Kecelakaan Travel "Gelap” Jalan Tol Cikampek Menguak Borok Transportasi Darat
Tragedi travel "gelap" di Tol Cikampek Km 58 menggambarkan kusutnya transportasi darat di Indonesia.
Arus lalu lintas yang berangsur normal menunjukkan Lebaran 2024 telah berakhir. Namun, sejumlah kecelakaan lalu lintas, terutama angkutan gelap yang menelan belasan korban jiwa menjadi sorotan. Hal ini mencerminkan benang kusut masalah transportasi di Tanah Air belum juga terurai, mulai dari status legalitas kendaraan hingga santunan korban.
Menurut hasil survei mobile positioning data (MPD) operator telekomunikasi PT Telekomunikasi Selular atau Telkomsel, jumlah pergerakan masyarakat secara nasional pada 3 April 2024 hingga 18 April 2024 mencapai 242,6 juta pergerakan. Lalu lintas jalan relatif lancar dengan kecepatan rata-rata kendaraan sekitar 70-75 kilometer (km) per jam.
”Pergerakan masyarakat melonjak cukup signifikan, perjalanan angkutan umum juga meningkat, masih terjadi beberapa hal yang tak kita inginkan. Meski begitu, angka kecelakaan menurun serta kecepatan kendaraan dapat meningkat, ini adalah hal yang positif,” tutur Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi di Jakarta, Jumat (19/4/2024).
Baca juga: Urgensi Menambah Daya Angkut Transportasi Umum di Masa Mudik Lebaran
Kepolisian melaporkan jumlah kecelakaan menyusut 8 persen selama periode angkutan Lebaran 2024 dibanding 2023. Tahun ini terjadi 3.286 kecelakaan. Sementara korban jiwa turun 12 persen dari 534 korban tewas tahun 2023 menjadi 469 korban pada tahun ini.
Dalam masa itu pula, beragam rekayasa lalu lintas telah dilakukan, baik di dalam maupun luar jalan tol di Jawa. Mayoritas rekayasa lalu lintas diterapkan dari Jakarta hingga Jawa Tengah.
Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri Inspektur Jenderal Aan Suhanan mengemukakan, selama masa angkutan Lebaran 2024, Polri telah melakukan 27 kali contraflow di Jakarta-Cikampek-Cipali. Selain itu, 20 kali one way di jalan tol, dan 197 kali one way di luar jalan tol di Jawa Barat.
Untuk Jawa Tengah, lanjut Aan, pihaknya telah menerapkan rekayasa lalu lintas, khususnya di jalan-jalan arteri. Sebab, provinsi tersebut menjadi titik pertemuan pemudik dari arah barat dan timur.
Namun, pencapaian tahun ini tidak lepas dari masalah yang masih terus membayang selama ini.
Kecelakaan
Sejumlah peristiwa menjadi sorotan publik, terutama karena adanya korban jiwa yang terus berjatuhan. Dimulai dengan kecelakaan maut travel gelap merenggut nyawa 12 orang terjadi dalam arus mudik Lebaran di Jalan Tol Jakarta-Cikampek Kilometer (Km) 58 pada Senin (8/4/2024). Setelah itu terjadi kecelakaan tunggal bus Rosalia Indah menewaskan 7 orang serta 17 orang lainnya luka-luka di Km 370 Tol Batang-Semarang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Kamis (11/4/2024). Kecelakaan terjadi diduga karena sopir bus mengantuk.
Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Haris Muhammadun menilai, kecelakaan juga dilatarbelakangi langkah pemerintah yang belum menjadikan profesi pengemudi sebagai profesi pilihan, seperti pilot, nakhoda, dan masinis. ”Itu (sopir bus) profesi yang tidak punya pilihan sehingga kurang diapresiasi. Dengan demikian, karena tak ada pilihan, seperti Rosalia Indah, sopir tak tergantikan karena jumlah sopir tidak banyak,” tutur Haris.
Baca juga: Sopir Bus Rosalia Indah Jadi Tersangka Kecelakaan di Jalan Tol Batang
Minimnya jumlah sopir bus itu berimbas pada sumber daya sopir yang kelelahan. Hal-hal yang tak diinginkan pun terjadi. Padahal, apabila profesi pengemudi menjadi pilihan, banyak orang akan berminat karena standar gaji dan apresiasinya diatur.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Tory Damantoro (kanan) bersama Sekretaris Jenderal MTI Haris Muhammadun saat memberi keterangan pers mengenai Rapat Kerja Nasional MTI 2023 di Jakarta, Rabu (6/12/2023).
Kecelakaan travel gelap lebih tragis lagi, sebab menewaskan seluruh penumpang yang ada di dalam mobil Daihatsu Gran Max yang terbakar.
Kecelakaan ini juga mencerminkan angkutan gelap ternyata masih jadi pilihan warga meski menawarkan fasilitas yang tak diunggulkan angkutan resmi. Angkutan ilegal itu menyediakan layanan antarjemput dari pintu ke pintu, dari rumah ke rumah penumpang.
