Lonjakan Harga Minyak Diprediksi Jangka Pendek, tetapi Bisa Bikin APBN Jebol
Pemerintah masih melihat situasi ini dalam jangka pendek. Namun, jika harga minyak melonjak, negara tak diuntungkan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan harga minyak mentah seiring terjadinya konflik antara Iran dan Israel dinilai bersifat jangka pendek dan masih akan bergantung pada reaksi Israel atas Iran. Namun, dari simulasi yang dilakukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, jika harga minyak mentah Indonesia atau ICP menjadi 100-110 dollar AS per barel, subsidi dan kompensasi BBM dan elpiji bakal membengkak.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji, dalam diskusi daring tentang dampak konflik Iran-Israel terhadap ekonomi RI, yang digelar Perkumpulan Eisenhower Fellowship Indonesia, Senin (15/4/2024), mengatakan, saat ini pemerintah memandang situasi masih bersifat jangka pendek.
”Kita perlu berhati-hati karena prediksi yang lebih panjang saya pikir akan kurang akurat. Ini akan bergantung dari reaksi investor, produsen, dan konsumen dalam menilai risiko ke depan. Misalnya, bagaiman potensi respons Israel akan memengaruhi persepsi kemungkinan terjadinya eskalasi pasar. Ke depan, harga minyak sudah mengandung risiko geopolitik,” ujar Tutuka.
Namun, dengan tren harga minyak yang sudah naik sejak awal 2024, ditambah terjadinya konflik Iran dan Israel, Tutuka juga sependapat jika harga minyak akan berada di sekitar 100 dollar AS per barel. Namun, perlu dilihat lebih dulu reaksi Israel dan Amerika Serikat.
Kita perlu berhati-hati.
Pihaknya juga telah membuat simulasi apa yang akan terjadi jika harga minyak Indonesia (ICP) menyentuh 100-110 dollar AS per barel, atau jauh di atas ICP Maret 2024, yakni 83,79 dollar AS per barel. Saat itu terjadi, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) akan meningkat, tetapi subsidi energi dan kompensasi energi akan melonjak jauh lebih tinggi.
Dari hitungannya, jika harga minyak mentah Indonesia (ICP) naik menjadi 100 dollar AS per barel, dengan kurs Rp 15.900 per dollar AS, total subsidi serta kompensasi bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji akan naik dari Rp 244,18 triliun (asumsi APBN 2024) menjadi Rp 356,14 triliun. Sementara jika ICP 110 dollar AS per barel, kenaikannya akan menjadi Rp 404,21 triliun.
Di sisi lain tren ICP dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Kenaikan ICP dan kurs rupiah terhadap dollar AS itu bisa berdampak buruk. ”Keduanya ini sangat tidak menguntungkan jika dilihat pengaruhnya ke Indonesia,” kata Tutuka.
Kondisi itu tak terlepas dari pengaruh setiap pergerakan ICP pada penerimaan dan pengeluaran negara. "Setiap kenaikan ICP 1 dollar AS per barel akan berdampak pada kenaikan PNBP sekitar Rp 1,8 triliun. Namun, ini juga berdampak pada kenaikan subsidi (energi) sekitar Rp 1,8 triliun dan kompensasi Rp 5,3 triliun. Sangat besar," kata Tutuka
Sementara setiap kenaikan Rp 100 kurs rupiah terhadap dollar AS, akan berdampak pada kenaikan PNBP Rp 1,8 triliun. Di sisi lain, juga subsidi energi meningkat Rp 1,2 triliun dan kompensasi energi sebesar Rp 3,9 triliun.
Sejauh ini, imbuh Tutuka, kebijakan pemerintah juga masih sesuai dengan apa yang pernah disampaikan, yakni tidak akan ada kenaikan harga BBM hingga Juni 2024. ”Masih seperti itu. Kami masih berpikiran ini jangka pendek. Selain itu, ada kecenderungan banyak pihak di dunia menginginkan harga (minyak) tidak terlalu tinggi,” ujarnya.
Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fadjar Djoko Santoso menuturkan, pihaknya terus memantau situasi yang sedang berkembang. Namun, ia menekankan bahwa pergerakan harga minyak dunia sejatinya memang fluktuatif dan bukan baru terjadi kali ini sehingga Pertamina terus menyiapkan sejumlah langkah mitigasi.
”Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengendalikan biaya juga terus dilakukan, seperti pemilihan minyak mentah yang optimal, pengelolaan inventory (persediaan), dan efisiensi biaya pengangkutan. Juga memaksimalkan produksi high valuable product sehingga ketahanan energi nasional tidak terganggu,” kata Fadjar.
Saat dikonfirmasi mengenai kemungkinan penyesuaian harga BBM nonsubsidi oleh Pertamina, seiring potensi terus meningkatnya harga minyak dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, Fadjar hanya menjawab, ”Saat ini harga masih sama,” katanya.
Tunggu respons
Praktisi sekaligus pemerhati minyak dan gas bumi (migas), Hadi Ismoyo, dihubungi dari Jakarta, Senin, berpendapat, serangan Iran terhadap Israel pada Minggu (15/4/2024) memang memengaruhi situasi perdagangan minyak global sehingga ada kecenderungan harga pasti naik. Namun, dengan perkembangan situasi saat ini, peningkatan harga belum begitu signifikan.
Ia juga tidak yakin dengan sejumlah prediksi yang menyebut harga minyak yang bakal mencapai lebih dari 100 dollar AS per barel. ”Bagaimanapun, ekonomi dunia belum pulih dan berjalan lambat (sehingga tak akan mendorong signifikan permintaan). Jadi, kenaikan saat ini masih bersifat parsial. Kalaupun nantinya mendekati 100 dollar AS per barel, tak akan terlalu lama,” kata Hadi.
Semua pihak saat ini relatif menunggu akan seperti apa eskalasi konflik yang terjadi di Timur Tengah, termasuk reaksi dari Israel. Kenaikan harga minyak secara signifikan baru akan terjadi jika konflik terus berlanjut serta melibatkan sejumlah negara lain, yang membuat perang dunia meletus. Namun, sejauh ini, itu tidak terjadi.
Kenaikan saat ini masih bersifat parsial. Kalaupun nantinya mendekati 100 dollar AS per barel, tak akan terlalu lama.
Itu, antara lain, terbukti pada pembukaan perdagangan di Asia Senin (15/4/2024) pagi. Mengutip Reuters, minyak Brent berjangka untuk pengiriman Juni turun 24 sen menjadi 90,21 dollar AS per barel. Sementara minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei turun 38 sen menjadi 85,28 dollar AS per barel.
Sebelumnya, harga minyak memang naik saat Israel bersiaga menghadapi ancaman serangan Iran menyusul serangan terhadap kompleks diplomatik Iran di Damaskus, Suriah, yang menewaskan sejumlah orang di sana. Iran, yang menyalahkan Israel, lalu benar-benar meluncurkan setidaknya 200 pesawat nirawak (drone) dan rudal ke wilayah Israel pada Minggu (14/4/2024).
”Pada titik ini, jelas, pasar minyak tak melihat adanya kebutuhan untuk memperhitungkan ancaman penambahan pasokan (minyak),” kata analis energi, Vandana Hari, dikutip dari BBC.
Dalam menghadapi serangan Iran, Israel mengklaim telah menggagalkannya. Akan tetapi, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengatakan bahwa konfrontasi dengan Iran belumlah berakhir.
”Saya pikir, kita akan melihat volatilitas secara alamiah. Jika ada serangan balik dari Israel, saya pikir, pasar energi bakal meningkat dengan pesat,” kata Peter McGuire dari trading platform XM.com kepada BBC.
Berdasarkan data Trading Economics, kenaikan harga minyak Brent terjadi sejak pertengahan Maret 2024, yakni dari 81,6 dollar AS per barel pada 12 Maret menjadi 86,6 dollar AS per barel pada 19 Maret. Selanjutnya, harga masih meningkat hingga 91,1 dollar AS per barel pada 5 April 2024. Pada Senin (15/4), perdagangan Brent dibuka 90,1 dollar AS per barel, turun dari Minggu yang 90,55 dollar AS per barel.