Gerai Es Teh dan Es Kopi Gula Aren Gerus Pasar Minuman Dalam Kemasan
Kehadiran gerai teh dan es kopi gula aren menarik konsumen karena menawarkan berbagai varian rasa baru yang unik.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Merebaknya gerai es teh dan es kopi gula aren di berbagai penjuru kota rupanya mulai berdampak pada menurunnya penjualan minuman dalam kemasan di toko ritel dan warung kelontong. Fenomena ini menandakan adanya perubahan pola konsumsi masyarakat akan minuman ringan.
Mengutip data Nielsen seperti diolah Asosiasi Minuman Ringan (Asrim), volume penjualan produk minuman dalam kemasan di luar air minum dalam kemasan (AMDK) pada 2023 adalah sebanyak 3 juta liter. Angka ini menurun 2,59 persen dibandingkan dengan 2022 yang sebanyak 3,08 juta liter.
Adapun yang termasuk minuman ringan dalam kemasan antara lain minuman teh dalam kemasan, minuman kopi dalam kemasan, minuman mengandung susu dalam kemasan, minuman berkarbonasi, dan minuman sari buah.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal, salah satu faktor penyebab menurunnya penjualan minuman dalam kemasan di tingkat ritel adalah menjamurnya gerai es teh dan es kopi gula aren di berbagai sudut kota.
”Sedikit atau banyak ini (penurunan penjualan minuman dalam kemasan) terpengaruh juga oleh merebaknya gerai-gerai (es teh dan kopi gula aren) ini,” ujarnya dalam konferensi pers yang diselenggarakan Asrim bertajuk ”Kinerja Industri Minuman di 2023 serta Peluang dan Tantangan di Tahun 2024”, Jakarta, Rabu (13/3/2024).
Cara konsumsi minuman ringan di masyarakat, ujar Faisal, telah berubah. Kini masyarakat kian menggemari minuman est teh dan es kopi gula aren karena dianggap sedang tren. Selain itu, konsumen juga lebih mudah mengaksesnya karena mudah ditemui dan dibeli di pinggir jalan. Tidak seperti minuman dalam kemasan yang disimpan di dalam lemari pendingin toko ritel.
Ketua Umum Asrim Triyono Prijosoesilo menjelaskan, maraknya gerai minum es teh dan es kopi gula aren memang menandakan adanya perubahan pola konsumsi masyarakat soal minuman ringan. Dengan potensi pasar sebanyak 270 juta orang dan kondisi perekonomian yang terus bertumbuh, pasar dalam negeri memang menggiurkan.
Pihaknya memang mengakui gerai es teh dan es kopi gula aren itu adalah pesaing dari bisnis industri minuman dalam kemasan. Ia menilai, kehadiran gerai teh dan es kopi gula aren mampu menarik konsumen karena menawarkan berbagai varian rasa baru yang unik. Bahkan, varian rasa yang mereka sodorkan menjadi inspirasi produsen minuman dalam kemasan untuk berinovasi mengembangkan rasa baru.
Kehadiran gerai teh dan es kopi gula aren mampu menarik konsumen karena menawarkan berbagai varian rasa baru yang unik.
Namun, pelaku industri minuman dalam kemasan akan memaksimalkan keunggulan produknya dengan mendorong aspek keunggulan dari kepraktisan dan keamanan produk yang dijual. ”Jadi, kami fokus pada keunggulan saja untuk menawarkan sesuatu yang disukai konsumen,” katanya.
Faktor daya beli
Selain karena hadirnya persaingan serius dari gerai es teh dan es kopi gula aren, salah satu faktor menurunnya penjualan minuman dalam kemasan adalah karena melemahnya daya beli masyarakat. Baik Triyono maupun Faisal mengakui hal ini.
Menurut Faisal, saat ini tengah terjadi tren inflasi harga pangan. Mengutip data Badan Pusat Statistik, inflasi harga pangan bergejolak (volatile foods) Februari 2024 mencapai 8,47 persen secara tahunan. Ini merupakan inflasi pangan bergejolak tertinggi sejak September 2022.
Lantaran inflasi pangan meningkat, alokasi belanja pangan masyarakat lebih banyak diprioritaskan untuk kebutuhan pangan pokok. Sementara minuman dalam kemasan merupakan pangan yang bersifat sekunder, bahkan tersier.
”Masyarakat fokus belanja pangan yang pokok dulu. Baru ketika ada kelebihan uang, mereka jajan minuman dalam kemasan. Maka, ketika ada inflasi harga pangan, ada penurunan belanja pada minuman dalam kemasan,” ujar Faisal.
Senada dengan Faisal, Triyono mengakui industri minuman dalam kemasan ini dihadapkan pada tantangan penurunan daya beli masyarakat. Akhirnya konsumen menjadi lebih selektif dalam mengatur pos pengeluaran.
Pihaknya berharap adanya dukungan pemerintah pada industri ini. Sebab, industri minuman dalam kemasan berkontribusi cukup besar bagi perekonomian nasional.
Mengutip data Kementerian Perindustrian, jumlah perusahaan yang terjun di industri minuman dalam kemasan ini terdiri dari 136 perusahaan dengan serapan tenaga kerja sebanyak 52.953 orang. Adapun kapasitas produksi industri ini mencapai 10,8 miliar liter dengan utilisasi sekitar 61 persen. Investasi industri ini mencapai Rp 7,7 triliun.
Industri minuman dalam kemasan ini dihadapkan pada tantangan penurunan daya beli masyarakat.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Merrijantij Punguan Pintaria mengatakan, dengan melihat dampak ekonomi yang besar dari industri minuman ringan, pihaknya terus mendorong pemulihan kinerja industri ini. Adapun upaya yang dilakukan antara lain menggelar pameran produk makanan dan minuman di dalam dan di luar negeri, revitalisasi mesin, dan mendorong insentif fiskal.
”Kami berharap kinerja industri minuman bisa kembali tumbuh positif seperti sebelum pandemi,” ujarnya.