Berbagai Alasan Mengapa Karyawan Memutuskan Mengundurkan Diri
Karyawan kantoran saat ini rata-rata menghabiskan waktu 6 jam per hari untuk memikirkan bayar-membayar biaya hidup.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Posisi kerja yang tidak aman, upah yang tak adil, dan budaya kerja organisasi yang buruk merupakan tiga faktor utama yang membuat karyawan enggan tetap bertahan bekerja di suatu perusahaan.
Director of Career Services Mercer Indonesia Isdar Marwan mengatakan, tidak adanya kepastian terhadap posisi pekerjaan di kantor atau job security selama bertahun-tahun telah menduduki peringkat pertama alasan seorang karyawan enggan bertahan di suatu perusahaan. Akan tetapi, peringkat kedua dan seterusnya sering kali berubah-ubah.
Dari temuan riset Mercer terbaru, job security masih menempati peringkat pertama. Karyawan yang merasa posisinya sudah tidak aman, seperti ada kabar pemutusan hubungan kerja masif di tempat kerjanya, akan segera memutuskan mencari tempat baru.
Alasan kedua adalah upah yang tidak adil (fair pay). Tahun sebelumnya, peringkat kedua adalah model bekerja yang tidak fleksibel. Alasan ketiga adalah buruknya budaya kerja organisasi (work culture), masih sama seperti temuan riset Mercer tahun sebelumnya.
Urusan domestik
Ada kecenderungan karyawan sekarang semakin menginginkan gaji yang adil untuk tetap bertahan di suatu perusahaan. Berdasarkan riset Mercer yang lain, yaitu Global Talent Trends 2024, karyawan memiliki perasaan 2,2 kali lebih besar untuk tergantikan pada 2022. Selain itu, karyawan juga memiliki perasaan 2,9 kali lebih besar untuk bekerja semata-mata demi mendapatkan gaji dibandingkan pada 2022.
Laporan riset Global Talent Trends 2024 berisi hasil survei lebih dari 12.200 responden dari 16 sektor industri di 17 negara. Di antara jumlah responden sebanyak itu, sebanyak 9.449 orang berlatar belakang karyawan.
Masih dari Global Talent Trends 2024, sebanyak 3 dari 10 karyawan di Asia berencana untuk mengundurkan diri dalam 12 bulan mendatang. Sebanyak 42 persen karyawan menyampaikan bahwa manajemen tidak bisa memenuhi apa yang mereka butuhkan.
Riset yang berbeda, Isdar menambahkan, menemukan seorang karyawan kantoran saat ini rata-rata menghabiskan waktu 6 jam sehari setiap sebulan untuk memikirkan urusan bayar-membayar kebutuhan sehari-hari. Misalnya, urusan bayar sekolah anak dan pajak.
Jika job securitykaryawan di suatu perusahaan sudah terganggu diikuti manajemen tidak menerapkanfair pay, well-being karyawan bersangkutan sudah dalam kondisi tidak baik.
”Jika job security karyawan di suatu perusahaan sudah terganggu diikuti manajemen tidak menerapkan fair pay, well-being karyawan bersangkutan sudah dalam kondisi tidak baik,” ujarnya dalam konferensi pers peluncuran laporan riset Global Talent Trends 2024, Rabu (27/3/2024), di Jakarta.
Terkait budaya kerja organisasi yang membuat seorang karyawan tetap bertahan di suatu perusahaan, menurut Isdar, sudah lama menjadi variabel yang selalu muncul. Budaya di suatu kantor yang kerap diwarnai gosip dan menyebarnya cerita pribadi akan memicu karyawan tertentu tidak cocok lalu memutuskan pindah ke kantor lain.
Kepercayaan merosot
Saat ini pun secara global sedang terjadi fenomena penurunan kepercayaan karyawan terhadap perusahaan. Isdar menyebutkan, sesuai penelitian Mercer, tingkat kepercayaan karyawan terhadap bisnis perusahaan tempatnya bekerja turun dari 85 persen pada 2022 menjadi 74 persen pada 2024.
Tingkat kepercayaan karyawan terhadap atasan juga turun dari 80 persen pada 2022 menjadi 69 persen pada 2024. Selanjutnya, tingkat kepercayaan karyawan terhadap masyarakat secara umum turun dari 78 persen pada 2022 menjadi 69 persen pada 2024.
Setidaknya ada lima perilaku korporat/atasan yang menggerus kepercayaan karyawan. Di antaranya adalah perubahan pola kerja yang rutin, perlakuan tidak setara, dan janji yang tidak ditepati. Kalau kepercayaan sudah tergerus akibat perilaku-perilaku tersebut, karyawan pasti mempertimbangkan untuk keluar.
Presiden Direktur Mercer Indonesia Astrid Suryapranata mengatakan, Global Talent Trends 2024 menunjukkan, agenda sumber daya manusia di pasar kerja Asia Tenggara adalah memprioritaskan pengalaman kerja karyawan.
Ada pula agenda untuk meningkatkan perencanaan tenaga kerja yang strategis dan berinvestasi pada manfaat kesejahteraan finansial karyawan. ”Belum terlihat agenda untuk menghadapi pesatnya teknologi kecerdasan buatan di pasar kerja Asia Tenggara,” ucap Astrid.
Tidak bahagia
Secara terpisah, Founder dan Managing Director Headhunter Indonesia Haryo Suryosumarto menyampaikan, ada beberapa realitas yang jadi pemicu karyawan tidak bahagia di tempat kerja. Pertama, gaji pokok dan tunjangan dinilai kurang memadai apabila dibandingkan dengan tugas serta tanggung jawab yang diemban.
Kedua, karyawan merasa kurang nyaman mengungkapkan pendapat. Ketiga, nilai-nilai perusahaan dirasa belum diterapkan dengan baik secara keseluruhan sehingga karyawan kesulitan berkomitmen untuk melaksanakan pekerjaannya sehari-hari.
Jajaran pimpinan tertinggi di perusahaan dinilai kurang menunjukkan empati terhadap kehidupan karyawan, bukan hanya sebagai karyawan tetapi juga individu.
Keempat, karyawan kurang diapresiasi oleh rekan kerja dan atasan atas prestasi, kinerja, dan kontribusi. Kelima, jajaran pimpinan tertinggi di perusahaan dinilai kurang menunjukkan empati terhadap kehidupan karyawan, bukan hanya sebagai karyawan, tetapi juga individu.
Realitas tersebut ditemukan Haryo ketika menyurvei empat perusahaan klien sejak Desember 2023, dengan total responden karyawan mencapai 336 orang.
Sementara itu, Junior Art Director Cretivox (perusahaan rintisan bidang teknologi dan media digital independen) Ridho Andy Fadillah, yang ditemui di acara #NgobroldiMeta 2024, berpendapat, anak muda yang sekarang sudah bekerja umumnya memahami mereka perlu mencari peluang- peluang yang menunjang kariernya berkembang.
Mereka menyadari hal tersebut harus diiringi dengan kesehatan mental yang baik untuk menciptakan kedamaian dalam batin dan lepas dari stres.