Memitigasi Bencana Alam, Menjaga Pertumbuhan Ekonomi
Tak hanya timbulkan korban jiwa dan luka, bencana juga menghambat laju perekonomian.
Bencana alam yang datang bertubi-tubi di sejumlah daerah Tanah Air mesti jadi kesadaran untuk menciptakan mitigasi bencana yang terkelola agar tak hanya menyelamatkan jiwa, tetapi juga perekonomian. Selain menimbulkan korban jiwa dan luka, bencana juga memberikan pukulan kerugian ekonomi yang menghambat pertumbuhan ekonomi daerah.
Pembangunan daerah dan kegiatan dunia usaha yang berwawasan ekonomi berkelanjutan makin menjadi keharusan yang mesti dilaksanakan.
Selama lebih kurang sebulan terakhir, bencana alam bertubi-tubi menerpa sejumlah daerah. Di antaranya erupsi Gunung Ruang di Kabupaten Kepulauan Sitaro, Sulawesi Utara, sejak pekan pertama April 2024.
Selain menimbulkan korban jiwa dan luka, bencana juga memberikan pukulan kerugian ekonomi yang menghambat pertumbuhan ekonomi daerah.
Bencana ini masih berlangsung hingga saat ini. Sebanyak 5.430 warga dari sejumlah desa di sekitar Gunung Ruang harus mengungsi. Kegiatan ekonomi mereka pun terpaksa terhenti.
Sabtu (27/4/2024) malam, banjir bandang menghantam Enrekang, Sulawesi Selatan. Ini menambah panjang daftar bencana di Sulawesi Selatan yang pada Sabtu (13/4/2024) juga diterpa longsor di Kabupaten Tana Toraja. Praktis aktivitas ekonomi warga terhenti.
Pada hari yang sama, Sabtu malam pekan lalu, bencana juga menerpa belahan Tanah Air lainnya. Gempa bumi berkekuatan magnitudo 6,2 mengguncang Garut, Jawa Barat. Selang lima hari, Kabupaten Bandung diguncang gempa berkekuatan magnitudo 4,2.
Itu hanya gambaran kecil betapa rentan Indonesia terhadap berbagai bencana alam yang juga memberikan kerugian ekonomi tidak sedikit. Mengutip data peta potensi bahaya yang tercantum dalam situs Inarisk yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), total potensi kerugian fisik dari bencana alam di Indonesia mencapai Rp 3.613 triliun.
Adapun total potensi kerugian ekonomi dari bencana alam sebesar Rp 4.275 triliun. Angka ini lebih besar dari total belanja negara pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 senilai Rp 3.016 triliun.
Salah satu contoh kerugian besar akibat bencana alam di Indonesia adalah pada saat terjadi gempa dan tsunami Aceh pada 2004. Saat itu, kerugiannya ditaksir mencapai Rp 51,4 triliun atau sekitar 3,5 miliar dollar AS.
Adapun total potensi kerugian ekonomi dari bencana alam sebesar Rp 4.275 triliun.
Sementara APBN yang dialokasikan untuk penanggulangan risiko bencana, seperti dikutip dari situs Kementerian Keuangan, hanya berkisar Rp 3 triliun hingga Rp 10 triliun setiap tahun.
Padahal, menurut Bank Dunia, Indonesia menduduki peringkat ke-12 dari 35 negara yang memiliki risiko tinggi terhadap berbagai bencana yang berdampak pada korban jiwa ataupun kerugian ekonomi. Hampir seluruh wilayah Indonesia terpapar risiko atas lebih dari 10 jenis bencana alam.
Bencana alam yang dimaksud antara lain gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, dan letusan gunung api. Ada pula bencana berupa kebakaran, cuaca ekstrem, gelombang ekstrem, kekeringan, dan likuefaksi.
Bank Dunia juga memperkirakan kerugian ekonomi akibat bencana alam bisa mencapai 0,66 persen hingga 3,45 persen dari produk domestik bruto (PDB) suatu negara sampai dengan 2030. Kerugian besar ini akan terjadi jika tidak ada antisipasi serius.
Dihubungi pada Jumat (3/5/2024), Senior Research Associate Indonesia Financial Progress (IFG) Ibrahim Khalilul Rohman mengatakan, dengan kondisi rentan bencana alam, maka penting sekali bagi Indonesia membangun mitigasi risiko bencana dan sistem deteksi dini.
