Simpang Siur Arahan Erick Thohir dan ”Dilema” BUMN Jaga Rupiah
Posisi BUMN ”dilematis” antara ikut meredam pelemahan rupiah sembari menjaga operasional usaha dan pelayanan publik.
Di tengah ketidakpastian geopolitik meninggi akibat eskalasi konflik di Timur Tengah, menteri-menteri di kabinet Joko Widodo untuk sesaat saling berbeda pendapat tentang strategi mengantisipasi dampak gejolak ekonomi dan pelemahan rupiah di dalam negeri.
Penyebabnya adalah pernyataan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir dalam menyikapi kondisi pelemahan rupiah. Dalam keterangan resminya, Kamis (18/4/2024), Erick meminta kepada BUMN yang bahan bakunya berasal dari impor dan porsi utang luar negeri yang besar untuk ”mengoptimalkan pembelian dollar AS dalam jumlah besar dan dalam waktu singkat”.
Baca juga: Kurangi Dampak Dollar, Dunia Usaha Diimbau Gunakan Mata Uang Lokal
BUMN yang dimaksud antara lain PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), BUMN farmasi, dan MIND ID (Mining Industry Indonesia).
Arahan Erick kepada perusahaan BUMN itu untuk menyikapi kondisi pelemahan rupiah terhadap dollar AS akibat kebijakan pengetatan moneter Amerika Serikat dan eskalasi konflik di kawasan Timur Tengah. Erick memperkirakan jika tensi geopolitik tidak menurun, nilai tukar rupiah berpotensi mencapai lebih dari Rp 16.500 per dollar AS, di atas kisaran Rp 16.000-Rp 16.300 per dollar AS seperti akhir-akhir ini.
Rupiah yang terus melemah itu berdampak pada semakin mahalnya biaya impor bahan baku dan pangan karena gangguan rantai pasok serta menggerus neraca perdagangan Indonesia.
Oleh karena itu, Erick meminta BUMN melakukan langkah cepat dalam meminimalisasi dampak global melalui peninjauan ulang biaya operasional belanja modal, utang yang akan jatuh tempo, rencana aksi korporasi, serta melakukan uji stres dalam melihat kondisi BUMN dalam situasi terkini.
Tentu kalau situasi dollar lagi menguat, tidak bijaksana kalau kita beli dollar di harga tinggi.
Tidak bijaksana
Dalam konferensi pers untuk menyikapi kondisi perekonomian terkini pasca-serangan Iran ke Israel, Kamis, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menanggapi pertanyaan media tentang arahan Erick Thohir itu.
Airlangga mengatakan, dalam kondisi dollar AS sedang menguat, semestinya BUMN bisa menahan pembelian dollar AS dalam jumlah banyak. ”Tentu kalau situasi dollar lagi menguat, tidak bijaksana kalau kita beli dollar di harga tinggi karena kita perlu meredam kebutuhan terhadap dollar,” katanya. Ia juga meminta agar di tengah situasi seperti ini, BUMN bisa menahan impor yang bersifat konsumtif.
Senada dengan Airlangga, di kesempatan yang sama, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara juga mengimbau agar BUMN bisa menahan impor yang tidak mendesak. ”Saya senang sekali karena BUMN juga melakukan pengendalian (terhadap pelemahan rupiah). Namun, kalau (impor) diperlukan ya silakan saja. Namun, kalau sifatnya konsumtif, ya kita tahan dulu,” ujarnya.
Di tengah kondisi rupiah yang melemah terhadap dollar AS, aksi ”membeli” dollar AS atau menukarkan rupiah ke dollar AS bisa berdampak pada semakin melemahnya nilai tukar rupiah. Aksi melepas rupiah justru membuat permintaan dan kebutuhan akan dollar AS meningkat di pasaran sehingga membuat dollar AS semakin menguat.
Baca juga: Rupiah Tembus Rp 16.240, Terbuka Dua Opsi Kebijakan Moneter
Keesokan harinya, pada Jumat (19/4/2024), Erick Thohir menampik bahwa ia meminta perusahaan-perusahaan BUMN untuk ”memborong” dollar AS di tengah kondisi pelemahan rupiah. Menurut Erick, arahan dia kepada BUMN adalah membeli dollar AS secara optimal, terukur, dan sesuai kebutuhan.
Ia meminta BUMN untuk mengendalikan belanja dan impor yang tidak mendesak serta tidak membeli dollar dan menumpuk secara berlebihan. ”Jadi, bukan memborong (dollar AS). Intinya, jangan sampai berlebihan, kita harus bijaksana dalam menyikapi kenaikan dollar saat ini,” ungkap Erick.
Posisi BUMN dilematis
Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto, mengatakan, posisi BUMN kerap dilematis di tengah pelemahan rupiah. Mereka ”terbelah” antara mandat untuk ikut meredam pelemahan rupiah sembari tetap harus menjamin keberlanjutan operasional dan memberi layanan bagi publik. Sebab, kenyataannya, banyak BUMN strategis yang bahan bakunya berasal dari impor.
Sebut saja Pertamina yang harus mengimpor minyak mentah untuk bahan bakar minyak. Jika Pertamina tidak punya cadangan dollar AS yang cukup, mereka akan sulit mengimpor bahan bakar untuk memenuhi pasokan dalam negeri. Contoh lain PT Pupuk Indonesia yang jika tidak mengimpor bahan baku pupuk, hal itu bisa mengganggu produksi pangan di dalam negeri
.
Posisi BUMN kerap dilematis di tengah pelemahan rupiah.
Yang dihindari itu kalau aksinya spekulatif. Misalnya, BUMN borong dollar AS bukan untuk kebutuhan, tetapi karena berharap depresiasi rupiah akan semakin dalam dan mereka bisa mendapat keuntungan dari pembelian dollar AS ketika sedang menguat seperti sekarang,” kata Toto.
Menurut dia, alih-alih ”memborong” dollar AS, perusahaan-perusahaan BUMN sebaiknya melakukan kontrak transaksi lindung nilai (hedging) untuk melindungi risiko keuangan mereka terhadap volatilitas nilai tukar. Apalagi, di tengah kondisi keuangan global yang serba tidak pasti seperti saat ini.
Misalnya dengan melakukan transaksi kontrak forward atau melakukan kontrak pembelian atau impor bahan baku sejak sekarang yang pembayarannya dilakukan beberapa bulan mendatang dengan harapan nilai tukar rupiah sudah lebih menguat.
”Dalam situasi tidak stabil seperti sekarang, apalagi sejak perang Rusia-Ukraina, BUMN terpapar pada kemungkinan biaya operasional yang terus melonjak tinggi. Karena itu, mereka tentu harus melindungi posisi keuangannya dan menyeimbangkan kepentingan impor bahan baku dan mengatur pengeluaran mereka yang rentan terhadap perubahan nilai tukar,” ujar Toto.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga menyarankan agar BUMN dan korporasi swasta bisa mengoptimalkan transaksi hedging agar tidak perlu ”panik” membeli dollar AS di tengah kondisi saat ini serta justru berpotensi semakin melemahkan rupiah.
”Selain itu, para importir juga perlu mengoptimalkan transaksi local currency (LCT) yang juga akan memitigasi fluktuasi nilai tukar, terutama dengan negara-negara yang sudah memiliki kesepakatan dengan Indonesia terkait LCT,” katanya.