Badan Penerimaan Negara Bukan ”Panasea” Masalah Pajak
Belajar dari negara lain, pemisahan otoritas penerimaan negara dari Kementerian Keuangan tidak selalu berujung ideal.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
Presiden dan wakil presiden peraih suara terbanyak Pemilu 2024, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, ingin memisahkan otoritas penerimaan negara dari Kementerian Keuangan. Namun, sejumlah kalangan mengingatkan, pembentukan Badan Penerimaan Negara bukan ”panasea” atau obat mujarab satu-satunya untuk mengatasi berbagai masalah pajak.
Salah satu alasan yang melatarbelakangi rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) di era Prabowo-Gibran adalah rendahnya tingkat rasio perpajakan di Indonesia yang dalam satu dekade terakhir cenderung stagnan di kisaran 10 persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional. Idealnya, negara berkembang memiliki rasio perpajakan 15 persen.
Rasio perpajakan adalah persentase penerimaan perpajakan (pajak dan bea cukai) terhadap PDB nasional. Kenaikan rasio perpajakan sangat krusial dalam proses pembangunan. Ibarat mengelola dompet pribadi, jika penghasilan naik, seseorang tidak perlu hidup irit (frugal), bahkan berutang, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Demikian pula, semakin tinggi nilai rasio perpajakan, semakin tinggi pendapatan yang dimiliki negara, semakin mampu pula pemerintah mengeksekusi berbagai program dan kebijakan pembangunan secara mandiri tanpa harus bergantung pada utang.
Tingkat utang Indonesia sampai hari ini memang masih di bawah batas aman yang ditentukan. Rasio utang pemerintah pada tahun 2023 adalah 38,6 persen terhadap PDB, turun dari sebelumnya 39,7 persen pada 2022. Adapun batas aman rasio utang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Keuangan Negara adalah maksimal 60 persen.
Namun, tanda-tanda peringatan sudah muncul. Beban pembayaran bunga utang (di luar pokok utang) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 telah menyentuh Rp 497,3 triliun. Hampir Rp 500 triliun. Nyaris setara dengan jumlah defisit APBN (proyeksi belanja negara yang akan dibiayai lewat utang) sebesar Rp 522,8 triliun.
Kinerja SUNAT menurun setelah Presiden Fujimori menggeser kebijakan belanja dari awalnya penuh disiplin menjadi lebih populis.
Alokasi anggaran untuk membayar bunga utang negara itu sudah menjadi yang tertinggi di atas jenis belanja lainnya dalam komponen belanja pemerintah pusat. Jauh lebih besar dari total alokasi anggaran kesehatan (Rp 187,5 triliun), anggaran perlindungan sosial (Rp 496,8 triliun), anggaran infrastruktur (Rp 423,4 triliun), dan sedikit lagi menyamai total anggaran pendidikan (Rp 665 triliun).
Kenaikan tidak signifikan
Dalam berbagai kesempatan, Prabowo-Gibran menjanjikan rasio penerimaan negara akan dinaikkan secara drastis hingga 23 persen dari PDB dalam lima tahun ke depan. Itu merupakan gabungan dari kinerja penerimaan pajak, bea dan cukai, sampai penerimaan bukan pajak. Berkali-kali pula, BPN digadang-gadang bakal menjadi solusi untuk mencapai target itu.
Pendiri dan konsultan pajak dari PT Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman, mengatakan, berdasarkan kajian yang pernah dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, otoritas pajak yang independen atau semi-independen (tidak di bawah Kemenkeu) memang berdampak pada kenaikan penerimaan negara.
Namun, kenaikannya tidak signifikan. ”Angka kenaikannya hanya sekitar 3 persen. Kalau mau menaikkan tax ratio kita menjadi 23 persen, tidak mungkin bisa tercapai hanya sekadar dengan membentuk otoritas pajak baru. Harus ada upaya terobosan lain,” tutur Raden saat dihubungi, Sabtu (30/3/2024).
Belajar dari negara lain, efek pemisahan otoritas penerimaan dari Kemenkeu terhadap rasio perpajakan memang tidak selalu ideal. Ambil contoh, Peru, yang pada tahun 1991 memisahkan otoritas pajaknya (kecuali bea cukai) dari Kemenkeu, lalu membentuk National Tax Administration Super Intendency (SUNAT).
