Wolbachia, Senjata Baru di Tengah Meluasnya Penyebaran Demam Berdarah
Keberhasilan uji coba nyamuk berwolbachia di Indonesia dalam memerangi demam berdarah mungkin diremehkan. Penurunan infeksi diprediksi lebih besar dari yang dilaporkan sebelumnya sebesar 77 persen.
JAKARTA, KOMPAS — Penyebaran demam berdarah dengue meluas, termasuk ke wilayah subtropis, seiring perubahan iklim yang memperluas pergerakan nyamuk. Meski demikian, perjuangan melawan penyakit itu memiliki senjata baru, yakni nyamuk yang diinfeksi bakteri wolbachia.
Dalam uji coba di Indonesia dan Kolombia, nyamuk yang diinfeksi bakteri wolbachia terbukti efektif mencegah penularan penyakit.
Para peneliti di Universitas Notre Dame baru-baru ini menganalisis uji coba kontrol acak yang dilakukan World Mosquito Program pada nyamuk yang terinfeksi wolbachia di Indonesia.
Analisis itu bertujuan untuk melihat bagaimana pengecualian pada dinamika penularan berdampak terhadap penafsiran asli hasil uji coba ini.
Baca juga: Teknologi Wolbachia Menjanjikan untuk Pengendalian DBD
”Uji coba terkontrol secara acak adalah standar emas untuk mengevaluasi kemanjuran intervensi medis atau kesehatan masyarakat,” kata Alex Perkins, profesor ilmu biologi di Notre Dame dan penulis senior studi ini, dalam keterangan tertulis, Senin (6/11/2023).
”Hal ini sangat sulit dilakukan untuk intervensi vektor terhadap demam berdarah karena kejadian penyakit ini tidak dapat diprediksi dan bersifat sporadis sehingga memerlukan uji coba skala besar,” tuturnya.
Hasil penelitian Perkins dan tim yang dipublikasikan di BMJ Global Health menggunakan model matematika untuk menganalisis penularan virus dengue penyebab demam berdarah selama uji coba di Indonesia.
Mereka mengeksplorasi tiga bias atau sumber potensi kesalahan, yang menjadi subyek uji coba ini. Tiga bias itu meliputi pergerakan manusia, pergerakan nyamuk, dan gabungan dinamika penularan antara pergerakan manusia dan nyamuk.
Peneliti menjelaskan hal paling bermasalah untuk dikendalikan, yakni kopling transmisi. Meski bias akibat pergerakan manusia dan nyamuk bisa dikurangi lewat desain uji coba dan metode statistik lain, penggandengan penularan butuh pemodelan matematis yang biasanya bukan bagian dari analisis uji klinis.
Studi ini menemukan, jumlah bias yang ditimbulkan dalam uji coba kemungkinan lebih besar ketika populasi yang menerima intervensi dalam uji coba ini lebih besar.
Dalam uji coba di Indonesia, hampir separuh populasi menerima intervensi nyamuk berwolbachia. ”Hal ini membuat bias yang kami temukan akibat kopling transmisi menjadi sangat penting dalam uji coba ini,” kata Perkins.
Baca juga: Pengakuan Dunia terhadap Metode Wolbachia
Meski uji coba wolbachia di Indonesia menunjukkan penurunan infeksi demam berdarah hanya 77 persen, tim Perkins memperkirakan hasil tersebut bisa jadi diremehkan (underestimated).
Konsisten dengan prediksi mereka, percobaan baru-baru ini di Kolombia menunjukkan penurunan kejadian demam berdarah sebesar 94-97 persen dengan menggunakan pendekatan rangkaian waktu terputus.
”Meskipun tidak menunjukkan perkiraan revisi tepat dari uji coba di Indonesia, kami menunjukkan bahwa kemanjuran yang mendekati hasil yang diamati dalam analisis rangkaian waktu yang terputus dari Kolombia secara teori mungkin terjadi,” kata Perkins.
