Posisi terbawah Indonesia dalam penyiapan NZE mencengangkan karena Indonesia sebelumnya dikenal aktif dalam forum internasional perubahan iklim global. Bagaimana kita seharusnya memperbaiki posisi dalam perlombaan ini?
Oleh
HANAN NUGROHO
·3 menit baca
Energy and Climate Intelligence Unit melaporkan pada Juli 2023, posisi Indonesia berada di tempat terbawah di antara 159 negara dalam persiapan menuju emisi nol bersih.
Kesepakatan Paris 2015 untuk mencegah bumi tidak semakin panas terus melahirkan gagasan baru. Pada KTT Aksi Iklim 2019 dicanangkan gerakan ”perlombaan menuju nol”, menggerakkan partisipasi aliansi global di luar pemerintahan mencapai emisi nol bersih (net zero emissions/NZE).
Posisi terbawah Indonesia dalam penyiapan NZE agak mencengangkan karena negara ini sebelumnya dikenal aktif dalam forum internasional perubahan iklim global. Bagaimana kita seharusnya memperbaiki posisi dalam perlombaan ini?
Lambat
Rencana Indonesia mencapai NZE tahun 2060 terlalu lambat karena sebagian besar negara merencanakan mencapainya pada 2050, bahkan sebelumnya. Selain itu, NZE-2060 Indonesia barulah dalam tahap diskusi atau usulan, belum sampai tahap deklarasi, kebijakan, apalagi ditetapkan sebagai undang-undang. Sekarang, 26 negara telah menetapkan NZE mereka dalam bentuk undang-undang.
Indonesia pernah menjadi pelopor negara berkembang dalam menanggapi perubahan iklim global. ”Janji Pittsburgh” untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam KTT G20 tahun 2009 telah diikuti dengan penerbitan Perpres No 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK serta pembentukan peraturan dan institusi pendukung, termasuk Badan REDD+ dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Namun, janji tersebut tidak dijalankan secara konsisten.
Memenuhi Kesepakatan Paris, Indonesia termasuk cepat menyampaikan kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC)-nya, dan merevisi sasarannya menjadi pengurangan emisi GRK 31,9 persen berdasarkan usaha sendiri serta 43,2 persen dengan bantuan luar negeri (versi September 2022).
NDC Indonesia telah disinkronkan dengan program pembangunan multisektor dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Namun, konsep NZE-60 Indonesia belum cukup matang untuk dipromosikan dalam ”perlombaan menuju nol”.
Energi terbarukan
Sektor energi, terutama pembakaran bahan bakar fosil untuk pembangkitan listrik, transportasi, dan industri dianggap bertanggung jawab terhadap emisi GRK. Indonesia adalah negara yang sangat kecanduan bahan bakar fosil. Hampir 90 persen bauran energi primer kita kini tersusun dari minyak bumi, gas bumi, dan batubara. Bahkan, batubara, yang adalah penghasil emisi GRK terbesar, belakangan memiliki pangsa paling banyak.
Di samping kekayaan bahan bakar fosilnya yang besar dan unik di antara negara-negara di Asia lainnya, Indonesia—terletak di wilayah tropis yang subur dan di jalur gunung-gunung api—memiliki potensi energi terbarukan yang besar: air, panas bumi, tenaga matahari, angin, dan bioenergi. Baru di bawah satu persen dari potensi itu yang telah dimanfaatkan, terbesar tenaga air dan panas bumi.
Pemanfaatan energi terbarukan semaksimal mungkin dan menekan penggunaan bahan bakar fosil adalah strategi utama dunia untuk mengurangi emisi GRK menuju nol. Meski berlimpah cadangan energi terbarukan, menghilangkan bahan bakar fosil dalam 4-5 dekade ke depan bagi Indonesia tidaklah mudah. Pembangunan energi terbarukan Indonesia sekarang pun termasuk yang sangat lambat, bahkan dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara.
Menegakkan komitmen pembangunan energi terbarukan seiring dengan ketegasan tidak memprioritaskan pengembangan bahan bakar fosil, khususnya batubara, harus dijunjung tinggi Indonesia.
Peraturan perundang-undangan
Komitmen pembangunan untuk mencapai sasaran NZE membutuhkan dukungan tidak saja finansial, teknologi, institusi, ataupun sumber daya manusia yang memadai, tetapi yang paling mendasar adalah peraturan perundang-undangan.
Indonesia memiliki UU Minyak dan Gas Bumi serta UU Pertambangan Mineral dan Batubara, tetapi belum memiliki UU mengenai energi terbarukan. UU Energi No 30/2007 belum berisi kebijakan energi-ekonomi-lingkungan terpadu untuk ditempuh Indonesia.
Peraturan Pemerintah No 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional mencantumkan sasaran penyediaan energi nasional serta pangsa sumber- sumber energinya, tetapi tidak mencantumkan emisi dari penyediaan dan pemanfaatan energi dalam sasaran untuk dikendalikan.
PP No 79/2014 memproyeksikan pangsa bahan bakar fosil dalam bauran energi Indonesia pada tahun 2050 masih sangat dominan, sekitar dua pertiga dari konsumsi energi nasional.
Ringkasnya, peraturan perundang-undangan di bidang energi sekarang ini belum mewadahi atau bahkan bertentangan dengan semangat emisi nol bersih yang kini dunia berlomba untuk mewujudkannya.
Indonesia dengan tanggap telah meratifikasi Kesepakatan Paris, menyerahkan NDC, bahkan Strategi Jangka Panjang Pembangunan Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050, kepada PBB (UNFCCC). Indonesia perlu segera menerbitkan UU tentang emisi nol bersih untuk dapat berlari lebih cepat dalam perlombaan dunia menuju nol.
Hanan Nugroho, Perencana Utama di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional