Rupiah Merosot hingga Rp 15.873 Per Dollar AS, Ongkos Produksi Berpotensi Meningkat
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berpotensi meningkatkan ongkos produksi di dalam negeri.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rupiah masih berfluktuasi dengan kecenderungan melemah menembus level Rp 15.873 per dollar AS dan sekaligus mencatatkan pelemahan tertinggi selama 2024. Hal ini ditengarai akan berdampak pada iklim usaha dalam negeri yang masih bergantung terhadap impor bahan baku, terutama dari segi ongkos produksi.
Merujuk data Jakarta Interbank Spor Dollar Rate (Jisdor), pergerakan rupiah pada penutupan pasar Kamis (28/3/2024) berada pada level Rp 15.873 per dollar AS atau melemah 2,6 persen dibandingkan dengan awal tahun 2024 yang mencapai Rp 15.473 per dollar AS. Pergerakan nilai tukar rupiah tersebut salah satunya dipengaruhi oleh keluar-masuknya investasi portofolio di pasar keuangan domestik.
Berdasarkan data settlement periode awal tahun hingga 27 Maret 2024, investor asing di pasar keuangan domestik membukukan beli neto mencapai Rp 15,64 triliun. Jumlah tersebut berasal dari keluarnya modal asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 33,1 triliun, serta masuknya modal asing di pasar saham dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), masing-masing Rp 28,90 triliun dan Rp 20,05 triliun.
Meski secara keseluruhan investor asing masih mencatatkan beli neto, akumulasi investasi portofolio nonresiden di pasar keuangan turun sekitar Rp 9,28 triliun dibandingkan dengan pekan lalu. Per 21 Maret 2024, modal asing di pasar keuangan domestik membukukan beli neto senilai Rp 24,92 triliun yang terdiri dari aksi jual neto di pasar SBN sebesar Rp 24,92 triliun, dan beli neto di pasar saham dan di SRBI, masing-masing sebesar Rp 27,93 triliun dan Rp 21,93 triliun.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah saat ini tidak lepas dari sentimen kebijakan suku bunga bank sentral AS, The Fed. Hal itu menyebabkan arus modal investasi portofolio mengalir ke AS yang pada gilirannya membuat dollar AS menguat.
”Pelemahan rupiah belakangan ini dipicu oleh The Fed yang tampaknya akan melanjutkan penahanan tingkat suku bunga. Penurunan suku bunga oleh The Fed tahun ini tampaknya akan tertunda, sehingga kemudian menyebabkan dollar AS relatif menguat terhadap berbagai mata uang, termasuk rupiah,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (30/3/2024).
Menurut Riefky, pelemahan nilai tukar rupiah memang akan berdampak terhadap para pelaku usaha domestik, terutama yang berkaitan dengan aktivitas ekspor-impor. Namun, dampak yang dirasakan oleh para pelaku usaha akan lebih terasa ketika pergerakan nilai tukar rupiah tidak stabil atau berfluktuasi.
Beberapa dampak yang akan dirasakan oleh para pelaku usaha, antara lain meningkatnya biaya untuk melindungi risiko (hedging) dan biaya impor barang. Bagi para importir, aspek terpenting untuk menjaga iklim usaha tetap kondusif ialah stabilitas nilai tukar.
”Dari segi eksportir mungkin akan menikmati keuntungan, tetapi ini perlu diingat juga bahwa nilai tukar saat ini cukup volatile. Tentu akan menyulitkan mereka untuk membuat perencanaan dan pengukuran, baik revenue (pendapatan) maupun cost (biaya) ke depannya. Ini juga mengakibatkan ongkos hedging meningkat,” tutur Riefky.
Mau bagaimana, ya, kita waktu itu memang sudah wanti-wanti, kita sangat khawatir dengan kondisi pelemahan nilai tukar seperti ini. Ini jelas berpengaruh sekali (terhadap dunia usaha).
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menyampaikan, pelemahan nilai tukar rupiah memang akan berpengaruh terhadap iklim usaha domestik, terutama mereka yang bergantung kepada impor bahan baku dan bahan penolong. Pelaku usaha yang akan terdampak tersebut berasal dari sektor industri, terutama industri manufaktur yang dalam proses produksinya 70 persen bahan baku dan bahan penolong berasal dari impor.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor bahan baku dan barang modal per Februari 2024 meningkat masing-masing 12,82 persen dan 18,52 persen secara tahunan. Peningkatan tersebut mengindikasikan mulai aktivitas produksi yang menggeliat seiring dengan peningkatan permintaan konsumen selama bulan Ramadhan.
”Mau bagaimana, ya, kita waktu itu memang sudah wanti-wanti, kita sangat khawatir dengan kondisi pelemahan nilai tukar seperti ini. Ini jelas berpengaruh sekali (terhadap dunia usaha),” kata Shinta saat ditemui di Menara Kompas, Jakarta, Kamis (28/32024).
Kendati demikian, pelemahan nilai tukar rupiah tersebut tidak lepas dengan kondisi lain, seperti tingkat suku bunga yang tinggi dan cenderung tetap dipertahankan. Terkait dengan hal itu, besar harapan para pelaku usaha era suku bunga tinggi tersebut dapat segera berakhir.
Shinta menambahkan, pemerintah dan otoritas terkait dapat mengatasi gejolak nilai tukar rupiah tersebut melalui langkah intervensi. ”Kalau ditanya (pelemahan nilai tukar) berpengaruh, pastinya akan berpengaruh. Sudah pasti (berpengaruh kepada ongkos produksi),” ucapnya.