Saat masyarakat diawasi ketat, lanjut Haris, mereka pasti tidak akan memanfaatkan angkutan ilegal. Kejadian naas ini terjadi karena minimnya pengawasan dan penindakan terhadap angkutan gelap.
Menurut Haris, travel gelap dianggap lumrah karena tidak pernah ditindak. ”Pada akhirnya, siapa yang akan awasi travel gelap ini? Semestinya kepolisian kita ini yang bertanggung jawab penuh untuk menindak karena Kemenhub tak bisa menindak di lapangan,” ujar Haris.
Baca juga: Kecelakaan ”Travel” Gelap KM 58 Mengungkit Masalah Jaringan Transportasi Lokal
Hal senada diutarakan pakar transportasi dari Universitas Indonesia, Ellen Tangkudung. Angkutan gelap masih beroperasi karena minimnya jaringan transportasi umum di daerah yang mampu mengantar penumpang hingga ke tujuan akhir.
”Mereka yang naik travel gelap itu biasanya di daerah tujuannya tak dilayani kendaraan umum pengumpan yang optimal. Kalau naik bus pun, masih kebingungan untuk menyambung lagi sampai rumah. Ini membuat biaya perjalanan lebih mahal,” kata Ellen (Kompas.id, 16/4/2024).
Santunan kecelakaan
Dalam perjalanannya muncul lagi polemik terkait pemberian santunan dari PT Jasa Raharja bagi para korban. Organisasi Angkutan Darat (Organda) menolak pemberian santunan itu, sebab menurut mereka, hal itu tidak adil bagi pengelola angkutan yang selama ini tertib membayar iuran asuransi. Namun, seluruh ahli waris korban kecelakaan tetap menerima uang santunan dari pemerintah sebesar Rp 50 juta.
Direktur Operasional Jasa Raharja Dewi Aryani Suzana mengatakan, para korban berhak mendapatkan santunan karena insiden ini melibatkan kendaraan lain, bukan kecelakaan tunggal. Hal ini sesuai yang ditulis dalam Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.
”Kecelakaan atas dua kendaraan atau lebih itu dijamin UU 34 mendapat santunan dan tak melihat status kendaraannya. Korban luka dua orang juga dijaminkan ke rumah sakit dan ditanggung maksimal Rp 20 juta,” ujar Dewi.
Baca juga: Angkutan Gelap Berujung Kecelakaan, Membawa Duka Saat Lebaran
Keputusan ini tak disambut positif Ketua Bidang Angkutan Orang DPP Organda Kurnia Lesani Adnan. Ia menilai, Jasa Raharja semestinya memberi santunan kepada korban yang memang pantas disantuni. Seharusnya ada pembeda perlakuan antara angkutan resmi dan gelap. Berbeda dengan angkutan gelap, selama ini angkutan resmi selalu membayar iuran asuransi.
Pendapat serupa diutarakan Haris. Ia berpendapat, semestinya ada perbedaan nominal santunan bagi korban. Untuk angkutan resmi, korban berhak mendapat Rp 50 juta, tetapi korban penumpang angkutan gelap semestinya cukup diberi Rp 5 juta. Ini menyangkut keadilan bagi pengelola angkutan resmi dan ilegal.
”Menurut saya, kita ajari juga masyarakat jangan memilih travel gelap. Lakukan perbedaan dari sisi premi asuransi, santunan. Santunan diberi maksimal, ya ‘teriaklah’ Organda, apa bedanya orang yang mau usaha dan tak mau usaha?” kata Haris.
Guna menyiasati persoalan serupa, kata Haris, perlu ada kebijakan agar pemilik angkutan gelap bertanggung jawab penuh ketika kecelakaan terjadi. Kerugian harus ditanggung kantong pribadi pemilik angkutan.
Baca juga: Korban Kecelakaan Km 58 Diidentifikasi, ”Contraflow” Dinilai Berbahaya
Menurut akademisi Institut Transportasi dan Logistik Trisakti, Jakarta, Suripno, pemilik harus mengganti biaya santunan kepada Jasa Raharja. Namun, ia juga harus mengganti hak korban. Sebab, korban berhak menuntut haknya pada pihak yang bersalah, dalam hal ini pemilik angkutan. Hal ini diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Angkutan Jalan, tepatnya Pasal 240.
”Jadi (tuntutan) antarpersonal, antara korban dan pemilik kendaraan. Haknya dijamin UU. Ini yang belum banyak diketahui masyarakat, padahal korban bisa menuntut haknya kepada penyebab kecelakaan, sekalipun itu travel gelap,” ujar Suripno.
Persoalan angkutan gelap menunjukkan borok masalah transportasi kita. Masalah yang tak dituntaskan dari akarnya, justru mengakibatkan masalah-masalah domino lainnya. Tak hanya status legalitas angkutan, tetapi hingga santunan yang layak diberikan pada korban ketika kecelakaan terjadi.