JAKARTA, KOMPAS —Kehidupan para pekerja di masjid atau marbot secara umum belum cukup sejahtera. Mereka masih menerima upah di bawah standar upah minimum suatu daerah. Perhatian dari pemerintah dan pemangku kepentingan terkait diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan marbot meskipun pekerjaan mereka bersifat sukarela.
Kesejahteraan masih belum dirasakan Sanadi (70), seorang marbot di Masjid Nurul Iman Dusun Kuang Jukut, Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Sanadi bertugas mengurus berbagai keperluan masjid, termasuk kebersihan seperti menyapu dan mengepel.
Selama puluhan tahun menjadi marbot, Sanadi tidak mendapat honor atau upah bulanan, kecuali beberapa tahun terakhir. ”Saya lupa persisnya, tetapi pernah dapat sekitar Rp 1 juta untuk enam bulan. Dibuatkan rekening dan dikirim ke sana. Kadang juga ada dari desa diminta ke sana untuk ambil,” kata Sanadi, Minggu (24/3/2024).
Sementara untuk urusan kebutuhan sehari-hari, sudah cukup dari keluarga. Ia juga punya simpanan untuk belanja dari hasil beternak sapi dan panen di sawah.
Kondisi serupa juga dirasakan Sauzi (55), marbot di Masjid Al Hikmah di kawasan Kesiman Kertalangu, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar, Bali. Selama menjadi marbot di Masjid Al Hikmah sejak tahun 1995, pria asal Jember, Jawa Timur, ini belum pernah mendapat bantuan dari pemerintah.
Sauzi mengakui, tugasnya sebagai marbot adalah menjaga lingkungan masjid, membersihkan masjid, dan menyiapkan peralatan shalat di masjid sehingga umat dapat beribadah dengan khusyuk. Seluruh waktunya dihabiskan di masjid sejak menjelang subuh sampai malam selepas isya. Sauzi juga tidak melupakan niatnya untuk taat beribadah dengan menjalankan shalat lima waktu itu.
Bentuk apresiasi yang lebih baik diterima oleh Zainuddin (42), marbot Masjid Bersejarah Sultan Suriansyah, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Selama hampir delapan tahun menjadi marbot di masjid tertua se-Kota Banjarmasin itu, Zainuddin sudah mendapat upah. Namun, upanya belum menyentuh upah minimum (UMK) Banjarmasin sebesar Rp 3,3 juta.
Para marbot semestinya juga diberi fasilitas jaminan sosial, baik jaminan kesehatan maupun jaminan masa tua.
”Setiap minggu, ulun (saya) terima Rp 500.000 dari pengurus masjid. Jadi, totalnya Rp 2 juta dalam sebulan,” ujarnya.
Menurut Zainuddin, upah atau insentif sebesar Rp 500.000 per minggu diterimanya sejak 2022. Upah itu sudah naik dari sebelumnya.
”Awal jadi kaum masjid ini tahun 2016, ulun terimanya Rp 200.000 per minggu atau Rp 800.000 sebulan,” katanya.
Zainuddin tak menampik upahnya sebagai marbot saat ini lebih kecil dari penghasilannya saat masih berjualan pentol, jajanan sejenis bakso. Ketika masih berjualan pentol, ia bisa mengantongi paling tidak Rp 100.000 per hari atau Rp 3 juta dalam sebulan.
”Upah bekerja jadi kaum (marbot) ini memang tidak seberapa, tetapi yakin saja banyak pahalanya dan berkah. Dengan jadi kaum, ulun bisa lebih memperbanyak ibadah sehingga hidup pun lebih tenang,” kata bapak dengan satu anak ini.
Minimnya upah dan belum adanya kesejahteraan juga dirasakan Muhammad Syafiq Ismail (23), marbot di Masjid Ar-Rahman, Merduati, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh. Syafiq yang sudah empat tahun menjadi marbot itu mendapatkan upah sebesar Rp 200.000 per pekan, setiap usai shalat Jumat. Upah untuk para marbot diambil dari infak jemaah.
Tidak ada kontrak kerja yang diterima Syafiq karena marbot tidak dianggap sebagai pekerjaan formal. Marbot dianggap pekerjaan paruh waktu dan bentuk pengabdian kepada agama. Selain itu, menjadi marbot juga tidak ada tunjangan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Untuk menambahkan penghasilan, Syafiq mengajar pengajian privat ke rumah-rumah dan menjadi guru honorer di sekolah swasta.
Pekerjaan mulia
Ketua Harian Pengurus Masjid Bersejarah Sultan Suriansyah Ahmad Mahfuzh mengatakan, marbot adalah pekerjaan mulia karena tugasnya memberikan kenyamanan kepada jemaah dalam beribadah. Marbot juga tak jarang mengingatkan orang-orang untuk beribadah. Ia bisa mengumandangkan azan ketika waktunya shalat.
”Kami sudah berupaya memberikan insentif yang pantas dengan keterbatasan anggaran. Insentif itu sebetulnya lumayan. Kalau dibandingkan dengan UMK Banjarmasin, memang kecil. Namun, itu masih lebih besar dari gaji guru honorer di Banjarmasin,” katanya.
Menurut Mahfuzh, Pemerintah Kota Banjarmasin juga sudah memperhatikan kesejahteraan marbot dengan memberikan tunjangan atau bantuan uang transportasi. Bantuan itu diterima dua kali dalam setahun, yakni Rp 2,28 juta per semester.
Kepala Bidang Bimbingan Islam di Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali Abu Siri mengatakan, bertugas sebagai marbot di masjid sejatinya pengabdian, yang diniatkan secara ikhlas. Hal itu karena marbot bukanlah pekerjaan dengan gaji atau honor tetap.
Menurut Abu Siri, marbot mendapatkan upah sekadarnya, yang umumnya berasal dari bagian infak jemaah masjid. ”Karena itu, pendapatan sebagai marbot tidaklah tetap karena umumnya masjid juga tidak mempunyai pendapatan yang tetap,” katanya.
Abu Siri mengakui, belum banyak pengurus takmir masjid dan pengurus yayasan masjid yang sudah dan mampu memberikan jaminan sosial bagi marbot di masjid mereka karena pemasukan yang diterima masjid umumnya tidak tetap. ”Beban yang ditanggung dan dikelola pengurus masjid juga kompleks,” ujar Abu Siri.
Ia berharap marbot mendapatkan perhatian dari pemerintah, baik dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah. Abu Siri berkeinginan para marbot mendapatkan tunjangan tetap atau serupa upah sebesar standar upah minimum regional.
Selain itu, para marbot semestinya juga diberi fasilitas jaminan sosial, baik jaminan kesehatan maupun jaminan masa tua. ”Setidaknya, kesejahteraan marbot diperhatikan karena para marbot itu sehari-harinya berada di masjid. Kehidupan marbot tergantung dari masjid,” katanya.