Industri Wisata Tolak Wacana Kutipan Dana Pariwisata di Tiket Penerbangan
Pemerintah mewacanakan menyisipkan kutipan dana pariwisata melalui tiket penerbangan.
JAKARTA, KOMPAS – Rencana pemerintah menyisipkan iuran pariwisata dalam tiket penerbangan ditentang sejumlah pihak. Meski masih dalam proses pengkajian, tetapi hal ini berpeluang mengerek tiket pesawat yang kerap dikeluhkan penumpang.
Pemerintah berencana menerapkan iuran pariwisata melalui tiket penerbangan. Rencana ini masih dikaji, tetapi telah mendapat beragam respons dari sejumlah pihak.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno, membenarkan adanya rapat koordinasi pembahasan rencana dana pariwisata berkelanjutan. Rapat ini rencananya akan digelar Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi pada Rabu (24/4/2024).
“Jangan khawatir, rencana ini tak akan membebani masyarakat dengan harga tiket yang lebih mahal. Ini masih dalam kajian dan tentunya kami menyadari masukan masyarakat bahwa harga tiket masih mahal, sehingga kami tak akan menambah beban,” ujar Sandi dalam konferensi pers mingguan di Jakarta, Senin (22/4/2204).
Pihaknya sedang mengkaji beberapa opsi untuk mengumpulkan atau mengoleksi dana kepariwisataan. Hingga saat ini, belum ada keputusan terkait rencana tersebut, termasuk soal faktor pertimbangan dan besaran iuran. Ia berharap seluruh pihak untuk bersabar.
Sandi menjamin adanya transparansi dalam penarikan iuran pariwisata ini, apabila diterapkan. Laporan wajib akan dilakukan sebagai bentuk pengawasan.
“Kami harus pastikan bahwa tiket pesawat ini tak terlalu membebani karena dibandingkan tiket ke luar negeri, tiket domestik sangat membebani,” katanya.
Baca juga: Akankah Harga Tiket Pesawat Terjangkau Kembali?
Iuran pariwisata melalui tiket pesawat ini dinilai berisiko menurunkan minat masyarakat bepergian dengan pesawat. Beragam pihak, termasuk masyarakat akan menyalahkan maskapai penerbangan karena kenaikan tarif ini.
“Nanti harga tiket naik lagi, kami yang disalahkan dong. Ya makin sedikit (masyarakat) yang mau naik pesawat. Penumpang jangan dibebani lagi apa-apa deh,” ujar Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk, Irfan Setiaputra.
Apabila keputusan ini akan tetap diterapkan, Irfan meyakini, pungutan bisa ditagihkan terpisah, di luar tiket pesawat. Meski begitu, ia tak merinci seperti apa bentuknya.
Penolakan turut dikemukakan Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani. Ia mengingatkan, menerapkan pungutan harus dilakukan berhati-hati.
Berkaca dari pajak hotel dan restoran, serta pajak pariwisata, pendapatan masuk ke kantong pemerintah daerah. Dalam realitasnya, dana yang kembali untuk kepentingan pariwisata sangat minim. Hingga wacana ini mencuat ke publik, pihaknya sebagai pelaku usaha pariwisata belum diajak berdiskusi.
“Sisa uangnya dipakai untuk anggaran daerah. Itu dalam scope yang sudah terjadi. Harusnya untuk promosi, dan lain-lain, itu enggak balik (untuk pariwisata),” kata Hariyadi yang juga Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia.
Baca juga: Tiket Pesawat Mahal Jadi Keluhan Global
Hal serupa diutarakan Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (APJAPI), Alvin Lie, yang menentang rencana iuran pesawat melalui tiket pesawat. Ia mempertanyakan alasan mengapa hanya moda transportasi pesawat yang dibebankan iuran ini, sedangkan moda lain tak berlaku.
“Rencana pungutan iuran pariwisata ini patut dipertanyakan, kenapa dibebankan pada tiket pesawat? Apakah semua penumpang pesawat itu pelaku wisata? Kenapa hanya angkutan udara? Orang terbang itu kan, kebutuhannya macam-macam,” ujar Alvin.