Lembaga baru itu memiliki model kedudukan yang serupa dengan bank sentral. Posisinya langsung di bawah Presiden Peru saat itu yang menginisiasi pemisahan otoritas pajak, Alberto Fujimori.
Mengutip kajian ”Are Semi-Autonomous Revenue Authorities the Answer to Tax Administration Problems in Developing Countries?” dari US Agency for International Development, setelah pembentukan SUNAT, total rasio penerimaan Peru naik 2,59 persen dalam lima tahun, yaitu dari 10,10 persen (tahun 1992) menjadi 12,69 persen terhadap PDB (tahun 1997).
Namun, kinerja SUNAT menurun setelah Presiden Fujimori menggeser kebijakan belanjanya dari yang awalnya penuh disiplin menjadi lebih populis demi menggalang dukungan dari masyarakat miskin.
Pembentukan SARA bukan ‘panasea’, Ada syarat yang perlu dipenuhi, seperti menjaga disiplin fiskal, komitmen politik, dan mencegah korupsi.
Kasus lain di Tanzania dengan pembentukan Tanzania Revenue Authority (TRA) menunjukkan hasil yang lebih mengecewakan. Sejak dibentuk 1995, rasio perpajakan hanya naik dari 11,31 persen (1995-1996) menjadi 12,15 persen (1996-1997). Namun, setelah itu, rasio perpajakan kembali turun ke 10-11 persen, semakin jauh dari target rezim saat itu sebesar 13,3 persen.
Salah satu alasan yang membuat rasio perpajakan Tanzania tetap rendah adalah basis pajaknya yang sempit. Mayoritas komponen pembentuk PDB di Tanzania berasal dari sektor pertanian yang sulit dipajaki. Sektor informal juga tercatat masih sangat tinggi di negara itu sehingga menambah tax gap (selisih antara potensi penerimaan dan realisasi penerimaan pajak).
BPN bukan “panasea”
Peneliti pajak di Center for Indonesia Taxation Analysis, Fajry Akbar, menyebutkan contoh lain, seperti Uganda, yang sempat menaikkan rasio perpajakannya dari 7 persen ke 12 persen tahun 1999. Namun, kasus korupsi yang marak membuat pembentukan otoritas pajak yang otonom di negara itu gagal. Pada 2021, rasio perpajakannya turun menjadi 10,7 persen.
Menurut Fajry, pembentukan Semi-Autonomous Revenue Authority (SARA) yang terpisah dari Kemenkeu bukan sebuah ”panasea” atau obat mujarab terhadap masalah pajak. Ia mencontohkan kasus yang terjadi di Peru saat kinerja SUNAT menurun akibat presiden saat itu mengubah kebijakan fiskalnya menjadi lebih populis demi kepentingan politik.
”Meski sempat berhasil, SUNAT kemudian gagal akibat tidak ada komitmen politik dari elite pemerintahan. Jadi, pembentukan SARA bukan sebuah ’panacea’, Ada syarat dan hal-hal lain yang perlu dipenuhi,” paparnya.
Hal itu, antara lain, menjaga komitmen untuk tetap mempertahankan kebijakan fiskal yang disiplin, melakukan modernisasi administrasi, menjamin dukungan dan komitmen politik, serta mencegah praktik korupsi. Beberapa kasus pembentukan SARA di negara lain gagal akibat praktik korupsi yang justru merajalela pascapemisahan otoritas perpajakan dari Kemenkeu.
Syarat lainnya adalah koordinasi yang erat dengan Kemenkeu serta menjalin hubungan baik dengan pembayar pajak. Oleh karena itu, belajar dari pengalaman negara lain dan menakar kondisi sistem politik dan ekonomi dalam negeri perlu studi dan diskusi publik yang mendalam terlebih dahulu sebelum rezim Prabowo membentuk BPN.
”Tentu kita tidak mau pembentukan badan ini menjadi sia-sia, mengingat pentingnya penerimaan pajak dan biaya pembentukan lembaga baru yang tidak kecil pula,” kata Fajry.