Para terdakwa dalam kasus korupsi pengelolaan timah di wilayah IUP PT Timah Tbk wajib membayar kerugian negara.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aktivitas penambangan timah ilegal pada wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Timah Tbk di Provinsi Bangka Belitung disinyalir telah merugikan negara hingga Rp 271 triliun. Nilai kerugian ini mencakup berbagai macam kerusakan lingkungan yang dipicu aktivitas tambang ilegal.
Nilai kerugian Rp 271 triliun tersebut muncul dari kalkulasi saksi ahli yang dihadirkan Kejaksaan Agung sebagai penyidik dalam kasus ini, yakni akademisi dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Bambang Hero Saharjo.
Berdasarkan penghitungan Bambang, aktivitas penambangan timah yang dilakukan tidak sesuai dengan regulasi di area izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk, selama periode 2015-2022, menyebabkan kerugian dalam empat aspek.
Ganti rugi dibayar kepada negara untuk digunakan dalam rangka restorasi dan rehabilitasi, baik lingkungan maupun sosial, terhadap area-area yang dianggap rusak.
Pertama, kerugian lingkungan atau ekologis senilai Rp 157,83 triliun. Kedua, kerugian ekonomi lingkungan senilai Rp 60,27 triliun. Keempat, kerugian di luar kawasan hutan senilai Rp 47,7 triliun. Keempat, biaya pemulihan lingkungan senilai Rp 5,25 triliun.
Dihubungi pada Rabu (3/4/2024), pengamat hukum pertambangan dari Universitas Tarumanagara, Ahmad Redi, menilai, jika pengadilan bisa membuktikan adanya kerugian negara, para terdakwa dalam kasus korupsi pengelolaan timah di wilayah IUP PT Timah Tbk wajib membayar kerugian tersebut.
”Jadi, dalam proses hukum, pertanggungjawaban pidana, ya, kepada terdakwa. Ganti rugi dibayar kepada negara untuk digunakan dalam rangka restorasi dan rehabilitasi, baik lingkungan maupun sosial, terhadap area-area yang dianggap rusak,” ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, Kejaksaan Agung telah menetapkan 16 tersangka, baik dari pihak swasta maupun PT Timah. Kasus timah ini turut menyeret nama-nama populer, seperti suami dari aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis, dan Helena Lim, perempuan yang dikenal sebagai crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK).
Adapun pihak di internal PT Timah yang telah ditetapkan sebagai tersangka adalah Direktur Utama PT Timah Tbk periode 2016-2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Direktur Keuangan PT Timah Tbk periode 2017-2018 Emil Ermindra, dan Direktur Operasional (2017, 2018, 2021) serta Direktur Pengembangan Usaha (2019-2020) PT Timah Tbk Alwin Albar.
Redi menambahkan, penghitungan kerugian dilakukan sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
”Biaya kerugian meliputi banyak instrumen lingkungan, di antaranya dana untuk menghidupkan fungsi tata air, pembentukan tanah, pendaur ulang unsur hara, fungsi pengurai limbah, biodiversitas (keanekaragaman hayati), sumber daya genetik, dan pelepasan karbon,” kata Redi.
Alur korupsi
Kompas mencatat, keterlibatan PT Timah dimulai dari jalinan kesepakatan antara Direktur Utama Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan perusahaan swasta PT Refined Bangka Tin melalui campur tangan Harvey Moeis pada 2018. Kesepakatan ini menjadi awal dimulainya aktivitas penambangan ilegal yang dibungkus dengan aktivitas sewa-menyewa peralatan pemrosesan timah.
Selain PT Refined Bangka Tin, terdapat pula sejumlah perusahaan swasta lain yang turut terlibat dalam aktivitas tambang ilegal ini, antara lain PT Tinindo Inter Nusa, CV Venus Inti Perkasa, dan PT Quantum Skyline Exchange.
Secara teknis, kerja sama antara PT Timah Tbk dan pihak swasta dilakukan secara ilegal untuk menghasilkan timah yang dibeli kembali oleh PT Timah Tbk. Bijih timah hasil penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk dikumpulkan di perusahaan yang dibentuk sebagai perusahaan ”boneka”.
Untuk melegalkan kegiatan perusahaan boneka, PT Timah Tbk menerbitkan surat perintah kerja yang seolah memperlihatkan adanya kegiatan pengangkutan sisa hasil mineral timah secara borongan. Akibat dari kegiatan tersebut, negara yang dalam hal ini perseroan pun mengalami kerugian.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR di Jakarta, Selasa (2/4/2024), Direktur Utama PT Timah Tbk Ahmad Dani Virsal mengaku sama sekali tidak terlibat dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah wilayah IUP PT Timah Tbk tahun 2015 hingga 2022 yang tengah ditangani Kejaksaan Agung.
Dani yang mulai menjabat sebagai Direktur Utama PT Timah sejak 15 Juni 2023 mengklaim di era kepemimpinannya, perseroan telah mereformasi organisasi dengan melakukan penataan ulang terhadap tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) serta kewenangan jajaran direksi hingga manajerial.
Tak hanya itu, ia juga mengatakan bahwa PT Timah berupaya melakukan sejumlah perbaikan di beberapa sistem internal untuk mempercepat keputusan dan memberikan kepastian. Dengan begitu, kata Ahmad, produk yang dihasilkan PT Timah bisa terukur dan ditelusuri dengan baik.
Jadi, saat ini, dari mana asal-usul dan ke mana produk yang akan kami jual dapat kami telusuri dengan mudah sehingga kasus serupa di masa depan dapat dihindari.
”Jadi, saat ini, dari mana asal-usul dan ke mana produk yang akan kami jual dapat kami telusuri dengan mudah sehingga kasus serupa di masa depan dapat dihindari,” kata Dani.
Pihak perseroan saat ini masih melakukan proses investigasi terkait apa yang terjadi di perusahaan selama lima tahun terakhir, termasuk kontrak dan kerja sama dengan mitra. ”Saat ini tengah kami dalami, kami investigasi internal kontrak-kontrak dan kerja sama yang sudah ada,” ujar Dani.