Tuntutan Dunia Usaha kepada Prabowo-Gibran demi Kemajuan Indonesia
Ada pekerjaan rumah untuk pemerintah baru dari pelaku usaha untuk mendorong putaran roda perekonomian nasional.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA, IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dunia usaha memandang masih ada banyak detail regulasi yang perlu dikoreksi pemerintah baru nantinya untuk memperbaiki iklim usaha dalam lima tahun mendatang. Tanpa adanya koreksi, janji presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka untuk mengerek pertumbuhan ekonomi 6-7 persen tidak akan terwujud.
Keresahan tersebut diungkapkan para pemimpin perusahaan di hadapan Ketua Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, Burhannudin Abdullah, dalam Kompas Collaboration Forum (KCF) Afternoon Tea edisi Maret 2024 dengan tema ”Arah dan Mesin Kebijakan Ekonomi Pembangunan 2025-2029” yang berlangsung di Jakarta, Jumat (22/3/2024).
KCF merupakan wadah para pemimpin perusahaan yang diselenggarakan harian Kompas. Dalam KCF edisi Maret 2024 tersebut, sejumlah pemimpin perusahaan hadir. Mereka berasal dari berbagai sektor, antara lain perbankan, tekstil, properti, pertanian, manufaktur, pangan, dan otomotif.
Sangat sulit ke depan mendapatkan pendanaan infrastruktur karena kasus-kasus BUMN karya, di mana bank-bank asing ”kapok ”. Punya niat untuk membantu ternyata hampir semuanya default (gagal bayar).
Direktur Utama PT Bank BTPN Tbk Henoch Munandar mengatakan, sudah menjadi rahasia umum apabila investor asing yang punya hasrat berinvestasi di dalam negeri kerap menghadapi berbagai kendala, mulai dari sisi perizinan hingga keimigrasian, yang kerap membuat investor mengurungkan niatnya.
Sebagai bankir dari bank besutan investor Jepang, Henoch kerap menemukan banyak kondisi di mana perusahaan investor asing kapok berinvestasi pada proyek perusahaan BUMN karena mengalami kerugian. Adanya kerugian dipicu buruknya prinsip tata kelola dari BUMN yang menerima dan mengelola dana investasi.
”Misalnya di sektor infrastruktur, perlu saya sampaikan juga sangat sulit ke depan mendapatkan pendanaan infrastruktur karena kasus-kasus BUMN karya, di mana bank-bank asing ’kapok’. Punya niat untuk membantu, ternyata hampir semuanya default (gagal bayar),” ujarnya.
Henoch menekankan, restrukturisasi utang yang saat ini tengah dilakukan sejumlah BUMN karya cukup merugikan perbankan dan investor. Di sisi lain, pemerintah sebagai pemilik saham terbesar dari BUMN karya tidak memberikan garansi terhadap kerugian investasi.
Di luar adanya masalah mendasar dalam tata kelola perusahaan, lanjut Henoch, masalah korupsi serta laporan keuangan di beberapa perusahaan pelat merah, terutama BUMN karya, yang tidak sepenuhnya bisa dipercaya (reliable) juga turut menurunkan selera berinvestasi dari investor luar negeri.
Menurut dia, untuk mengembalikan risk appetite dari investor asing, pemerintah tidak dapat tinggal diam. Sebagai pemilik saham utama BUMN, pemerintah perlu turun tangan lewat berbagai kebijakan dan regulasi untuk memperbaiki tata kelola dan manajemen BUMN, terutama yang bergerak di sektor konstruksi.
”Kondisi saat ini, bank-bank dari Jepang, Korea Selatan, China, dan kawasan Arab berpikir, ’Oh, ya sudah, kita tidak akan lagi support (proyek BUMN karya)’, padahal di sisi lain Indonesia juga masih punya kebutuhan untuk pembangunan IKN (Ibu Kota Nusantara),” sebut Henoch.
Lapangan pekerjaan
Komisaris Utama merangkap Komisaris Independen dari PT Sreeya Sewu Indonesia Tbk, Anton J Supit, menekankan, selain investasi, kunci utama pertumbuhan ekonomi di kisaran 6-7 persen per tahun, sesuai target pemerintah baru, adalah penyerapan tenaga kerja.
”Tantangan ke depan dari pemerintah baru adalah menciptakan lapangan kerja. Harapannya, kita hanya ingin cita-cita menjadi negara besar yang bisa menyejahterakan seluruh rakyat tercapai. Hal itu hanya bisa dilakukan dengan lapangan pekerjaan,” ujarnya.
Secara umum, tingkat pengangguran terbuka nasional turun pascapandemi. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), per Agustus 2023, jumlah penganggur di Indonesia sebanyak 7,86 juta orang, turun dari 8,4 juta orang (Agustus 2022), 9,1 juta orang (Agustus 2021), dan 9,8 juta orang (Agustus 2020).
Meski demikian, struktur pekerjaan di Indonesia semakin didominasi pekerjaan informal yang kurang layak, baik dari segi upah, kepastian kerja, maupun pelindungan ketenagakerjaan. Porsi pekerjaan formal tercatat turun 3,39 persen dalam empat tahun terakhir pada periode Agustus 2019-2023.
”Untuk menjadi negara maju, semua orang di Indonesia harus punya pekerjaan dan pemasukan yang layak. Karena itu, program terkait bansos (bantuan sosial) harus dikurangi. Perlu diformulasikan kembali agar program pemerintah bisa meningkatkan lapangan pekerjaan,” ujarnya.
Wakil Presiden Direktur PT Toyota Manufacturing Indonesia Bob Azam berharap pemerintah baru punya skema tepat untuk mendorong industrialisasi. Berkaca dari bidang yang ia geluti, dalam 10 tahun terakhir, industri otomotif, baik mobil maupun sepeda motor, mengalami stagnasi dalam hal produktivitas ataupun pengembangan pasar.
Namun, di tengah stagnasi sektor industri, para pelaku industri sudah dihadapkan pada rencana peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Kenaikan ini dikhawatirkan dapat memukul kinerja industri pengolahan yang dapat memberikan kesempatan kerja yang luas.
Untuk menjadi negara maju, semua orang di Indonesia harus punya pekerjaan dan pemasukan yang layak.
”Rantai pasok akan terdampak kenaikan PPN. Dari barang mentah menjadi barang setengah jadi terdampak (kenaikan) PPN. Lalu, barang setengah menuju barang jadi juga terdampak. Pengadaan komponen pun terimbas kenaikan PPN. Mohon ini jadi perhatian,” tuturnya.
Di luar itu, Bob berharap pemerintah baru menjadikan sektor tenaga kerja sebagai indeks atau faktor utama untuk mengambil berbagai kebijakan industri. ”Negara sekelas Amerika Serikat saja menjadikan faktor tenaga kerja untuk mengambil kebijakan suku bunga,” katanya.