Ketahanan Ekonomi Domestik Bendung Dampak Konflik Iran-Israel
Dengan beberapa indikator yang ada, ekonomi nasional masih cenderung kuat dalam menghalau ketidakpastian global.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Eskalasi konflik Iran-Israel berisiko mengganggu stabilitas perekonomian global dan nasional. Salah satu konsekuensi pahit dari meningkatnya ketegangan di Timur Tengah adalah hambatan rantai pasok yang menyebabkan lonjakan harga minyak dunia. Di pasar dalam negeri, efek lonjakan harga minyak dunia bisa merambat pada kenaikan harga komoditas lain yang dapat mengganggu konsumsi dan daya beli masyarakat. Kondisi ini bisa berbuntut pada pelemahan pertumbuhan ekonomi.
Kendati demikian, sejumlah indikator ekonomi masih menunjukkan ekonomi domestik punya daya tahan terhadap gangguan stabilitas global. Dengan kebijakan yang tepat, sejumlah pakar meyakini ekonomi nasional dapat menghalau ketidakpastian global.
Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini mengatakan, rambatan dampak konflik Iran-Israel terhadap ekonomi nasional mutlak perlu diantisipasi dengan berbagai kebijakan perekonomian. Sedikitnya terdapat tiga kebijakan yang harus diutamakan pemangku kebijakan ekonomi untuk menjaga dan melindungi daya beli masyarakat, utamanya golongan miskin dan rentan. Ketiga kebijakan yang dimaksud meliputi moneter, fiskal, dan perdagangan luar negeri.
”Dalam kebijakan moneter, BI (Bank Indonesia) berperan penting mengendalikan inflasi dengan berbagai instrumen. Sementara pemerintah pusat dan daerah sudah wajib memantau dan mengendalikan harga kebutuhan pokok rakyat dari hari ke hari,” ujarnya dalam diskusi publik bertema ”Dampak Kebijakan Ekonomi Politik di Tengah Perang Iran Israel” yang berlangsung secara daring, Senin (22/4/2024).
Didik mengatakan, BI juga perlu mengantisipasi ruang kebijakan moneter yang menyempit. Munculnya kembali ancaman inflasi global juga dapat menghalangi bank-bank sentral utama untuk memangkas suku bunga kebijakan mereka. Di samping itu, kenaikan harga minyak dunia juga akan melemahkan ekspor neto yang dapat mengancam pertumbuhan ekonomi nasional.
Dari sisi kebijakan fiskal, Didik melanjutkan, Kementerian Keuangan perlu berhati-hati dalam mengendalikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Alasannya, kenaikan harga minyak dunia dipastikan akan memberikan tekanan fiskal bagi Indonesia karena anggaran subsidi dan kompensasi energi akan ikut membengkak.
Dalam kondisi ini, kebijakan belanja pemerintah perlu dikelola secara efisien untuk menciptakan ruang fiskal yang diperlukan dalam mendorong produktivitas dan konsumsi masyarakat. Salah satunya dengan membuat penyaluran subsidi energi lebih tepat sasaran serta memperkuat berbagai program jaminan sosial.
”Intinya instrumen fiskal harus digunakan dengan berhati-hati, jangan jor-joran dan serampangan demi mengejar proyek besar dan populisme, agar defisit tetap terkendali,” kata Didik.
Adapun terkait kebijakan perdagangan luar negeri, Didik memandang, Indonesia perlu memperkuat kemitraan perdagangan dengan sejumlah negara Asia lain di saat rantai pasok dari dari Timur Tengah, Afrika Utara, hingga Eropa mulai terhambat akibat eskalasi konflik geopolitik.
”Ada mitra-mitra besar kita yang perlu dijaga dan diperkuat seperti Jepang, China, dan India. Perlu juga pemerintah membuat kutub-kutub ekonomi baru selain Eropa dan AS sebagai bagian dari kebijakan yang harus kita jalankan dalam perdagangan luar negeri,” lanjutnya.
