Di Indonesia, pembicaraan tentang transisi energi masih menjadi topik yang eksklusif. Hanya kalangan tertentu saja, seperti organisasi masyarakat sipil, akademisi, badan usaha, dan pemerintah.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Pada 8-11 Agustus 2023, Litbang Kompas menggelar jajak pendapat terkait transisi energi di Indonesia. Saat disodorkan pertanyaan apakah responden mengetahui jika Pemerintah Indonesia sedang gencar melakukan kegiatan transisi energi dari fosil ke energi terbarukan, sebanyak 65,7 persen menjawab tidak tahu. Namun, saat ditanya apakah responden tahu isu tentang pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim, sebanyak 52,8 persen menjawab tahu dan sisanya tidak tahu.
Di Indonesia, pembicaraan tentang transisi energi masih menjadi topik yang eksklusif. Hanya kalangan tertentu saja, seperti organisasi masyarakat sipil, akademisi, badan usaha, dan pemerintah. Padahal, dampak dan proses transisi energi perlu keterlibatan semua pihak, seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Salah satu kritikan kenapa pembicaraan tentang transisi energi hanya menjadi isu terbatas di kota-kota besar adalah narasi kampanye itu sendiri. Narasi tentang penyebab pemanasan global ataupun penggambaran tentang dampak pemanasan global terhadap cuaca dirasa masih kurang membumi. Kebanyakan bersifat abstrak dan sukar dipahami awam.
Apa guna ajakan apabila pesan yang disampaikan tidak bisa dipahami, alih-alih diterapkan. Tak sedikit istilah ilmiah ataupun asing yang belum tentu dimengerti oleh kalangan awam dipakai dalam narasi tersebut. Apa itu perubahan iklim, pemanasan global, termasuk dalam istilah asingnya, global warming, climate change, atau national determined contribution? Istilah-istilah ini sering dipakai oleh organisasi masyarakat sipil, badan usaha, bahkan pemerintah sekalipun.
Media massa, termasuk salah satunya, adalah pengguna narasi yang kadang tak bisa dimengerti pembacanya. Padahal, media massa mempunyai peran strategis dalam kampanye transisi energi. Begitu pun pemanfaatan media sosial. Bahkan, di media sosial nyaris tak ada batasan baku penggunaan bahasa yang baik dan benar. Apakah cara itu efektif untuk memahamkan publik soal pentingnya transisi energi? Paham saja tidak, bagaimana bisa melaksanakan aksi transisi energi?
Persoalan-persoalan tersebut turut dibahas dalam diskusi yang disiarkan secara daring pada Kamis (27/7/2023). Diskusi yang diselenggarakan Institute for Essential Services Reform (IESR) tersebut bertajuk: Bagaimana Strategi Indonesia Mencapai Target Bauran 23 Persen Energi Terbarukan? Ya, dalam diskusi itu, dibahas bahwa narasi transisi energi penting dan tak bisa dianggap sepele.
Perubahan iklim akibat pemanasan global bukan pekerjaan rumah sebuah kota besar atau bahkan sebuah negara. Ini adalah pekerjaan rumah seluruh penduduk Bumi.
Perubahan iklim akibat pemanasan global bukan pekerjaan rumah sebuah kota besar atau bahkan sebuah negara. Ini adalah pekerjaan rumah seluruh penduduk Bumi. Sebagai contoh, alih fungsi hutan menjadi sawit atau perkebunan, dampaknya tidak hanya terjadi pada area hutan itu saja, tetapi berdampak global. Melelehnya es di kutub turut memengaruhi hajat hidup orang banyak yang tinggal di sekitar ekuator atau garis Khatulistiwa.
Melihat kembali ke belakang, seruan transisi energi sudah muncul pada 1981, setidaknya dari arsip Kompas. Pada edisi 27 Juli 1981, Menteri Pertambangan dan Energi Soebroto menyatakan, dunia tengah dalam masa peralihan dari ketergantungan pada minyak bumi ke sumber energi lestari (berkelanjutan). Mengutip pakar, Soebroto menyebutkan bahwa masa transisi tersebut akan berlangsung sampai 2030.
Bagaimana dengan sekarang? Indonesia memang masih dalam masa transisi, sekaligus masih amat bergantung pada energi fosil, khususnya batubara, minyak, dan gas bumi. Pada 2025 mendatang, ditetapkan target bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23 persen dalam bauran energi nasional. Hasilnya, sampai akhir 2022, capainnya masih 12,3 persen.
Pentingnya transisi energi juga dikait-kaitkan (lagi) dengan polusi udara di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Sektor transportasi dan pembangkit listrik dituding jadi biang keladi udara kotor yang menyebabkan warga terserang gangguan pernapasan itu. Desakan penghentian operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan penggunaan kendaraan listrik mengemuka.
Transisi energi yang bukan perkara sepele membutuhkan figur pemimpin yang kuat, visioner, dan tegas.
Akan tetapi, narasi bahwa mematikan PLTU bukan solusi cepat dan tepat juga perlu didengungkan. Bayangkan apabila PLTU dimatikan, Indonesia dipastikan gelap gulita karena 65 persen sumber energi primer pembangkit listrik di Indonesia datang dari PLTU. Begitu pula pemakaian kendaraan listrik. Alih-alih menyediakan transportasi publik yang aman dan ramah lingkungan, pemerintah malah sibuk memberi subsidi pembelian kendaraan listrik pribadi.
Pada akhirnya, narasi yang jitu belumlah cukup. Perlu keteguhan regulasi, teladan dari pemimpin negeri, dan dukungan penuh sektor swasta. Soal teladan, sulit rasanya mengajak rakyat menggunakan kendaraan ramah lingkungan kalau pejabat itu dalam perjalanannya selalu dikawal banyak motor atau mobil pengiring.
Hal lain yang krusial adalah soal kepemimpinan. Transisi energi yang bukan perkara sepele membutuhkan figur pemimpin yang kuat, visioner, dan tegas. Pasalnya, program ini turut berpengaruh terhadap hajat hidup orang banyak, baik itu si miskin, si makmur, perusahaan besar, dan rakyat kebanyakan. Tanpa kepemimpinan yang kuat, transisi energi hanya akan menjadi angan-angan dan pembicaraan saja.