Baca juga: Perubahan Iklim Bisa Pangkas Seperlima Pendapatan Dunia
Riset yang dilakukan Ibrahim bersama tim seperti tertuang dalam buletin ekonomi IFG Progress berjudul ”Pemetaan Risiko Bencana Alam: Mendesak Peningkatan Early Warning System dan Asuransi untuk Mitigasi” menemukan, sistem deteksi dini bencana terbukti memiliki hubungan positif dan signifikan dengan PDRB di Indonesia.
Hasil riset itu menyebutkan, ketika suatu daerah memliki sistem deteksi dini, maka PDRB pada daerah/desa tersebut berpotensi meningkat. Setiap peningkatan 1 persen jumlah desa yang memiliki sistem peringatan dini akan dapat meningkatkan PRDB senilai Rp 226 miliar sampai dengan Rp 315,68 miliar.
”Jadi, mempersiapkan sistem deteksi dini punya dampak positif terhadap perekonomian,” ujar Ibrahim.
Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan, isu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan sangat erat kaitannya dengan perekonomian. Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), seperti diolah CSIS, dampak kerugian bencana alam di Indonesia rata-rata Rp 1,06 triliun per tahun.
Total biaya mitigasi perubahan iklim mencapai Rp 4 triliun per tahun. PDB Indonesia pun berpotensi merosot 19 persen ketika suhu bumi naik hingga 4 derajat celsius.
”Ini baru kerugian langsung secara ekonomi. Masih ada banyak dampak lainnya, seperti masalah sosial dan hukum, yang ujung-ujungnya bisa mengganggu aktivitas ekonomi dan cita-cita Indonesia hendak menjadi negara maju,” ujar Yose.
Total biaya mitigasi perubahan iklim mencapai Rp 4 triliun per tahun.
Selain bencana alam, ada pula bencana yang terjadi karena aktivitas manusia yang berlebih. Hal ini menghasilkan jejak karbon yang berdampak pada perubahan iklim. Jejak karbon ini banyak dihasilkan dari aktivitas ekonomi.
Yose menambahkan, saat ini 25 persen perekonomian Indonesia mempunyai intensitas jejak karbon yang tinggi. Sektornya adalah pertambangan (14,07 persen), pertanian (9,22 persen), perikanan (2,58 persen), dan kehutanan (0,6 persen). Lebih dari 50 persen ekspor utama Indonesia berbasis sumber daya alam.
Padahal, sektor-sektor ini jadi penyumbang lapangan kerja yang luas bagi masyarakat dan motor pertumbuhan ekonomi. Artinya, perlu ada kebijakan yang mendorong transformasi aktivitas ekonomi ini supaya lebih berwawasan lingkungan.
Saat ini, 25 persen dari perekonomian Indonesia mempunyai intensitas jejak karbon yang tinggi.
Yose merekomendasikan kepada pemerintah berikutnya untuk bisa mendesain insentif fiskal dan nonfiskal guna mendorong perubahan ekonomi berkelanjutan. Insentif fiskal misalnya memberikan keringanan pajak lebih luas bagi dunia usaha yang berhasil menekan emisi dan menjalankan praktik berwawasan lingkungan. Adapun insentif nonfiskal, misalnya, berupa berbagai fasilitas prioritas untuk mendorong aktivitas ekonomi hijau.
Indonesia sudah berkomitmen untuk mencapai emisi nol pada 2060. Langkah ini pun dimulai bertahap dengan terus mengembangkan aktivitas ekonomi hijau dan berkelanjutan.
Dalam sejumlah kesempatan, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Kemaritiman, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W Kamdani mendorong dunia usaha untuk menjalankan usaha dengan merujuk pada prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (environment, social, governance/ESG).
Namun, rupanya belum semua pelaku usaha memahami persis prinsip-prinsip ESG. Hasil survei Kadin menyebutkan, dari 2.000 perusahaan, baru 35 persen responden yang telah memahami prinsip ESG.
Baca juga: Kerugian Ekonomi akibat Kerusakan Lingkungan Hambat Indonesia Maju
Selebihnya belum memahami ESG dan masih memerlukan panduan mengenai praktik ESG yang benar. Ini terutama berkaitan dengan target mencapai tujuan emisi nol.
Dari paparan fakta ini, pembangunan daerah dan kegiatan dunia usaha yang berwawasan ekonomi berkelanjutan makin menjadi keniscayaan. Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi harus bisa berjalan beriringan dengan upaya menjaga kelestarian lingkungan.