Pemanfaatan Komoditas Syariah Sejalan dengan Pertumbuhan Aset Bank
Komoditas syariah telah menjadi salah satu pilihan untuk mengelola dana masyarakat di bank syariah.
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan komoditas syariah sebagai alternatif pengelolaan dana nasabah bank dapat semakin besar seiring perkembangan aset perbankan syariah. Komoditas syariah dapat menawarkan likuiditas yang cepat dan keuntungan bagi bank sesuai prinsip akad murabahah.
Direktur Eksekutif Asosiasi Perkumpulan Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Herbudhi Setio Tomo menyampaikan, komoditas syariah saat ini telah menjadi salah satu pilihan untuk menempatkan dana sisa nasabah bank syariah yang belum tersalurkan ke sektor pembiayaan, selain instrumen sukuk (obligasi syariah) atau saham.
”Bank syariah akan menggunakan komoditas syariah saat dibutuhkan, terutama untuk pengelolaan likuiditas bank syariah,” kata Herbudi saat dihubungi, Selasa (19/3/2024).
Baca juga: Perdagangan Komoditas Syariah Belum Berkembang
Fasilitas komoditas syariah diimplementasikan sejak 2022, setelah keluarnya fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) Nomor 82 Tahun 2011 tentang Perdagangan Komoditas berdasarkan Prinsip Syariah di Bursa Komoditas. Sejauh ini, tujuh dari 12 bank syariah di Indonesia sudah menjadi peserta transaksi komoditas syariah.
Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX) selaku otoritas bursa komoditas melaporkan, bank syariah telah melakukan transaksi hingga Rp 1,2 triliun pada 2023. Naik dari hanya Rp 785 miliar di 2022.
Herbudi mengatakan, nilai transaksi tersebut masih jauh lebih kecil daripada jumlah uang nasabah atau dana pihak ketiga (DPK) dan jumlah penyaluran pembiayaan di bank syariah. Mengutip data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), ia menyebut, saat ini jumlah DPK di seluruh bank syariah mencapai sekitar Rp 650 triliun. Dari jumlah itu, sekitar Rp 550 triliun dimanfaatkan untuk penyaluran pembiayaan ke masyarakat.
”Bank syariah masih fokus mengelola dana masyarakat, baik berupa deposito, tabungan, maupun giro, untuk disalurkan langsung kepada sektor pembiayaan, seperti KPR, modal kerja, dan investasi. Return (keuntungan) pembiayaan masih lebih tinggi dibandingkan apabila dana bank disalurkan kepada bursa komoditas,” tuturnya.
Merger bank akan berkontribusi (pada pemanfaatan komoditas syariah).
Meski demikian, ia menilai pemanfaatan komoditas syariah untuk pengelolaan dana nasabah masih terbuka peluangnya. Apalagi, saat ini bank syariah terus mengembangkan asetnya.
Sebagai contoh, PT Bank Syariah Indonesia (BSI) Tbk, yang pada 2021 terbentuk dari penggabungan tiga bank syariah berpelat merah, yaitu PT Bank Syariah Mandiri, PT Bank BRI Syariah Tbk, dan PT Bank BNI Syariah. Saat ini, aset BSI telah mencapai Rp 354 triliun. Ini menjadikan BSI sebagai satu-satunya bank syariah yang memiliki aset di atas Rp 100 triliun.
Selain BSI, Asbisindo juga menyambut rencana pemerintah untuk menggabungkan unit usaha syariah PT Bank Tabungan Negara (Persero) atau BTN dengan Bank Muamalat. Penggabungan atau merger ini disebut akan melahirkan bank syariah dengan aset sekitar Rp 120 triliun. ”Merger bank akan berkontribusi (pada pemanfaatan komoditas syariah),” ucap Herbudi.