Intinya, instrumen fiskal harus digunakan dengan berhati-hati, jangan jor-joran dan serampangan demi mengejar proyek besar dan populisme, agar defisit tetap terkendali.
Tidak lupa, Didik juga mengingatkan untuk menjaga bahkan meningkatkan produktivitas dan dunia usaha di dalam negeri mengingat konsumsi domestik masih mendominasi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga lebih dari 75 persen.
Pertumbuhan ekonomi
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih memungkinkan mencapai kisaran 4,5-5 persen pada 2024 kendati terjadi eskalasi konflik antara Iran dan Israel.
”Kalau saya lihat sejauh ini, dengan eskalasi konflik yang sekarang menurut saya dampak terhadap ekonomi sektor riil itu masih terbatas, kalau kita lihat untuk tumbuh katakanlah 4,5 sampai 5 persen, saya masih punya keyakinan di 2024 kita masih bisa tumbuh,” katanya.
Keyakinan terhadap pertumbuhan ekonomi di kisaran 4,5-5 persen didasari pengalaman Indonesia yang berhasil melalui tantangan akibat perang antara Rusia dan Ukraina sejak tahun 2022. Saat itu, kebutuhan pangan, terutama gandum, mengalami hambatan di tingkat global, tetapi ekonomi Indonesia secara makro masih bisa bertumbuh.
”Memang tidak akseleratif (pertumbuhan ekonomi Indonesia), tapi untuk sekadar bertahan sebetulnya masih memungkinkan dalam situasi ketidakpastian ekonomi dan geopolitik yang meningkat saat ini,” ungkap Eko.
Menurut dia, rambatan efek konflik Iran-Israel tidak akan sampai ke Indonesia apabila pemerintah dapat mengelola komponen konsumsi dan produksi, terutama berkaitan dengan industri sebagai salah satu sektor penggerak pertumbuhan ekonomi.
Dihubungi secara terpisah, analis Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, menilai, sedikitnya ada empat indikator untuk mengukur ketahanan ekonomi Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian akibat konflik di Timur Tengah.
Dengan beberapa indikator yang ada, ekonomi nasional masih cenderung bagus dan bertahan positif dalam ketidakpastian global sepanjang pemerintah konsisten mendorong program-program yang mendukung pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Pertama, tren pertumbuhan ekonomi. Indonesia terus mengalami pertumbuhan yang cukup agresif pasca-pandemi, bahkan diatas 5 persen dengan proyeksi akan mencapai kisaran 5,2 persen secara agregat di akhir tahun 2024. Indikator kedua adalah Inflasi. Selisih ekspor-impor yang masih positif dan potensi eskalasi inflasi akibat bahan baku impor diprediksi masih akan dalam rentang daya tahan inflasi, dan sampai akhir tahun 2024 tidak melebihi 3,5 persen.
”Indikator ketiga adalah PDB per kapita yang pada 2023 mencapai Rp 75 juta atau setara 4.919 dollar AS. Dengan PDB yang masih nomor 16, sedangkan jumlah penduduk nomor 4, potensi ekonominya masih sangat besar,” ujar Ajib.
Sementara indikator keempat adalah kondisi neraca keuangan negara masih dalam keseimbangan primer yang positif. Artinya, total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran utang masih positif. ”Hanya, yang perlu dicermati adalah ketika pemerintah membuat proyeksi nilai tukar rupiah dalam kisaran Rp 15.000 per dollar AS, pembayaran utang luar negeri akan mengalami kenaikan ketika rupiah terus melemah dibandingkan dollar AS,” ujarnya.
Dengan beberapa indikator yang ada, lanjut Ajib, ekonomi nasional masih cenderung bagus dan bertahan positif dalam ketidakpastian global sepanjang pemerintah konsisten mendorong program-program yang mendukung pertumbuhan ekonomi dalam negeri.