Cegah ”Tsunami” Sampah Elektronik, Jangan Sering Ganti Ponsel
Limbah elektronik naik lima kali lebih cepat dibandingkan tingkat daur ulang. Gonta-ganti ponsel salah satu penyebabnya.
Tumpukan limbah elektronik, mulai dari ponsel bekas, kulkas rusak, hingga rokok elektronik bekas, semakin tinggi. Limbah elektronik global telah mencapai rekor tertinggi dan naik lima kali lebih cepat dibandingkan tingkat daur ulangnya.
Jika tidak dikendalikan, risikonya tinggi bagi kesehatan, lingkungan, dan iklim. Sebab, barang-barang elektronik yang dibuang mengandung unsur-unsur berbahaya, seperti merkuri.
Baca juga: Jutaan Ton Sampah Elektronik Menggunung, Daur Ulang Kian Mendesak
Pada 2022, limbah elektronik mencapai 62 juta ton. Pada 2030, jumlahnya akan menjadi 82 juta ton di seluruh dunia. Limbah menumpuk cepat karena proses daur ulang yang lambat. Kemungkinan tingkat daur ulang bahkan akan menurun.
Laporan dua badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yakni Persatuan Telekomunikasi Internasional dan badan penelitian UNITAR, Kamis (21/3/2024), mendefinisikan limbah elektronik sebagai perangkat yang memiliki colokan atau baterai yang dibuang. Perangkat yang dimaksud itu termasuk ponsel, mainan elektronik, televisi, oven microwave, rokok elektronik, komputer, laptop, dan panel surya. Laporan ini tidak memasukkan limbah kendaraan listrik karena masuk dalam kategori tersendiri.
Dalam 62 juta ton limbah elektronik itu terkandung logam—termasuk tembaga, emas, dan besi—dengan total nilai 91 miliar dollar AS. Limbah plastik menyumbang 17 juta ton, sedangkan 14 juta ton lainnya mencakup bahan-bahan seperti material komposit dan kaca.
Laporan PBB itu menyebutkan, 22 persen dari jumlah limbah elektronik sudah dikumpulkan dan didaur ulang dengan benar pada 2022. Akan tetapi, pada akhir dekade ini, jumlahnya diperkirakan akan turun menjadi 20 persen saja.
Baca juga: Potensi Pengelolaan Sampah Elektronik Capai 1,8 Miliar Dollar AS
Penyebabnya, masyarakat sering beli atau gonta-ganti produk elektronik. Lantaran lebih senang mengganti, maka pilihan memperbaiki pun terbatas. Padahal, siklus produk elektronik saat ini lebih pendek. Masyarakat juga sudah terbiasa dengan hidup serba mudah dengan peralatan elektronik. Infrastruktur pengelolaan limbah elektronik yang tidak memadai menambah tinggi tumpukannya.
Sekitar setengah dari 62 juta ton limbah itu dihasilkan di Asia. Padahal, tidak banyak negara di Asia yang memiliki undang-undang yang mengatur tentang limbah elektronik, apalagi target pengumpulannya.
Di Eropa, tingkat daur ulang dan pengumpulannya mencapai 40 persen. Tumpukan limbah per kapita di Eropa yang terbanyak hampir 18 kilogram. Sementara di Afrika, tingkat daur ulang dan pengumpulan sampahnya sekitar 1 persen.
Bagi sebagian orang, seperti pemulung, tumpukan limbah elektronik itu bagaikan gunung emas karena bisa mendatangkan banyak uang. Di tempat pembuangan sampah Dandora di Nairobi, Kenya, para pemulung menjual limbah elektronik sebagai bahan daur ulang. Padahal, pengadilan di Kenya sudah menyatakan, tempat pembuangan sampah tersebut sudah penuh bertahun-tahun lalu.
Baca juga: Lindungi Anak dari Limbah Elektronik
Salah satu pemulung, Steve Okoth, mengatakan, mereka tidak punya pilihan lain. Dia malah berharap limbah elektronik menumpuk terus supaya dia bisa memperoleh banyak uang. Jika tidak ada limbah, dia tidak bisa makan. ”Saya tahu risikonya, berbahaya bagi kesehatan. Ketika perangkat elektronik memanas, ada gas yang terlepas dan saya pernah sakit di bagian dada,” ujarnya.
Daur ulang
Pabrik daur ulang seperti WEEE Centre di Nairobi memiliki tempat pengumpulan limbah elektronik di seluruh Kenya. Masyarakat bisa membuang dengan aman peralatan elektronik lamanya.
Kepala Operasional WEEE Centre Catherine Wasolia mengatakan, setelah diinventarisasi, data di dalam perangkatnya diperiksa, dikirimkan ke bank data, dan dibersihkan. Mereka lalu menguji setiap barang, apakah masih dapat digunakan kembali.
Pakar limbah elektronik George Masila mengkhawatirkan dampak limbah elektronik terhadap tanah. Setiap tahun turun hujan dan air mengalir menarik semua elemen yang mengendap ke tanah. Akibatnya, air tanah terkontaminasi.
Untuk melindungi para pemulung atau siapa pun yang bekerja di lingkungan pendaur ulang di negara-negara berkembang, laporan PBB itu menyerukan agar mereka dilatih dan diperlengkapi peralatan agar lebih aman.
Produsen harus dipaksa untuk membuat produk yang tahan lama. Jangan hanya merancang produk yang nanti akhirnya dibuang.
CNN, 20 Maret 2024, menyebutkan, gawai berukuran kecil, penyedot debu, dan rokok elektronik memiliki tingkat daur ulang yang sangat rendah, yakni 12 persen. Padahal, ketiga barang itulah yang menyumbang sepertiga dari seluruh limbah elektronik. Tingkat daur ulang relatif tinggi untuk peralatan yang lebih besar dan berat seperti penyejuk udara dan layar televisi.
Jim Puckett, pendiri dan Direktur Eksekutif Basel Action Network atau kelompok pengawas limbah elektronik, mengatakan, tumpukan limbah elektronik itu menunjukkan produsen tidak bertanggung jawab menjaga lingkungan. “Produsen harus dipaksa untuk membuat produk yang tahan lama. Jangan hanya merancang produk yang nanti akhirnya dibuang,” ujarnya.
Perangkat elektronik memerlukan bahan mentah, termasuk logam yang diekstraksi dan diproses dalam proses yang boros energi, terutama menggunakan bahan bakar fosil. Ketika permintaan konsumen meningkat dan masyarakat dibujuk untuk lebih sering mengganti perangkat, dampak iklim semakin besar.
Laporan itu menyebutkan, pengelolaan dan pembuangan limbah elektronik yang tepat mengurangi polusi karbon global. Semua pihak harus bisa memanfaatkan kembali logam dan mengurangi kebutuhan untuk mengekstraksi bahan mentah baru.
Baca juga: Tak Lagi Digunakan, 5,3 Miliar Ponsel Akan Menjadi Sampah
“Semakin banyak logam yang kita daur ulang, semakin sedikit logam yang harus ditambang,” kata Kees Baldé, penulis utama laporan tersebut dan spesialis ilmiah senior pada Institut Pelatihan dan Penelitian PBB.
Negara-negara kaya harus berhenti membuang limbah elektronik ke negara-negara yang tidak memiliki kapasitas untuk mengatasinya. Itu salah satu cara terbaik untuk mengatasi krisis limbah elektronik. Di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, limbah elektronik –mayoritas diimpor dari negara-negara kaya– sering kali ditangani melalui sistem daur ulang yang informal dan tidak diatur. (AP)