ditegakkan dengan ketat. Misalnya, menyusul gempa pada 6 Februari 2016 di Tainan, di pantai barat daya pulau itu, lima orang yang terlibat dalam pembangunan gedung apartemen bertingkat 17 yang merupakan satu-satunya bangunan besar yang runtuh saat itu dan menewaskan puluhan orang, dinyatakan bersalah dan dipenjarakan.
Tak hanya memperkuat bangunan, menurut Dimas, Taiwan juga meningkatkan kapasitas warga dengan upaya edukasi bencana kepada warga secara masif, terutama di sekolah dasar dan sekolah menengah. ”Untuk melawan lupa, setiap kejadian bencana (tidak hanya gempa) didokumentasikan dan dijadikan literasi bagi masyarakat untuk upaya kewaspadaan di waktu yang akan datang,” tuturnya.
Contohnya setelah gempa Chi-Chi pada 1999, Pemerintah Taiwan membangun Chi-Chi Earthquake Museum dan Chelungpu Fault Preservation Park yang bertujuan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai bahaya gempa. Contoh lainnya, di stasiun kereta ada catatan ketinggian banjir saat terjadinya taifun.
Bagi Taiwan, ketangguhan menghadapi ancaman bencana, termasuk gempa, telah menjadi prioritas secara nasional. Hal ini didorong oleh situasi Taiwan yang secara geopolitik dalam kondisi yang kurang menguntungkan.
Di sisi lain, Taiwan juga sangat rentan dengan bencana hidrometeorologi, seperti taifun, banjir, longsor, dan gempa kuat hampir setiap tahun. ”Jadi, ketangguhan menjadi prioritas bagi mereka,” kata Dimas.
Pola mitigasi bencana di Taiwan sejak tahun 2014 juga telah bergeser dari experience-based atau berbasis pengalaman dan science-based atau berbasis sains menjadi science and information-intelligence-based atau berbasis sains dan informasi-kecerdasan.
Kecerdasan buatan juga banyak digunakan untuk mengurangi risiko, seperti diterapkan untuk surveilans saat Covid-19 lalu. ”Selain melibatkan ilmuwan dan pengambil kebijakan, juga melibatkan informasi dari masyarakat umum secara terintegrasi,” ujarnya.
Untuk mendorong kemajuan riset, Taiwan juga mendorong keterbukaan data dan informasi serta kolaborasi. Hampir seluruh data geofisika, geologi, kebencanaan, dan yang relevan lainnya bersifat open access atau akses terbuka di Taiwan sehingga memungkinkan dilakukannya riset yang transparan, komprehensif, dan saling mengontrol satu sama lain.
”Dukungan pendanaan dan riset yang berkaitan dengan kebencanaan terstandar dan sistematis juga sangat baik di Taiwan. Kolaborasi ilmuwan (lembaga riset, perguruan tinggi) dan industri juga terjadi dengan baik,” kata Dimas.
Dia mencontohkan, di Taiwan banyak industri elektronik, khususnya industri semikonduktor (micro-chip) yang terlibat dalam upaya mitigasi bencana.
”Sebagai contoh, profesor saya pernah cerita jika ada gempa kuat, maka pabrik semikonduktor harus menghentikan operasi produksi sehingga bisa berpotensi kerugian. Mereka merasa memerlukan informasi akurat dari seismolog mengenai kapan gempa susulan (aftershocks) berhenti dan akhirnya berkolaborasi dan mendanai kajian tersebut,” ujarnya.
Perusahaan-perusahaan ini juga banyak berinvestasi di pengembangan Earthquake Early Warning System (EEWS) atau sistem peringatan dini gempa bumi.
Taiwan kini dikenal sebagai salah satu negara yang maju dalam mendeteksi dini gempa bumi sehingga bisa memperingatkan secara lebih awal terjadinya gempa ke penduduk secara otomatis ke telepon genggam warga sebelum guncangan kuat terjadi.
Pelajaran di Indonesia
Sebagaimana negara tetangganya yang juga rawan gempa di Jepang, Taiwan sepertinya telah menemukan jalan untuk membangun ketangguhan menghadapi gempa. Sejauh ini gempa bumi tidak bisa dicegah, tetapi risiko jatuhnya korban jiwa terbukti bisa dikurangi dengan berbagai langkah.
Ahli gempa bumi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, mengatakan, sesudah gempa Chi-Chi 1999, Taiwan telah mengalami kemajuan pesat dalam mengurangi risiko bencana. ”Ini (seharusnya) bisa menjadi pembelajaran penting bagi kita,” ujarnya.
Sebagaimana Taiwan dan Jepang, Indonesia juga berada di jalur Cincin Api Pasifik sehingga sangat rentan diguncang gempa bumi.
Bahkan, Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) menyebutkan, Indonesia merupakan negara yang memiliki gempa paling banyak di dunia. Indonesia juga memiliki gempa paling banyak per satuan luas daratannya, bersama dengan Tonga dan Fiji di Kepulauan Pasifik.
Catatan sejarah juga menunjukkan, dari 10 gempa paling mematikan dalam satu abad terakhir, dua di antaranya terjadi di Indonesia. Di peringkat pertama gempa M 9,1 di Aceh pada 26 Desember 2024 yang menewaskan sekitar 230.000 orang dan di peringkat ke-10 gempa M 6,3 yang melanda Yogyakarta pada 26 Mei 2006 yang menewaskan 6.000 orang.
Baca juga : Gempa Terkuat di Taiwan dalam 25 Tahun dan Alarm Bahaya untuk Indonesia
Penting untuk dicatat, risiko bencana tidak serta-merta disebabkan oleh kerentanan geologi yang tidak bisa kita modifikasi. Tingginya kehancuran dan korban akibat gempa terutama disebabkan lemahnya kapasitas dalam mitigasi, terutama karena buruknya kualitas bangunan.
Indonesia telah memiliki banyak tragedi mengerikan akibat gempa. Namun, hal itu masih belum memicu transformasi yang signifikan, terbukti setiap kejadian gempa identik dengan kehancuran dan banyaknya korban jiwa.