Benarkah Kaum Jomblo Berkontribusi Rendah terhadap Ekonomi Negara?
Apakah hidup menjomblo itu buruk bagi ekonomi?
Fenomena turunnya angka pernikahan di Indonesia sedang marak dibicarakan. Keinginan melajang lebih lama itu muncul karena kondisi ekonomi dewasa ini dirasakan semakin sulit. Namun, jika dibalik, apakah keputusan seseorang untuk hidup sendiri bisa berakibat buruk pada ekonomi suatu negara?
Pada tahun 2013, artikel berjudul ”Why Single People are Hurting the Economy”yang dimuat The Guardian melempar pertanyaan menggelitik: orang-orang lajang itu sebenarnya pragmatis atau egois?
Baca juga: Sekarang Makin Banyak Orang Muda Enggan Menikah
Menurut tulisan itu, pernikahan mampu menggerakkan konsumsi dan menopang ekonomi negara. Asumsinya, seseorang yang sudah menikah, apalagi punya anak, akan berbelanja lebih banyak ketimbang mereka yang menjomblo. Entah untuk membeli produk perawatan bayi, mainan, membayar sekolah anak, memborong belanja bulanan, sampai membeli rumah.
Memang, dalam ekonomi makro, belanja masyarakat atau konsumsi rumah tangga adalah motor utama pertumbuhan ekonomi. Semakin konsumtif, semakin baik buat ekonomi. Dalam konteks itu, penduduk yang sudah berkeluarga pun diasumsikan lebih banyak berkontribusi bagi negara dibandingkan mereka yang melajang.
Pendapat di atas didukung oleh survei lembaga Gallup Analytics terhadap 130.000 orang di Amerika Serikat. Survei saat itu menunjukkan, penduduk menikah mengeluarkan uang rata-rata 102 dollar AS per hari. Disusul oleh penduduk yang hidup bersama tanpa menikah yang menghabiskan rata-rata 98 dollar AS per hari.
Kelompok yang hidup sendiri, seperti penduduk yang sudah bercerai, hanya mengeluarkan rata-rata 74 dollar AS per hari. Selanjutnya, penduduk berstatus duda dan janda menghabiskan 62 dollar AS per hari, sementara penduduk lajang yang tidak pernah menikah hanya menghabiskan 67 dollar AS per hari.
Namun, yang single juga tetap banyak pengeluaran, kok, untuk mengobati kesepian.
Pandangan serupa juga sempat muncul di China pada medio 2017 dan memicu perdebatan hangat. Saat itu, banyaknya warga yang memutuskan hidup sendiri dituding menghambat pertumbuhan ekonomi. Mereka bahkan dianggap lebih malas bekerja karena tidak punya motivasi untuk menghidupi keluarga dan membesarkan anak.
Lantas, apakah pandangan itu masih relevan di masa kini? Apa benar hidup melajang itu buruk bagi ekonomi dan kaum single itu egois?
Pengeluaran tetap tinggi
Rama (32), pekerja swasta asal Jakarta, pernah memasang target ingin menikah di usia 27 tahun. Namun, setelah ayahnya meninggal di tahun 2014, rencana hidup Rama berubah. Kini, Rama masih hidup lajang dan santai. Bisa menikah, syukur. Tidak menikah, bukan masalah.
”Sepertinya gue single itu lebih karena faktor mental. Gue merasa bokap pergi terlalu cepat dan gue harus menggantikan posisinya di rumah. Sekarang ini jadi lebih pengin habisin waktu sama nyokap dulu mumpung masih bisa bareng,” tuturnya, Kamis (14/3/2024).
Baca juga: Pernikahan Menjadi Beban dan Bukan Lagi Prioritas Orang Muda Indonesia
Sebagai pria lajang, Rama merasa pengeluarannya tetap terhitung tinggi. Dalam sebulan, ia bisa menghabiskan sekitar Rp 8 juta-Rp 10 juta hanya untuk diri sendiri. Seperti memenuhi hobi, bergaul, serta merawat dan membahagiakan diri sendiri (self care).
Di luar konsumsi untuk diri sendiri, ia juga mengeluarkan uang untuk keperluan rumah tangga rutin, seperti membayar tagihan listrik, air, dan internet. Meski tidak menikah, ia juga punya tanggungan tidak langsung karena mesti membantu menghidupi saudaranya.
”Sebenarnya masuk akal kalau mereka yang nikah akan lebih banyak pengeluaran. Tapi, yang single juga tetap banyak pengeluaran, kok, untuk mengobati kesepian. Buat nongkrong, hobi, karena gue pribadi juga begitu,” katanya.
Gabriella Tessa (34) yang masih lajang karena pertimbangan mental dan finansial juga merasa pengeluarannya terhitung banyak. Tidak hanya menghidupi diri sendiri, ia juga membiayai perawatan ayahnya yang sakit dan membayar berbagai kebutuhan rutin keluarganya.