Naikkan target
Dengan peluang yang masih cukup besar, transaksi bank syariah di komoditas berjangka ditargetkan terus meningkat. Pada 2024, ICDX memasang target transaksi senilai Rp 2,5 triliun atau naik 108 persen dari nilai transaksi sepanjang tahun 2023. Adapun pada Januari dan Februari 2024, total transaksi komoditas syariah di ICDX sudah mencapai Rp 224 miliar.
Baca juga: Merger Bank Muamalat dan BTN Syariah Perkuat Struktur Perbankan Syariah Nasional
Transaksi yang sejauh ini menggunakan komoditas minyak kelapa sawit mentah itu berbentuk subrogasi syariah dan Sertifikat Perdagangan Komoditi berdasarkan Prinsip Syariah Antar Bank (SiKA).
Direktur Utama ICDX Nursalam, dalam acara diskusi ”Menjelajahi Dinamika Komoditi Syariah: Peluang dan Tantangannya”, di Jakarta, Senin (18/3/2024), menyebut, optimisme target transaksi komoditas syariah tersebut bisa diwujudkan dengan rencana bergabungnya empat bank syariah lainnya. Jumlah peserta menjadi penting karena akan meningkatkan efek berganda. Mereka pun terus menggencarkan sosialisasi pada institusi terkait manfaat komoditas syariah dalam pengelolaan likuiditas bank.
”Kami terus meyakinkan pelaku perbankan syariah karena ini hal baru. Bursa memastikan komoditasnya ada, bukan cuma cerita rekayasa. Di bursa, semua komponen terpenuhi, baik peserta komoditas yang menjual komoditas juga lembaga kliring agar transaksi dapat diselesaikan,” tuturnya.
Selain memastikan bursa komoditas layak menjalankan transaksi syariah, Nursalam juga menjelaskan bahwa transaksi komoditas syariah dapat memberikan keuntungan bagi bank meskipun itu bukan menjadi tujuan utama transaksi tersebut.
Keuntungan itu didapat dari akad jual beli murabahah, yang berarti memberi keuntungan. Transaksi murabahah dilakukan dalam bentuk pembelian barang jadi, seperti komoditas dalam jangka pendek. Transaksi itu akan menentukan harga pokok dan keuntungan berdasarkan pengetahuan dan kesepakatan penjual dan pembeli.
”Selain mendapatkan fasilitas likuiditas, perbankan bisa mendapatkan bagi hasil atau margin, untuk modal perluasan perbankan syariah,” kata Nursalam.
Selanjutnya, kata dia, ICDX akan terus memberikan kemudahan bagi pihak-pihak yang akan melakukan transaksi komoditas syariah ini melalui bursa. Selain bank umum syariah, fasilitas ini juga akan didorong untuk dimanfaatkan lembaga keuangan syariah nonbank. Pilihan komoditas sebagian underlying transaksi juga akan ditambah, seperti batubara, emas, dan timah.
Sejauh ini, fatwa yang ada belum mengatur pengembangan transaksi komoditas syariah untuk ritel. Hal ini masih membutuhkan kajian mendalam dari pemangku kepentingan terkait.
Ketua Bidang Industri, Bisnis, dan Ekonomi Syariah DSN MUI Bukhori Muslim pada kesempatan sama menyampaikan, fatwa terkait komoditas syariah saat ini disesuaikan dengan kondisi dan tingkat kebutuhan di Indonesia. Hal ini diakui membuat implementasi komoditas syariah di Tanah Air tidak seagresif di negara tetangga, Malaysia, meskipun jumlah penduduk muslimnya di bawah Indonesia.
”Muslim Indonesia punya karakteristik perlu taat syariat dan peraturan (negara). Untuk transaksi komoditas syariah, sudah jelas di fatwa DSN No 82. Tantangannya, banyak komentar miring bahwa DSN terlalu ketat membuat aturan. Secara ilmu fikih, kebutuhan produk ini hanya kebutuhan likuiditas, bukan sampai darurat. Jadi, enggak mungkin dibuka selebarnya. Kedua, tantangannya ada di barang, kita harus membuktikan wujudnya, harus ada beneran, sesuai prinsip syariah,” tuturnya.