Apabila hal ini tetap diterapkan tanpa perencanaan yang matang, maka masyarakat pun bisa beralih ke moda transportasi lain. Biaya yang dibayar konsumen untuk membeli tiket akan lebih tinggi.
Saat ini, kondisi maskapai penerbangan belum pulih sepenuhnya. Pertama, tarif batas tak pernah direvisi Kementerian Perhubungan sejak 2019 yang semestinya disesuaikan dengan komponen biaya lainnya.
Kedua, nilai tukar telah mencapai Rp 16.224 per dollar AS hingga Senin (22/4/2024). Harga minyak pun juga akan tinggi. Apalagi jika ketegangan di Timur Tengah bereskalasi.
“Ini sama saja membunuh industri transportasi udara kita karena publik merasa yang naik adalah harga tiket, padahal uangnya bukan untuk maskapai penerbangan. Ini sangat tak adil,” kata Alvin yang juga pakar penerbangan ini.
Berdasarkan riset APJAPI, alasan terbesar penumpang terbang bukan untuk berwisata. Mayoritas responden melakukan penerbangan karena urusan dinas atau rapat kerja (29,7 persen).
Alasan itu diikuti keperluan pribadi (18,6 persen), pulang dari kegiatan (12,9 persen), dan menjenguk keluarga atau menghadiri perkawinan (12,3 persen). Baru sisanya, 12,1 persen responden, memanfaatkan pesawat untuk berwisata.
Asosiasi melakukan penelitian pada Januari 2024 terhadap 7.414 responden pemegang boarding pass. Metode yang digunakan berupa stratified random sampling di lima bandara internasional.
Kelima bandara yang dimaksud meliputi Bandara Soekarno-Hatta (Banten), Bandara Juanda (Jawa Timur), Bandara I Gusti Ngurah Rai (Bali), Bandara Kualanamu (Sumatera Utara), serta Bandara Sultan Hasanuddin (Sulawesi Selatan).
Baca juga: Mekanisme Pasar, Opsi Tekan Tarif Pesawat
Alvin melanjutkan, Asosiasi Internasional Transportasi Udara (IATA) mengatur bahwa harga tiket tak bisa dibebankan selain komponen yang telah disepakati. Komponen yang dimaksud adalah pajak pertambahan nilai, pelayanan jasa penumpang pesawat udara (PJP2U), serta asuransi wajib.
Ada pula komponen tambahan, yakni biaya tambahan (surcharge) sebagai kompensasi kemahalan bahan bakar. “Jangan dibebankan pada tiket karena dampaknya seolah-olah harga tiket naik. Padahal yang naik tetek-bengek yang diselipkan. Nanti yang kena beban lagi adalah maskapai penerbangan, padahal uang enggak masuk ke maskapai,” tutur Alvin.
Ia juga mempertanyakan transparansi dana iuran pariwisata yang terkumpul, dari sisi pihak pengawas dan cara mengawasi serta manfaat dana. Sebab, dana tersebut digunakan dari dan untuk masyarakat, sehingga pihaknya harus bisa mengawasi ke mana iuran itu bermuara.
Berkaca dari dana zakat, ada badan yang bertanggung jawab, yakni Badan Amil Zakat Nasional. Badan ini bertugas mengelola dan mengawasi zakat yang dihimpun dan disalurkan. Konsep iuran pariwisata semestinya juga didesain serupa dengan pertanggungjawaban yang jelas.
Baca juga: Inilah Bedanya Visa Kunjungan Wisata dan ”Visa on Arrival”
Hariyadi juga mengingatkan pentingnya penggunaan serta pengawasan iuran pariwisata melalui tiket pesawat. Pembahasan iuran pariwisata semestinya dibahas secara komprehensif, termasuk payung hukum dan dasar penetapan kebijakannya. Apabila rencana ini tak dimatangkan dengan semestinya, maka terbuka risiko penyalahgunaan dana.
“Mekanismenya bagaimana? Siapa yang kontrol? Ini bisa jadi pungutan enggak jelas. Enggak balik ke industri. Kami enggak terima ya label ke pariwisata, tapi enggak balik ke industri,” kata Hariyadi.