Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Batalkan Konsesi Tambang-Ekspor Pasir Laut
Pengerukan dan ekspor pasir laut terus menuai polemik. Pemerintah dinilai tidak konsisten dalam prinsip keberlanjutan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Desakan agar pemerintah membatalkan konsesi penambangan pasir laut terus mengalir. Kebijakan itu dinilai tidak konsisten dengan upaya keberlanjutan serta justru menimbulkan kompleksitas persoalan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Regulasi pasir laut juga membingungkan pelaku usaha.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mulai menawarkan pelaku usaha untuk pemanfaatan hasil sedimentasi di laut, termasuk pasir laut. Lokasi eksploitasi tersebar di laut Jawa, Selat Makassar, dan Natuna-Natuna Utara. Pendaftaran berlaku sampai dengan 28 Maret 2024 dan pemasukan dokumen persyaratan dimulai sejak tanggal diumumkan sampai dengan tanggal berakhirnya pengumuman.
Potensi volume sedimentasi laut di Laut Jawa yang ditawarkan itu sebanyak 5,58 miliar meter kubik. Sedimentasi di Selat Makassar berjumlah 2,97 miliar meter kubik, dan laut Natuna-Natuna Utara mencapai 9,09 miliar meter kubik.
Lokasi eksploitasi yang ditawarkan tersebar di laut Jawa, yakni di Kabupaten Demak, Kota Surabaya, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Karawang. Selain itu, perairan sekitar Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan, serta perairan di sekitar Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.
Founder & CEO Ocean Solutions Indonesia, Zulficar Mochtar, mengingatkan, penambangan dan ekspor pasir laut yang ditawarkan sebanyak miliaran meter kubik berpotensi menuai masalah baru. Sudah cukup banyak pihak yang menolak rencana pengerukan dan ekspor pasir laut.
Pemerintah diminta jangan hanya mengejar target penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tanpa melakukan kajian akademis terkait masalah dan berbagai dampak yang ditimbulkan.
”(Pemerintah) jangan hanya terpesona dengan target penerimaan PNBP. KKP agar lebih transparan dalam proses formulasi dan konsultasi kebijakan terkait ekspor pasir laut sehingga tidak dianggap mengelabui publik dengan rencana ekspor pasir laut yang berselubung pembersihan sedimen,” ujarnya, Senin (18/3/2024).
Menurut Zulficar, prioritas pengerukan sedimentasi seharusnya dilakukan pada kolam-kolam pelabuhan perikanan yang mengalami pendangkalan sehingga langsung bermanfaat bagi nelayan dan dunia perikanan. Selama ini, pengerukan sedimentasi di kolam pelabuhan itu justru belum banyak dilakukan.
Tarif PNBP
Tarif PNBP untuk pemanfaatan pasir laut diatur dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 82 Tahun 2021 tentang Harga Patokan Pasir Laut dalam Perhitungan Tarif atas Jenis PNBP. Aturan ini diteken pada 18 September 2021. Berdasarkan ketentuan itu, tarif PNBP untuk pemanfaatan pasir laut dalam negeri senilai Rp 188.000 per meter kubik. Untuk tujuan ekspor, tarifnya Rp 228.000 per meter kubik.
Selain itu, pengenaan PNBP atas kontribusi penggunaan lahan hasil reklamasi juga diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 14 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perhitungan Nilai Lahan Hasil Reklamasi yang diteken. Tarif PNBP itu sebesar 1 persen dari nilai lahan hasil reklamasi.
Tarif PNBP untuk pemanfaatan pasir laut dalam negeri senilai Rp 188.000 per meter kubik. Untuk tujuan ekspor, tarifnya Rp 228.000 per meter kubik.
Zulficar menambahkan, KKP harus konsisten mengembangkan ekonomi biru dan prinsip keberlanjutan, dan bukan terjebak dengan opsi-opsi tidak berkelanjutan, seperti penambangan dan ekspor pasir laut.
Diperlukan kolaborasi intensif dengan perguruan tinggi agar bisa mengedepankan opsi ekonomi kelautan dan perikanan yang lebih ramah lingkungan dan memberikan manfaat signifikan kepada nelayan dan pemangku kepentingan.
”Publik sulit melihat relevansi antara misi ekonomi biru dan rencana ekspor pasir laut ini,” lanjut Zulficar.
Sejarah berulang
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta Suhana mengemukakan, dibukanya pengerukan dan ekspor pasir laut akan mengulang kasus tambang pasir di Kepulauan Riau pada 2001-2003. Saat itu terjadi konflik antara petambang pasir dan nelayan kecil.
Ia mencontohkan, penetapan lokasi pemanfaatan sedimentasi di Pulau Karimun Besar di bawah 2 mil garis pantai berbenturan dengan alur pelayaran nelayan kecil. Akibatnya, ruang gerak nelayan kecil semakin terdesak.
”Nelayan kecil akan semakin terdesak karena wilayah tangkapnya dikuras pasirnya,” kata Suhana.
Kebijakan pengerukan pasir laut juga dinilai menunjukkan inkonsistensi pemerintah. Di satu sisi, pemerintah mendorong wisata bahari, tapi pesisirnya dirusak melalui tambang pasir laut. Pemerintah juga mendorong pengembangan kampung nelayan modern (kalamo), tetapi disisi lain wilayah tangkap nelayan kecilnya akan dirusak oleh tambang pasir
”Pemanfaatan pasir laut harus dibatalkan karena jelas akan merugikan sektor kelautan lainnya, seperti nelayan kecil, budidaya laut, dan wisata bahari,” ujarnya.
Tumpang-tindih
Sementara itu, data sebaran lokasi prioritas pemanfaatan sedimentasi laut, termasuk pasir laut, masih menuai kebingungan pelaku usaha. Beberapa lokasi eksploitasi pasir laut berada di bawah 2 mil dari garis pantai. Hal itu dikhawatirkan tumpang-tindih dengan tata ruang dan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau kecil yang merupakan kewenangan pemda.
Alex Sudiono, anggota Asosiasi Penambang Pasir Laut (APPL) Kepulauan Riau, saat dihubungi terpisah, mengaku bingung dengan PP No 26 Tahun 2023 dan turunannya. Sebab, aturan itu berpotensi tumpang-tindih dengan aturan tata ruang laut yang diterbitkan pemerintah daerah. Hal ini menimbulkan ketidakpastian usaha.
Aturan itu berpotensi tumpang-tindih dengan aturan tata ruang laut yang diterbitkan pemerintah daerah.
Ia mencontohkan, pengelolaan sedimentasi laut di Pulau Karimun Besar yang ditetapkan kurang dari 2 mil garis pantai merupakan wilayah pengelolaan kewenangan pemerintah daerah.
Alex sudah mengantongi izin usaha pertambangan kegiatan operasi produksi untuk pasir laut. Oleh karena itu, ia berpendapat, seharusnya tidak perlu lagi mengurus izin pemanfaatan pasir laut di KKP. Namun, pihaknya terkendala untuk memperoleh persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut dari KKP.