”Kayaknya kalau jomblo itu konsumsinya sedikit, tidak juga, ya. Generasi sekarang bukannya banyak yang hedon? Justru karena single, semakin banyak duit dihabiskan untuk kesenangan pribadi. Jadi, konsumsinya enggak kalah banyak sama yang berkeluarga,” ujar pegawai swasta asal Batam itu.
Tren melajang justru kini membuka peluang ekonomi baru yang menyasar konsumen single.
Beda pola belanja
Dewasa ini, batas perbedaan antara tingkat konsumsi kaum lajang dan berkeluarga memang mulai melebur. Kuantitas belanja seseorang yang belum menikah bisa saja mendekati mereka yang sudah berkeluarga, bergantung kondisi finansial dan prinsip hidup yang dianut.
Seseorang yang lajang, misalnya, bisa terimpit keharusan menjadi tulang punggung keluarga, alias generasi sandwich, yang kini tidak memandang status marital. Meski tanpa tanggungan resmi, belanjanya dapat menyerupai mereka yang sudah berkeluarga karena mesti menghidupi anggota keluarga yang lain.
Di sisi lain, kesadaran untuk lebih merawat diri, menyenangkan diri, dan menikmati hidup yang hanya sekali juga mendorong budaya konsumtif yang masif di kalangan penduduk lajang. Apalagi, jika mereka memang sanggup secara finansial. Mengutip kata orang-orang, YOLO: You only lived once. Bahagiakanlah diri seolah tiada hari esok.
Pada dasarnya, ujar Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, yang membedakan antara konsumsi kelompok lajang dan menikah adalah jenis dan pola belanjanya saja. Setiap kelompok adalah ceruk pasar yang berkontribusi menggerakkan sektor ekonomi tertentu.
Baca juga: Generasi Sandwich dan Keengganan Orang Muda Menikah
”Untuk yang single, selain kebutuhan hidup dasar seperti makanan dan pakaian, mereka lebih banyak menghabiskan uang untuk gaya hidup. Sebab, mereka punya uang lebih untuk membeli barang tersier dan sekunder. Berbeda dengan yang sudah menikah, belanja kebutuhan basic-nya yang lebih besar karena untuk lebih banyak orang,” kata Faisal.
Tren melajang justru kini membuka peluang ekonomi baru yang menyasar konsumen single. Mengutip kajian Mckinsey Global Institute pada 2021, ada tren kebangkitan ekonomi lajang (solo economy) secara global dengan ceruk pasar menggiurkan. Utamanya, di sektor hiburan, perawatan diri, horeka (hotel, restoran, dan kafe), serta turisme.
Di Jepang, misalnya, tempat karaoke untuk satu orang dan restoran barbecue dengan satu kursi dan satu alat pemanggang muncul di mana-mana. Di China, penjualan produk rumah tangga berukuran kecil dan ringkas serta robot pembersih bagi rumah tangga lajang naik berkali-kali lipat. Kaumsingleyang awalnya dicela karena dianggap minim kontribusi mulai bangkit menjadi kekuatan ekonomi baru yang menggerakkan konsumsi.
Dampak jangka panjang
Namun, untuk jangka panjang, hidup menjomblo bukannya tanpa konsekuensi. Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky mengatakan, bangkitnya populasi lajang bisa menghambat pertumbuhan penduduk baru dan mengubah struktur demografi.
Untuk mengatasinya, tidak cukup sekadar mendorong anak muda untuk cepat-cepat menikah atau mencibir mereka yang lajang.
Dampaknya, potensi produktivitas dan suplai tenaga kerja di masa depan bisa semakin rendah. ”Itu akan mempercepat kemunculan aging population (populasi menua) seperti dialami banyak negara maju dan menurunkan kapasitas pertumbuhan ekonomi negara,” kata Riefky.
Bagi Indonesia yang belum berstatus negara maju, populasi menua yang datang lebih cepat bisa berbahaya. Sebab, akselerasi pertumbuhan ekonomi masih membutuhkan jumlah penduduk atau tenaga kerja produktif yang terampil dan banyak. ”Indonesia bisa lebih lama terjebak di status negara berpendapatan menengah,” ujar Faisal.
Untuk mengatasinya, tidak cukup sekadar mendorong anak muda untuk cepat-cepat menikah atau mencibir mereka yang lajang. Pasalnya, fenomena turunnya angka pernikahan turut berakar dari problem ekonomi struktural.
”Solusinya pun harus bersifat struktural. Misalnya, memperbanyak ketersediaan lapangan kerja yang layak dan membenahi sistem jaminan hari tua. Ini bisa mengurangi tingkat ketergantungan di keluarga yang membuat sebagian orang ragu menikah,” ucapnya.
Sebab, menjawab pertanyaan di awal, mereka yang melajang bukannya egois. Hanya pragmatis dan realistis di tengah kondisi ekonomi yang miris.