”Saya sangat terkejut melihat hasil-hasil rangkaian waktu yang diperbarui ini, yang membuat pendekatan wolbachia terus terlihat menggembirakan.”
Perkins juga mencatat bahwa penurunan kasus demam berdarah mungkin tidak akan berlangsung selamanya. Kejadian seperti kelahiran, kematian, dan imigrasi akan meningkatkan kerentanan pada penyakit ini memengaruhi jumlah kasus dalam jangka panjang.
Saya sangat terkejut melihat hasil-hasil rangkaian waktu yang diperbarui ini, yang membuat pendekatan wolbachia terus terlihat menggembirakan.
Mengenai riset penyakit menular vektor di masa depan, Perkins menjelaskan penting untuk menggabungkan pemodelan dinamika transmisi dalam perancangan dan interpretasi uji coba demi memastikan para peneliti memahami dampak sebenarnya setiap intervensi.
Baca juga: Adi Utarini, Peneliti Demam Berdarah dari UGM yang Diakui Dunia
”Temuan kami dapat diterapkan pada kemanjuran metode pengendalian vektor apa pun yang berpotensi mengontaminasi populasi penelitian, seperti nyamuk gene drive atau ivermectin sebagai intervensi terhadap malaria,” kata Perkins.
Meluas ke Eropa
Laporan di Nature pada 31 Oktober 2023 menyatakan, serangan demam saat ini melonjak di bagian selatan Eropa. Penyakit ini telah menyebar di antara orang-orang di sana dan mencapai daerah yang belum pernah terjangkit penyakit ini sebelumnya.
Penyakit yang ditularkan nyamuk, dan bisa memicu demam, sakit kepala, dan kelelahan, serta membunuh 40.000 orang tiap tahun, bukan penyakit endemik di Eropa. Sebagian besar kejadian atau wabah berasal dari pelancong yang tertular di luar negeri dan membawa virus tersebut kembali.
Namun, tahun ini, kombinasi kondisi cuaca hangat dan peningkatan jumlah kasus impor memicu lonjakan infeksi lokal yang dibawa nyamuk macan (Aedes albopictus), yang menghuni Eropa selatan.
”Situasi ini memerlukan banyak perhatian,” kata Patricia Schlagenhauf, ahli epidemiologi di Universitas Zurich, Swiss, kepada Nature.
Pada 27 Oktober 2023, Perancis melaporkan 1.414 kasus demam berdarah impor. Padahal, hanya 217 kasus impor yang dilaporkan tahun 2022 dan 164 kasus pada 2021.
Selain kasus impor, kehadiran nyamuk A albopictus yang menularkan virus membuat ada infeksi lokal. Saat turis yang terinfeksi digigit nyamuk ini setelah mereka kembali, serangga itu kini membawa virus tersebut dalam aliran darah mereka dan bisa menularkan penyakit tersebut ke orang lain yang mereka gigit.
Nyamuk A albopictus berkembang biak pada suhu antara 15 derajat celsius dan 35 derajat celsius dan dapat berkembang biak di genangan air dalam jumlah kecil. Dengan adanya nyamuk ini, telah terjadi transmisi lokal di Eropa Selatan.
Menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa, pada 25 Oktober 2023, sebanyak 105 kasus penularan lokal telah dilaporkan di Eropa Selatan, termasuk 66 kasus di Italia, 36 penderita di Perancis dan 3 orang di Spanyol.
Wabah penularan demam berdarah lokal di Italia, yang memiliki populasi A.albopictus terbesar di Eropa, berpusat di sekitar wilayah Lombardy dan Lazio dan mencakup 28 kasus di Roma.
Di Perancis, jumlah kasus yang ditularkan secara lokal lebih rendah dibandingkan tahun 2022. Namun, wabah itu kini meluas ke Auvergne-Rhône-Alpes dan Île-de-France, area yang belum pernah melaporkan ada kasus penularan lokal. Karena 50-90 persen orang tak bergejala, kejadian demam berdarah kemungkinan lebih tinggi dari yang dilaporkan.