Mengapa klasifikasi seniman “nasional” lama harus dibatasi pada pejuang? Kenapa seorang seniman, seperti Gusti Nyoman Lempad, sulit dipandang sebagai maestro “nasional” dan tetap dicap “tradisional”?
Oleh
JEAN COUTEAU
·3 menit baca
Dalam beberapa minggu lagi, Negara RI akan berumur 78 tahun. Belum begitu tua untuk suatu bangsa, tetapi umur itu sudah memberikan jarak penilaian dalam beberapa hal. Salah satunya adalah seni rupa.
Dengan waktu yang sudah berlalu ini, faktor tren pada stilistik seni rupa dan juga faktor spekulasi, tak lagi begitu memengaruhi penilaian kita. Maka, kini sudah terlihat nama beberapa pelukis yang mutu karyanya sudah teruji oleh waktu: Raden Saleh dengan simbolisme Jawa yang diselubungi tampilan akademik Barat; Affandi, dengan kuas liar egonya; Hendra Gunawan dengan poetika sosial berwarna-warninya; Srihadi Sudarsono, yang dialektika Kawulo-Gustinya disampaikan melalui nuansa warna tak terhingga; bahkan Soedjojono dalam tampilan jiwa nasionalisnya. Itulah daftar maestro Indonesia yang kini diakui umum.
Apakah ini cukup? Pada hemat saya, tidaklah cukup. Mengapa klasifikasi seniman ”nasional” lama harus dibatasi pada pejuang? Kenapa seorang seniman, seperti Gusti Nyoman Lempad, yang kini dirayakan selama satu bulan di Nusa Dua, Bali, sampai 9 Agustus 2023, sulit dipandang sebagai maestro ”nasional” dan tetap dicap ”tradisional” nan lokal? Seolah-olah ada hierarki antara seni nasional (perwakilan modernitas) dan seni tradisional. Sepertinya seni lokal tidak bisa mewakili seluruh bangsa.
Kenapa juga seniman-seniman berpredikat ”nasional” seolah-olah harus terlahir dari ruang sekolahan modern, dengan pendekatan analitis yang khas itu? Bukankah tradisi pun bisa melahirkan seniman lintas batas, biarpun tidak bernama, seperti terlihat di dalam seni koleksi tribal tertentu?
Semua hal di atas ini perlu dipertimbangkan kembali, melihat bahwa pengetahuan dan teknologi tradisional sampai sekarang masih hidup langgeng berdampingan bersama kehidupan modern, seperti pada sawah pada sistem pengairan Subak di Bali.
Kembali pada kasus Gusti Nyoman Lempad. Dia kerap dianggap terkenal karena hal-hal yang berada di luar keseniannya: dia konon hidup selama 116 tahun, dari tahun 1862 hingga 1978. Itu berarti bahwa dia mengalami tiga periode, yaitu Bali klasik pra-kolonial, Bali kolonial dan Indonesia merdeka. Namun, dia lebih dari seorang yang kehidupannya sangat panjang: dia raksasa di antara para seniman modern.
Pada periode ”Bali klasik”, dia adalah seorang kawula di puri para Cokorde dari Ubud. Dia dididik bukan oleh sekolah, melainkan oleh opera Arja Bali, wayang, bacaan publik sastra kekawin, dan upacara-upacara pura yang merayakan kunjungan para batara ke tengah anak cucunya. Lalu Lempad menjadi arsitek, yaitu membuat pura untuk menampung para batara yang berkunjung itu. Dia menciptakan gaya arsitektur baru.
Adapun kegeniusan modernnya muncul pada periode kolonial, pada akhir tahun 1920-an. Kala itu dunia modern masuk dalam benaknya bukan secara analitis, sebagaimana seniman-seniman di atas, melainkan secara intuitif-spiritual. Setelah melihat gambar yang dibawa pengunjung Barat, khususnya cara Walter Spies menggambar secara realis, dunia visual lama Lempad tergugah. Diberikan lembar kertas Eropa bermutu tinggi, dia secara spontan-intuitif mengubah posisi garis.
Berbeda dengan ”garis” lukisan seniman Bali sebelumnya, yang pendek-padat, berpola repetitif dan selalu naratif, Lempad ”menciptakan” garis bebas, yang lari di kertas tanpa kekangan. Di karyanya, garis tidak lagi hadir sebagai pelengkap deskriptif saja, ia hadir demi garis itu sendiri. Dengan itu, Lempad memperlihatkan bagaimana kemodernan dalam drawing bisa muncul tanpa proses rasionalitas ala Barat, melalui olah intuitif saja.
Garis ala Lempad merupakan suatu revolusi yang tidak kurang besar dari revolusi ”analitis” seorang Raden Saleh. Tetapi, entah kenapa, citranya kini cenderung direduksi pada entah umurnya yang tua, ciri Balinya, atau perannya dalam gerakan Pita Maha Bali tahun 1936-1942. Semuanya tentu saja hadir di dalam dirinya, tetapi kegeniusannya melampaui itu semua. Dia adalah maha-maestro seni nasional, dan maha-maestro seni lintas bangsa.
Apakah di Indonesia terdapat seniman lain yang melakukan pemodernan seni secara intuitif, dengan berlandasan transformasi seni tradisi seperti Lempad. Mestinya ditelusuri oleh para akademisi dan peminat seni. Siapa tahu belum juga habis napas tradisi di dalam kemodernan seni Indonesia. Entah di Tanah Gayo, di tengah orang Asmat, atau bahkan di kedalaman pulau Jawa.